Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image IGBS Darul Marhamah

Salah Kaprah Dikotomi Ilmu

Agama | 2024-10-09 07:43:54
dok; sendiri

Oleh: Achmad Fauzi, S.Pd

Mana yang lebih utama, belajar ilmu umum atau ilmu agama? Pertanyaan tendensius ini sengaja saya ajukan di awal tulisan saya. Padahal mungkin sudah tidak relevan lagi pertanyaan ini diajukan saat ini, selain karena masalah keduanya sudah menjadi pembahasan ulama terdahulu atau karena pada perkembangannya klasifikasi ilmu sudah menemukan titik temunya yang paling presisi antara keduanya. Atau memang tidak pernah dipertentangkan?

Namun, harus diakui bahwa di kalangan tertentu soal keduanya masih menjadi persoalan, utamanya karena dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman dogma agama tertentu yang menempatkan ilmu agama di atas ‘ilmu umum’. Di kalangan muslim konservatif, ilmu agama dianggap lebih utama karena diyakini dapat mengantar manusia pada keluhuran hidup di dunia dan menjamin jalan mulus ke surga yang abadi.

Pemahaman seperti di atas tentu saja tidak salah. Sebab, di dalam Islam dalil-dalil yang menjelaskan tentang keutamaan belajar ilmu agama tertentu memang ada. Bahkan bagi seorang ulama, ijtihad pada suatu hukum syara’ dengan isntrumen ilmu yang mumpuni akan diganjar pahala, sekalipun salah. Begitu mulia dan pentingnya ilmu-dalam hal ini agama-bagi seorang muslim.

Terkait klasifikasi ilmu umum dan ilmu agama pun pada dasarnya masih menimbulkan pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang hanya berhubungan dengan tata cara ritual atau termasuk juga bagaimana penghayatan terhadap nilai-nilai agama? Jika demikian, bukannya dari sudut ilmu apa pun, nilai agama ada di dalamnya, tergantung siapa yang mempelajarinya dan untuk apa dia mempelajarinya.

Sebaliknya apakah yang dimaksud dengan ilmu umum? Apakah yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang secara khusus di dalamnya tidak mempelajari teks-teks agama? seperti ilmu alam, geografi, matematika, dan sebagainya. Istilah ‘ilmu umum’ dan ilmu ‘ilmu agama’ pun sebenarnya adalah cara gampang kita untuk membuat perbedaan antara keduanya saja.

Beberapa tahun lalu, pernah viral sebuah pernyataan dari seorang teknokrat dan presiden ketiga Indonesia, BJ Habibi tentang kegundahannya di masa senjanya terkait ilmu yang pernah didalami. BJ Habibi yang menjadi simbol kemajuan sains paling awal dan ampuh di Indonesia mengesankan bahwa pada akhirnya di masa tua yang dibutuhkan adalah pendekatan diri kepada tuhan, oleh karenanya dibutuhkan pengetahuan agama yang mumpuni, bukan sains.

Benar atau tidak pernyataan tersebut, yang pasti adalah kaum yang menganggap ilmu agama lebih penting daripada sains atau setidaknya orang-orang yang konsen belajar ilmu-ilmu agama seperti mendapat pembenaran secara empirik dari seorang tokoh yang selama ini dielu-elukan kejeniusannya di bidang sains.

Pernyataan itu pada akhirnya dibantah oleh kalangan yang mendukung anggapan bahwa ilmu-ilmu sains berada pada posisi yang lebih urgen –bila tidak ingin disebut lebih utama-daripada ilmu agama. Terutama bila dilihat dari sudut praktis dan perannya di dalam kemajuan hidup manusia, seperti di bidang teknologi, astronomi, dan lain-lain. Di sinilah unsur subjektifitas itu kuat sekali. Andai pun benar apa yang dinyatakan oleh BJ Habibi, sama sekali tidak mereduksi kedudukan pentingnya sains bukan?

