Penderitaan Muslim Uighur di Bawah Penjajah Cina dalam Karya Sastra Arab: Novel Layali Turkistan
Sastra | 2024-10-02 21:46:08Sejak jatuh dalam cengkraman penjajah Cina, bangsa Uighur telah mengalami berbagai penindasan dan perampasan hak-hak asasi manusia termasuk upaya penghapusan identitas budaya dan agama mereka. Pemerintah Cina menerapkan kebijakan represif seperti pelarangan ibadah, penutupan masjid, penahanan massal di kamp "re-edukasi", serta pengawasan ketat terhadap kehidupan sehari-hari Uighur. Mereka dipaksa untuk meninggalkan bahasa, budaya, dan tradisi mereka, sementara praktik Islam dihancurkan atau dilarang. Selain itu, laporan tentang penyiksaan, pemisahan keluarga, dan sterilisasi paksa menambah gambaran suram kehidupan mereka di Xinjiang, yang secara efektif menjadi wilayah terpenjara di mana hak asasi manusia dilanggar secara brutal.
Sayang sekali, penderitaan bangsa Uighur ini tidak begitu gencar diberitakan dunia. Di antara berbagai penindasan yang dialami negeri-negeri Muslim seperti di Palestina, Afghanistan, dan Rohingya, apa yang dialami Muslim Uighur adalah yang tidak terlalu menyita perhatian dunia. Namun, beberapa pihak telah mencoba untuk menyuarakan apa yang telah dan sedang terjadi di tanah bangsa Uighur melalui berbagai cara termasuk melalui karya sastra. Di antaranya adalah Najib Kilani melal;ui salah satu karyanya “Layālī Turkistān”, Turkistan Night, atau Malam-Malam di Turkistan.
Najib Kilani adalah tokoh Sastra Arab modern asal Mesir yang sangat berpengaruh melalui karya-karyanya yang bertema Islami. Ia tidak saja terkenal di dunia Arab, tetapi juga di dunia Islam. Komitmennya dalam mengeksplor persimpangan iman, penindasan, dan identitas sangat Nampak dalam karya-karyanya yang mengangkat isu-isu kelompok muslim termarjinalkan seperti yang terjadi pada Muslim Uighur dan Muslim Afrika. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia termasuk ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Novel Layālī Turkistān selain telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Para Mujahid Cinta” dan “Nights in Turkistan”.
Layālī Turkistān terbit pertama kali di Kairo pada tahun 1969. Novel ini menggambarkan penderitaan umat Muslim Uighur di Turkistan Timur (sekarang Xinjiang, Cina) di bawah kekuasaan rezim Komunis Cina. Melalui cerita ini, Kilani mengisahkan bagaimana pemerintah Cina secara sistematis menindas identitas keagamaan dan budaya masyarakat Uighur. Dalam novel ini, pembaca diajak untuk menyaksikan penutupan masjid, pelarangan ibadah, penangkapan ulama, dan penghilangan tradisi Uighur. Semua tindakan ini dilakukan untuk memaksakan ideologi ateis dan menghapus jejak Islam serta budaya lokal di wilayah tersebut. Kilani memaparkan ketegangan yang dirasakan oleh umat Muslim Uighur, yang terjepit antara menjaga iman mereka atau tunduk pada tekanan politik.
Selain memaparkan penindasan fisik, novel ini juga menonjolkan ketahanan spiritual masyarakat Uighur. Mereka tetap mempertahankan keyakinan Islam mereka meskipun di bawah ancaman kekerasan. Tema perlawanan terhadap penindasan sangat kuat dalam novel ini, dengan Kilani menekankan bahwa perjuangan melawan tirani bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual. Novel ini juga mengandung pesan global yang menggugah umat Muslim untuk bersolidaritas terhadap sesama yang tertindas, menjadikan "Turkistan Night" sebagai karya yang mendalam tentang perjuangan iman dan identitas di tengah penindasan yang kejam.
Kisah dalam novel ini secara garis besar bermula saat sebuah negeri Islam berdaulat, Turkistan Timur jatuh ke tangan penjajah Cina dengan dibantu Rusia. Setelah negeri itu jatuh dan para pejuang menyingkir untuk melakukan perlawanan, panglima Cina memberikan ultimatum bahwa setiap Perempuan Turkistan harus menikah dengan prajurit Cina dan para imigran Cina yang datang bersama mereka. Ultimatum ini sejalan dengan upaya Cina melakukan Sinicization atau men-cina-kan Masyarakat Uighur. Dengan menikahi para Perempuan Uighur yang beragama Islam, diharapkan mereka dapat dipengaruhi untuk dapat meninggalkan identitas Uighur serta melahirkan anak-anak yang lebih ter-cina-kan. Selain itu, ultimatum ini sengaja untuk melecehkan Islam yang memang mengharamkan Perempuan Muslim untuk dinikahi pria non-Muslim.
