Hilirisasi Mineral Indonesia: Masih Menjadi Ancaman Bagi Uni Eropa?
Rembuk | 2024-09-23 20:26:52I
ndonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pengelolaan sumber daya alam tersebut harus dilakukan dengan sebaik-bainya, karena Indonesia memiliki banyak komoditas yang diminati negara lain. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, nilai ekspor Indonesia pada Mei 2022 mencapai US$ 21,51 miliar, turun 21,29% dibandingkan April 2022 yang sebesar US$ 27,32 miliar. Nilai ekspor Indonesia pada Mei 2022 naik 27% jika dibandingkan dengan Mei 2021, dari US$ 16,93 miliar pada Mei 2021 menjadi US$ 21,51 miliar pada Mei 2022. Berikut komoditas yang mengalami peningkatan terbesar ekspor terbesar menurut HS dua digit pada Mei 2022: Bahan Bakar Mineral dengan nilai mencapai US$ 4,9 miliar.
Lemak dan minyak hewan/nabati dengan nilai mencapai US$ 844,5 juta. Bijih logam, terak, dan abu dengan nilai mencapai US$ 739,3 juta. Logam mulia dan perhiasan/permata dengan nilai mencapai USS$ 315,2 juta. Nikel dan barang daripadanya dengan nilai mencapai US$ 591,1 juta. Tembaga dan barang daripadanya dengan nilai US$ 296,4 juta. Timah dan barang daripadanya dengan nilai US$ 170,8 juta. Bahan anyaman nabati US$ 34,1 juta. Korek api, kembang api, dan bahan peledak dengan nilai US$ 1,1 juta.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat kegiatan ekspor mineral mentah dalam hal ini bauksit dan tembaga yang jumlahnya berlimpah ruah. Misalnya bijih bauksit yang pada tahun 2021 ekspornya mencapai 21 juta ton sementara tembaga mencapai 2 juta ton. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif membeberkan bahwa pada tahun 2021 bahwa kegiatan ekspor bauksit mencapai 21 juta ton per tahun. Sementara penggunaan domestik hanya 3,6 juta ton.
Sementara itu, Irwandy mencatat bahwa selain bauksit, kegiatan ekspor juga dilakukan untuk tembaga sebanyak 2 juta ton pada tahun 2021 dengan konsumsi 1,1 juta ton. Nah, apabila larangan ekspor berlaku maka akan terjadi penumpukan 900 ribu ton. Bagi Jokowi, kegiatan ekspor mineral mentah yang terjadi selama ini sangat menguntungkan negara lain. Pasalnya, negara tersebut dapat mengolah bahan mentah dan membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Sementara di Indonesia sendiri masih terbuai dengan ekspor mineral mentah sehingga nilai tambah yanag diperoleh sangat minim.
Maka dari itu, untuk mendapatkan keuntungan sendiri, pemerintah tegas akan melarang kegiatan ekspor mineral mentah baik dari yang saat ini nikel, bauksit di tahun 2022 ini dan tembaga pada tahun 2023, serta timah pada tahun 2024.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencatat bahwa untuk bijih bauksit saat ini, produksinya mencapai 26 juta ton per tahun. Yang mana Indonesia memiliki cadangan bijih bauksit sampai 42 tahun ke depan.
Disamping hal tersebut pemerintah Indonesia memutuskan melakukan pelarangan ekspor bijih bauksit sekaligus mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri. Kebijakan pelarangan tersebut akan mulai diberlakukan pada Juni 2023. Kebijakan tersebut diumumkan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam pernyataan persnya, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022). Sebelumnya, sejak 1 Januari 2020, pemerintah telah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Kebijakan tersebut, ungkap Presiden, berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel secara signifikan dari Rp17 triliun di akhir tahun 2014 menjadi Rp326 triliunpada tahun 2021, atau meningkat 19 kali lipat.