Di kalangan ulama muslim pun klaim-klaim terhadap suatu ilmu yang paling utama dipelajari juga sangat subjektif. Seorang ulama ahli fiqih misalnya akan mengatakan bahwa ilmu fiqih paling penting dipelajari dengan berbagai argumentasinya. Begitu pun ulama ahli kalam (teologi) akan menganggap bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang utama dan wajib dipelajari dan seterusnya.

Namun demikian umumnya para ulama sebenarnya sangat jarang mengklasifikan ilmu dari sudut pandang agama dan umum. Imam Al Gazali misalnya di dalam kitabnya yang berjudul ihya’ ulumuddin secara umum mengklasifikasikan ilmu menjadi dua, yaitu ilmu mukasyafah (pure sains) artinya ilmu-ilmu yang dipelajari hanya untuk diketahui saja dan ilmu muamalah artinya ilmu-ilmu yang dipelajari untuk kemudian diterapkan.

Imam Al Gazali tidak spesifik melakukan dikotomisasi pada bagian ilmu tertentu bahwa ilmu yang berhubungan dengan agama itu lebih utama. Namun memang pada kaitannya dengan identitas keagamaan maupun sosial, mempelajari ilmu tertentu bisa menjadi fardu áin dan fardu kifayah. Misalnya sebagai seorang muslim wajib hukumnya belajar ilmu tentang solat atau puasa. Sementara belajar ilmu kedokteran atau bisnis hukumnya bisa fardu kifayah.

Imam Azzarnuji di dalam kitabnya yang sangat terkenal tentang adab belajar (ta’limul mutaállim) memberikan definisi yang menarik di dalam bagaimana seseorang mempelajari ilmu. Imam Azzarnuji mengutip hadits Nabi tentang kewajiban menuntut ilmu bagi seorang muslim dan muslimah. Thalabu al ilmi faridhatun ála kulli muslimin wa muslimatin.

Imam Azzarnuji sepertinya menafsirkan kata al ilmu di dalam hadits tersebut sebagaimana atas pemahaman kaidah atau gramatikal bahasa arab dikenal dengan isim ma’rifah yang artinya kata itu sudah diketahui (tidak umum). Karenanya kata al ilmu itu hanya merujuk pada kewajiban belajar satu ilmu saja. Maka pada penjelasan berikutnya Imam Azzarnuji menegaskan justru setiap muslim dan muslimah tidak wajib mempelajari ‘semua ilmu’, kecuali ilmu-ilmu yang dibutuhkan saja.

Jadi di sini kita lihat para ulama menempatkan ilmu sama sekali tidak pada klasifikasi yang berseberangan satu sama lain, maka mempelajarinya bisa menjadi wajib sebagai individu atau wajib secara keterwakilan dalam sebuah komunitas tertentu.

Di dunia pendidikan modern, pada tingkat pendidikan tinggi khususnya, pembelajaran ilmu justru dilakukan secara fakultatif. Dengan begitu sorang mahasiswa dapat memilih jurusan yang diinginkan sesuai dengan bakatnya. Namun, apakah lantas yang belajar di fakultas syariah itu lebih baik dari pada yang belajar di fakultas ekonomi? atau sebaliknya, tentu tidak bukan?

Sebagai seorang muslim, bila kita kembali ke masa kejayaan Islam di bidang ilmu pengetahuan, kita dapat menemukan bahwa kajian atas ilmu-ilmu kedokteran, astronomi, kimia, dan sebagainya sangat masif, sehingga melahirkan tokoh-tokoh ilmuan dunia dari kalangan muslimin di eranya.

Oleh karena itu, dalam hemat saya, belajar ilmu apa saja dapat menjadi mulia di mata manusia maupun Allah SWT selama ilmu itu digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Saya kira, begitu!

Guru Darul Marhamah, Cileungsi, Kabupaten Bogor

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image