Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firga Shehan Shadra

Matematika di Masa Yunani Awal

Edukasi | Thursday, 26 Sep 2024, 15:35 WIB
Ilustrasi yunani kuno (pexels.com)

Kisah paling awal dan paling sederhana adalah tentang Thales, dimana pada saat di Mesir ia diminta oleh raja untuk mengetahui tingginya sebuah piramida. Thales melakukannya dengan cara ia menanti suatu saat di siang hari ketika banyangan tubuhnya sama panjangnya dengan tinggi tubuhnya sendiri, kemudian ia mengukur panjang bayangan piramid yang tentu saja sama dengan tinggi piramid. Diriwayatkan bahwa sebuah hukum perspektif pertama kali dipelajari oleh seorang ahli geometri yang bernama Agatharcus. Agatharcus mempelajari hukum tersebut dengan tujuan menggambar latar panggung untuk pentas-pentas drama Aeschylus.

Salah satu masalah besar yang dihadapi para ahli geometri Yunani yaitu sebuah duplikasi kubus, konon permasalahan tersebut datang dari para pendeta sebuah kuil yang menerima pesan lewat orakel bahwa dewa menghendaki sebuah arca yang ukurannya dua kali lipat dari arca yang telah dimiliki. Mula-mula para ahli tersebut menempuh dengan cara yang sangat sederhana yaitu melipatduakan semua dimensi arca tersebut, tetapi mereka menyadari bahwa hasilnya akan delapan kali lebih besar dari ukuran aslinya, tentu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh dewa. Mereka mengirim duta kepada Plato untuk menanyakan apakah di Akademi ada seseorang yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Para ahli geometri Akademi pun bertindak dan mempelajari permasalahan tersebut hingga berabad-abad, yang secara kebetulan menghasilkan berbagai karya besar. Yang menjadi masalah baru dalam mempelajari persoalan arca yakni akar pangkat tiga dari 2.

Akar pangkat dua dari 2 merupakan bilangan irasional pertama kali yang ditemukan dan sudah diketahui oleh kaum Pythagorean awal, serta metode cerdas untuk mengetahui bilangan yang mendekati nilainya sudah ditemukan. Metode yang terbaik adalah sebagai berikut: Dari dua kolom bilangan, misalnya a dan b, masing masing dimulai dengan angka satu. Pada setiap tahap, bilangan a berikutnya diperoleh dengan menambahkan a dan b terakhir yang telah diperoleh, dan bilangan b berikutnya diperoleh dari a sebelumnya yang digandakan dan ditambahkan bilangan b sebelumnya. Lima pasangan pertama yang diperoleh adalah (1, 1), (2, 3), (5, 7), (12, 17), (29, 41), dan seterusnya. Pada masing-masing pasangan, 2????^2 − ????^2 adalah 1 atau -1. Dengan demikian, b/a mendekati akar pangkat dua dari 2 dan pada tahap baru nilainya akan semakin mendekati.

Diriwayatkan oleh Proclus bahwa Pythagoras yang merupakan sosok yang agak samar adalah orang pertama yang menjadikan geometri sebagai pendidikan umum. Banyak ahli, termasuk Sir Thomas Heath berkeyakinan bahwa dialah yang menemukan dalil yang disebut dengan nama teorema Pythagoras. Teorema tersebut menyatakan bahwa pada segitiga siku-siku, kuadrat dari sisi yang behadapan dengan sudut siku-sikunya sama dengan jumlah dari kuadrat kedua sisi lainnya. Bagaimanapun juga, dalil tersebut telah diketahui oleh kaum Pythagorean sejak masa yang amat dini. Mereka juga mengetahui bahwa jumlah dari sudut-sudut suatu segitiga adalah dua sudut siku-siku

Bilangan-bilangan irasional selain akar pangkat dua dari 2 pun dipelajari secara particular oleh Theodorus yang hidup sejaman dengan sokrates, dan dipelajari lebih menyeluruh oleh Theaetetus yang kira-kira hidup sejaman dengan plato, tetapi agak lebih tua. Demokritus juga menulis risalah tentang bilangan irasional, namun sedikit sekali yang mengetahui bagaimana isinya.