Hubungan Minerba Indonesia dengan Uni Eropa
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2018, Indonesia berada pada posisi ke-6 di dunia untuk negara yang memiliki ketersediaan sumber daya alam yang tersebar dan beragam jenis. Terdapat beberapa jenis sumber daya alam berupa mineral logam yang menjadi komoditas andalan bagi Indonesia antara lain yaitu emas, besi, tembaga, nikel, bauksit dan perak. Menurut data dari laporan Badan Geologi pada tahun 2018 bahwa untuk sumber daya Tembaga mencapai 12.468,35 juta ton, Besi sebesar 12.079,45 juta ton, Emas 11.402,33 juta ton yang melimpah di beberapa daerah di Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Papua, perak sebesar 6.433,01 juta ton, Bauksit 3.301,33 juta ton yang tersebar di Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat, Timah 3.878,29 juta ton yang tersebar di wilayah Bangka Belitung dan Riau, sedangkan Nikel sebesar 9.311,06 juta ton yang banyak ditemukan di Sulawesi Maluku dan Papua Barat. Dengan kebeadaan SDA yang melimpah seperti ini, maka tidak heran jika banyak negara yang melakukan hubungan kerjasama dan juga melakukan kegiatan impor mineral dari Indonesia salah satunya yaitu Uni Eropa.
Uni Eropa sangat bergantung pada pasokan mineral dalam bentuk mentah terutama untuk logam. Mengingat cadangan beberapa mineral penting terutama logam sangat langka di kawasan tersebut, maka negara anggota UE sangat bergantung pada impor mineral mentah dari negara lain agar tetap bisa mendorong perekonomian mereka. Mineral dalam bentuk bahan baku sangat menentukan pertumbuhan dan daya saing ekonomi di UE. Untuk mineral logam saja, lebih dari 40% pekerjaan dan nilai tambah dari sektor manufaktur UE bergantung pada bahan mentah.
Eropa tidak hanya mengimpor bijih dan konsentrat dalam jumlah besar, tetapi juga logam olahan, senyawa dan paduan logam olahan, serta produk jadi dan setengah jadi dalam jumlah yang besar. Konsumsi logam UE terkait erat dengan aktivitas produksi dan pertambangan global. Selain hubungan pendek melalui impor bijih dan konsentratnya langsung dari negara produsen, sejumlah besar impor logam UE juga berasal dari negara-negara pengolah yang menjadi sumber setidaknya bagi sebagian bijih secara global yang juga mengimpor bijih logam dari negara produsen. China dan Rusia berkontribusi secara signifikan terhadap rantai pasokan ini serta berbagai negara industri dan negara berkembang lainnya.
GUGATAN UNI EROPA UNTUK INDONESIA MELALUI WTO
UE mengajukan permintaan konsultasi dengan Indonesia pada tanggal 27 November 2019 sesuai tahapan sengketa yang telah di tetapkan WTO. Pokok-pokok yang dipermasalahkan oleh Uni Eropa dalam pengajuan permintaan konsultasi ini adalah berkaitan dengan larangan ekspor bijih nikel dan persyaratan pengolahan dalam negeri atas mineral terutama bijih nikel. Larangan ekspor bijih nikel ini dianggap hal yang tidak sesuai dengan Pasal XI ayat 1 GATT 1994 yang menyatakan bahwa tidak ada larangan atau pembatasan yang akan diberlakukan atau dipertahankan pada ekspor atau penjualan untuk produk ekspor apapun. Terdapat beberapa point dalam aturan GATT yang dianggap UE telah dilanggar oleh Indonesia, yaitu :
1. Pasal XI.1 GATT tentang larangan pembatasan ekspor dan impor,
2. Pasal 3.1 (b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures tentang subsidi yang dilarang
3. Pasal X.1 GATT tentang pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Uni Eropa meminta konsultasi dengan Indonesia sesuai dengan Pasal 1 dan 4 dari Understanding on Rules and Procedure the Settlement of Disputes (DSU), Pasal XXII: 1 dari General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994 ), dan Pasal 4.1 dari Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) berkenaan dengan berbagai tindakan mengenai bahan baku tertentu yang diperlukan untuk produksi baja tahan karat, serta skema pembebasan bea masuk lintas sektoral yang bergantung pada penggunaan domestik atas barang impor. Konsultasi antara Indonesia dan Uni Eropa berlangsung pada 30 Januari 2020 di Jenewa, Swiss. Konsultasi ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan sehingga masalah antara kedua belah pihak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun konsultasi yang dilaksanakan kedua pihak gagal mencapai kesepakatan.