Kareda ultimatum itu, banyak gadis Uighur yang meminta laki-laki pribumi untuk segera menikahi mereka termasuk Najmat Lail. Najmat Lail adalah seorang pelayan Istana Turkistan yang sejak lama telah memikat hati seorang pengawal Istana yang Bernama Mustafa Murad Hazrat. Awalnya ia menolak pinangan Mustafa, tetapi karena desakan ultimatum itu ia kemudian meminta Mustafa untuk segera menikahinya. Namun, Mustafa menolaknya dengan alasan bahwa negeri Turkistan masih membutuhkan nya untuk berjuang melawan penjajah dan sangat berat baginya untuk bersenang-senang di atas penderitaan bangsanya.
Mustafa memilih untuk mengabaikan cintanya dan berjuang bersama para pejuang Uighur untuk mempertahankan kemerdekaan negeri Turkistan Timur. Bersama para pejuang ia bergerak dari satu kota ke kota lain, melewati hutan, gurun, dan pegunungan. Dalam melaksanakan tugas, ia seringkali menyamar memasuki kota-kota untuk mengumpulkan informasi. Tidak jarang ia mendengar dan melihat bagaimana kejamnya tentara Cina memperlakukan masyarat Muslim Uighur. Mereka membunuh, penduduk, merampas harta bendanya, memperkosa para perempuannya, dan menutup, bahkan membakar masjid-masjid.
Dalam kondisi seperti itu, Masyarakat Uighur tetap teguh mempertahankan agam dan tanah airnya. Mereka berjuang dengan jalan yang berbeda-beda. Selain dengan mengangkat senjata, ada juga yang berjuang dengan beribadah secara sembunyi-sembunyi atau terpaksa mengikuti paksaan pemerintah penjajah demi keselamatan.
Betapa terkejutnya Mustafa Ketika mengetahui bahwa Najmat Lail telah menikah dengan Panglima Cina, Pong Din. Ia yang awalnya begitu semangat karena selain bercita-cita memerdekakan negerinya, juga ingin mempersunting Najmat Lail pujaan hatinya Ketika negerinya sudah aman, kini menjadi hamper putus asa. Di Tengah keputus asaannya ia tetap berjuang dari satu pertempuran ke pertempuran lain.
Di satu sisi, pernikahan Najmat Lail dengan panglima Cina adalah sebuah strategi bagi Najmat Lail untuk membantu perjuangan bangsanya. Dengan kecerdikan dan keberaniannya ia berhasil membunuh panglima penjajah itu. Singkat cerita, setelah pembunuhan itu ia dengan dibantu Mustafa berhasil melarikan diri dari istana penjajah. Najmat pun akhirnya menikah dengan Mustafa dan dikarunia anak.
Setelah mereka berdua menikah perjuangan terus berlanjut. Suatu waktu perjuangan hamper membuahkanhasil dan kemerdekaan hamper dicapai. Namun dengan tiba-tiba Rusia ikut menyerang pasukan Turkistan dalam rangka membantu Cina. Kedua negara menggempur Turkistan Timur dari berbagai arah. Bendera merah telah mewarnai setiap sudut negeri, era komunis benar-benar terjadi, anak-anak bangsa dipenjara dan diperbudak. Penjajah Cina sudah tidak membedakan lagi mana manusia dan mana kambing. Pada April 1951 pemimpin perjuangan bangsa Uighur, Osman Batur tertangkap dan dieksekusi di tiang gantungan. Bangsa Uighur benar-benar menderita. Mereka pun masih harus terus berjuang melepaskan cengkraman penjajahan asing. Dan, mereka terus menjerit meminta bantuan saudara-saudara muslimnya di seluruh penjuru dunia termasuk di negeri Arab, Pakistan, dan Indonesia.
Demikianlah penderitaan dan perjuangan bangsa Uighur dalam novel Layālī Turkistān Najib Kilani. Seiring berjalannya waktu, novel ini menyoroti tema perlawanan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga spiritual. Masyarakat Uighur digambarkan tetap teguh pada iman mereka, meskipun dihadapkan pada ancaman dan kesulitan. Dengan menggambarkan kekuatan keyakinan dalam menghadapi penindasan, Kilani mengajak pembaca untuk merasakan harapan dan solidaritas di tengah kegelapan. Layālī Turkistān bukan hanya sebuah cerita tentang penindasan, tetapi juga tentang ketahanan dan keteguhan umat Muslim untuk melawan ketidakadilan dan menjaga kehormatan agama dan bangsanya.
Gun Gun Gunawan adalah mahasiswa doktoral pada Department of Arabic, Islamic, and Middle Eastern Studies, University of Leeds, Inggris.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.