Intoleransi di Indonesia, Merusak Hak Umat Beragama Lain?
Agama | 2024-10-06 15:42:23oleh : Heni Nuraeni
Pelaksana harian (Plh) Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh menilai penolakan pendirian sekolah Kristen oleh sekelompok masyarakat Muslim di Parepare, Sulawesi Selatan, mencederai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Alasannya, kata dia, setiap warga negara Indonesia seharusnya bebas mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama yang telah diakui, selama memenuhi persyaratan administratif yang berlaku.
“Peristiwa ini merupakan tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas orang Indonesia,” kata Siti dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Kamis.(barometer .co.id, 26/9/2024).
Istilah intoleransi saat ini terus digaungkan di negeri ini. Seolah-olah negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini sedang diancam oleh penyakit intoleransi. Parahnya, sering kali label intoleran ini disematkan pada umat Islam. Sementara disisi lain pelaku intoleran yang nyata-nyata menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran agamanya, para pelakunya tidak disebut intoleran. Semisal pelarangan kerudung di Bali atau perusakan mesjid di Papua. Ini terjadi karena ketidakjelasan definisi toleransi.
Terlalu banyak kemunafikan di negeri ini. Umat Islam yang mayoritas tapi seperti minoritas. Ada pihak yang mereka merasa paling toleransi tapi anti dengan syariat Islam. Apakah ini yang disebut toleransi saat mengganti suara adzan dengan running teks, menyuruh Muslimah paskibra lepas hijab, melarang dokter berhijab di rumah sakit tempat dokter tersebut bekerja? Pemerintah tidak merasa bertanggungjawab dengan seruan adzan yang menyeru umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalat dan kewajiban wanita muslimah berhijab, pemerintah memandang semua itu hanya urusan pribadi, tanggungjawab individu.
Persoalan ini terjadi ketika negara tidak hadir sebagai pelindung (ro’in) rakyatnya. Negara justru membuka kran liberalisasi akidah dan membiarkan terjadinya pemurtadan secara masif. Apalagi negara justru mengacu kepada definisi yang digunakan global. Akibatnya banyak organisasi, sekolah juga individu muslim yang taat justru dituduh radikal. Negara sendiri juga bersikap intoleran terhadap umat Islam. Sungguh ironi negara berpenduduk mayoritas muslim tetapi menerapkan sistem demokrasi kapitalis sekuler.
Islam memiliki definisi toleransi sesuai tuntunan Allah dan RasulNya. Dan inilah yang harus diamalkan. Dalam Islam konsep toleransi itu tidak merusak akidah Islam yang mengarah pada paham humanisme (pemikiran filsafat yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal), sinkretisme (pencampuran kepercayaan yang saling bertentangan), atau pluralisme (paham bahwa semua agama benar). Tidak mengusik dan mengganggu kepercayaan agama dan ibadah lain, serta membiarkan, itulah toleransi dalam Islam. Dan tidak menganggap semua agama sama, karena hanya Islam agama yang di ridhoi Allah SWT.
Faktanya dalam sejarah, umat Islam lah yang pertama mempraktikkan bagaimana sikap toleransi beragama dalam naungan Negara Islam Madinah al-Munawarah dibawah pimpinan Rasulullah saw dengan sangat indah. Praktik toleransi ini berlanjut dalam peradaban Islam dibawah naungan khilafah Islam.
Saat ini banyak umat Islam sendiri tidak memahami apa itu tuntunan Islam dan bagaimana pengalamannya dalam kehidupan. Oleh karena itu menjadi kewajiban untuk menyadarkan umat akan kebutuhan tegaknya khilafah sebagai junnah. Dengan Khilafah, ajaran agama Islam bisa diamalkan. Untuk memahamkan umat dibutuhkan adanya kelompok dakwah ideologis yang akan terus menerus, mengawal umat dan berjuang bersama menegakan syariat Islam secara kaffah, sehingga terwujud kemuliaan dan kesejahteraan di tengah umat Islam.
Wallahualam bishawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.