Tindakan Indonesia membatalkan atau mengurangi manfaat yang diperoleh Uni Eropa, secara langsung atau tidak langsung, berdasarkan perjanjian yang tercakup. Oleh karena itu, Uni Eropa meminta agar sebuah panel dibentuk sesuai dengan Pasal 4.7 dan 6 DSU dan Pasal XXIII GATT 1994, untuk memeriksa masalah tersebut berdasarkan kerangka acuan standar, sebagaimana diatur dalam Pasal 7.1 DSU, Uni Eropa meminta agar permintaan pembentukan panel ini dimasukkan dalam agenda pertemuan Badan Penyelesaian Sengketa yang akan diadakan pada 25 Januari 2021.
Pada bulan Januari 2021 lalu, proses konsultasi antara Indonesia dengan pihak Uni Eropa telah dilaksankan di sekretaris WTO di Jenewa. Pada pertemuan itu pemerintah Indonesia telah memberikan penjelasan tentang pokok-pokok yang menjadi permasalahan bagi Uni Eropa. Indonesia juga telah menolak permintaan Uni Eropa agar Indonesia mencabut kembali kebijakan mengenai larangan ekspor bijih nikel karena Indonesia yakin bahwa kebijakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan WTO dan amanat Konstitusi. Selanjutnya diadakan pertemuan reguler antara DSB dengan WTO pada tanggal 22 Februari 2021 lalu, dimana Uni Eropa secara resmi untuk kedua kalinya kembali meminta pembentukan panel atas sengketa DS592 ini. Namun pada panel kali ini gugatan Uni Eropa berkurang dari yang semula terdapat 5 pokok menjadi 2 pokok saja yaitu pelarangan ekspor nikel dan persyaratan pengolahan nikel di dalam negeri. Pada tanggal 8 Maret 2021, Indonesia mengajukan kriteria panel dalam agenda preference meeting dan tinggal menunggu penetapan anggota panel oleh sekretariat DSB WTO.
Gugatan ini diawali dengan konsultasi yang telah dilaksanakan pada 30 Januari 2020 di Jenewa, Swiss namun belum mencapai kesepakatan, untuk itu gugatan dilanjutkan dengan panel pertama pada tanggal 25 Januari 2021. Pada tanggal 22 Februari 2021, dibentuk panel untuk kedua kalinya dan hingga saat ini Indonesia dan Uni Eropa masih menunggu keputusan terkait panel kedua dari sekretariat DSB WTO. Kebijakan yang dibuat Indonesia membuat Uni Eropa kesulitan terhadap akses bahan baku untuk industri stainless steelnya yang membuat pasokan nikel menjadi langka dan harga nikel melonjak drastis.
Kebijakan Indonesia juga membuat industri baja Uni Eropa berada dalam posisi yang beresiko dan sulit berkompetitif karena Uni Eropa harus dihadapkan dengan langkanya pasokan dan mahalnya harga nikel yang membuat biaya produksi baja UE meningkat sehingga harga jual baja UE juga meningkat. Indonesia merupakan negara produsen nikel terbesar di dunia dengan total produkai 880.000 MT/tahun, dan merupakan nikel laterit yang memiliki kualitas tinggi, yang mampu menghasilkan baja tahan karat berkualitas. Saat ini nikel merupakan salah satu mineral yang banyak diminati karena memiliki banyak manfaat dan kegunaan dalam kehidupan sehari-hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.