Salah satu dampak terpenting dari penemuan bilangan-bilangan irasional adalah ditemukannya teori geometri mengenai perbandingan oleh Eudoxus. Sebelumnya hanya terdapat teori aritmatika mengenai perbandingan. Menurut teori ini, rasio a dan b sama dengan rasio c dan d jika a dikalikan d sama dengan b dikalikan c. Definisi tersebut, dengan tiadanya teori aritmatika tentang bilangan irasional, hanya bisa diterapkan pada bilangan rasional. Akan tetapi Eudoxus memberikan definisi baru yang terbebas dari keterbatasan tersebut, yang disusun sedemikian rupa sehingga lebih mendekati metode analisis modern. Teori ini dikembangkan dalam karya Euklides, serta menampilkan keindahan logika yang sangat mengagumkan.

Eudoxus pun menemukan atau mungkin menyempurnakan "metode exhaustion" yang selanjutnya diterapkan dengan hasil gemilang oleh Archimedes. Metode ini merupakan benih dari kalkulus integral. Sebagai contoh, kita ambil persoalan tentang luas sebuah lingkaran. Di dalam lingkaran itu Anda bisa menggambar heksagon beraturan, atau dodekagon beraturan, atau poligon beraturan yang memiliki seribu atau sejuta sisi. Luas poligon itu, berapapun banyaknya sisi yang ia punya, sebanding dengan kuadrat diameter lingkaran. Semakin banyak sisi yang dimiliki poligon itu, semakin ia sebanding dengan lingkaran. Jika Anda memberikan sisi yang cukup banyak pada poligon itu, Anda dapat membuktikan bahwa luas poligon itu pasti berbeda dengan luas lingkaran, namun dengan perbedaan yang lebih kecil daripada luas poligon yang digambar sebelumnya, betapapun kecilnya perbedaan itu. Untuk tujuan inilah dipakai "aksioma Archimedes". Aksioma ini menyatakan jika terdapat dua kuantitas, yang satu lebih besar dan yang lain lebih kecil, dan jika yang lebih besar itu dibagi, dan bagian itu dibagi lagi, dan seterusnya, pada akhirnya kuantitas yang diperoleh akan lebih kecil dari kuantitas kedua yang ukurannya lebih kecil tadi. Dengan kata lain, jika a lebih besar daripada b, terdapat bilangan bulat n tertentu sehingga 2 pangkat n dikalikan b akan lebih besar daripada a.

Metode exhaustion kadang memberikan hasil yang eksak, seperti dalam mengkuadratkan bentuk parabola, yang dikerjakan Archimedes. Kadangkala, seperti dalammengkuadratkan lingkaran, hanya memberikan hasil berupa perkiraan terus menerus. Masalah pengkuadratan lingkaran adalah masalah bagaimana menetapkan rasio keliling lingkaran dengan diameternya, yang disebut Phi. Archimedes memakai perkiraan 22/7 di dalam penghitungan-penghitungannya dengan menggambar dan memberi keliling poligon beraturan sebanyak 96 sisi, ia membuktikan bahwa Phi kurang dari 3 1/7 dan lebih dari 3 10/71. Metode itu bisa diubah ke sembarang derajat perkiraan yang dikehendaki, dan hanya sampai di situlah yang bisa dilakukan metode apapun untuk menjawab masalah ini. Pemakaian gambar dan keliling poligon untuk memperkirakan nilai Phi berasal dari Antiphon, yang hidup sezaman dengan Sokrates.

Tulisan ini menggambarkan perjalanan panjang matematika awal Yunani dalam menghadapi tantangan intelektual dan menemukan solusi yang melahirkan konsep-konsep penting dalam matematika. Dari pendekatan sederhana Thales hingga metode canggih Archimedes, berbagai ide dan penemuan ini membentuk fondasi bagi perkembangan matematika modern. Meskipun diwarnai oleh keterbatasan teknologi dan metode pada zamannya, pencapaian para pemikir klasik ini tetap memberikan warisan berharga, yang membuktikan betapa kuatnya daya cipta manusia dalam mengeksplorasi dan memahami alam semesta melalui angka, bentuk, dan logika.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image