Pilkada Prosedural
Politik | 2024-09-22 00:53:37Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 baru-baru ini mengguncang dunia politik Indonesia. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan atau tepatnya mengubah syarat formal harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi 20% menjadi partai politik atau gabungan partai politik yang mampu meraih suara minimal 7,5% suara pada pemilu terakhir. Sebuah langkah yang dianggap sebagai angin segar bagi demokrasi lokal. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memberi peluang lebih luas bagi calon potensial yang sebelumnya terhalang oleh ketatnya syarat dukungan partai politik. Namun di balik putusan yang seolah memperluas ruang demokrasi ini, tersimpan pertanyaan besar: Apakah perubahan ini cukup untuk mengatasi masalah mendasar dalam Pilkada yang semakin cenderung prosedural dan dikendalikan oleh elit politik?
Pengertian Pilkada Prosedural
Pilkada prosedural mengacu pada proses pemilihan kepala daerah yang lebih menitikberatkan pada pemenuhan syarat formal dan teknis daripada esensi demokrasi itu sendiri, yaitu representasi kepentingan rakyat dan persaingan ide serta program kerja yang berkualitas. Dalam Pilkada prosedural, fokus utama biasanya adalah pada hal-hal seperti penggalangan koalisi partai untuk memenuhi ambang batas pencalonan, perolehan dukungan politik, serta kelengkapan administrasi lainnya. Sementara itu, diskusi substantif mengenai visi, misi, dan kebutuhan masyarakat sering kali terabaikan (Mietzner, 2013).
Pilkada di Indonesia sering kali lebih menonjolkan proses prosedural. Hiruk-pikuk penggalangan koalisi partai dan pemenuhan syarat-syarat formalitas lebih menjadi agenda prioritas. Ini menciptakan situasi di mana Pilkada bukan lagi tentang memilih pemimpin terbaik, melainkan siapa yang paling kuat secara politis dan finansial.
Sejatinya, Pilkada memiliki makna penting dalam sistem desentralisasi Indonesia. Pilkada memungkinkan masyarakat setempat untuk menentukan pemimpin yang paling mampu memahami dan memenuhi kebutuhan mereka. Di sisi lain, Pilkada juga berfungsi untuk memperkuat desentralisasi kekuasaan, meningkatkan partisipasi politik di tingkat lokal, dan memungkinkan pilihan pemimpin yang lebih terhubung dengan realitas lokal (Diamond, 2005).
Pilkada sering kali terjebak dalam dinamika yang lebih mengutamakan prosedur daripada esensi demokrasi itu sendiri. Fokus pada pemenuhan syarat formalitas seperti ambang batas dukungan partai, sering kali menggeser perhatian dari esensi yang lebih penting. Proses pencalonan, koalisi partai, dan upaya memenuhi ambang batas ini, meskipun penting, sering kali mengabaikan kebutuhan rakyat yang seharusnya menjadi pusat dari seluruh proses ini (Noprris, 2014).
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 Tahun 2024
Putusan MK No. 60 membuka pintu bagi perubahan besar dalam konstelasi politik Pilkada. Dengan penurunan ambang batas ini, calon-calon yang sebelumnya terhalang oleh persyaratan dukungan partai politik kini memiliki peluang untuk maju. Ini dapat menyebabkan munculnya nama-nama baru dalam konstelasi Pilkada, termasuk individu-individu yang sebelumnya dianggap potensial, tetapi tidak memiliki dukungan partai yang cukup.
Selain itu, partai-partai politik mungkin perlu menyesuaikan strategi mereka dalam menjalin koalisi. Ini berpotensi mengubah dinamika koalisi yang ada dan menciptakan konfigurasi politik baru yang lebih dinamis dan inklusif.
Namun, putusan ini juga membawa risiko. Calon-calon yang sebelumnya unggul, tetapi terancam gagal karena tidak memenuhi syarat dukungan partai mungkin akan kembali memiliki peluang, tetapi mereka harus bersaing dengan calon-calon baru yang juga memanfaatkan perubahan ini. Perubahan ini dapat memunculkan konstelasi politik baru yang lebih kompleks dan sulit diprediksi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas demokrasi di tingkat lokal.
Kesibukan Prosedural dan Ironi Demokrasi
Dalam banyak kasus, Pilkada di Indonesia lebih menonjolkan kesibukan prosedural daripada diskusi substantif tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Proses pencalonan, koalisi partai, dan upaya memenuhi ambang batas sering kali menjadi fokus utama, mengesampingkan esensi yang lebih penting. Ini menciptakan ironi di mana Pilkada, yang seharusnya menjadi ajang kompetisi ide dan program kepentingan rakyat, justru menjadi ajang perebutan kekuasaan yang didominasi oleh kepentingan elit politik.
Fenomena ini diperburuk oleh praktik politik uang dan kartelisme politik. Politik uang, yang melibatkan penggunaan kekuatan finansial untuk meraih dukungan, telah menjadi praktik yang hampir lumrah dalam setiap Pilkada. Praktik ini tidak hanya menciderai proses demokrasi, tetapi juga mengurangi integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Di sisi lain, kartelisme politik, di mana partai-partai besar berkoalisi untuk mendominasi kontestasi, menciptakan situasi di mana kompetisi sehat sulit terjadi (Slater, 2004).
Harapan dan Tantangan
Putusan MK No. 60 memang membawa harapan baru bagi demokrasi lokal. Namun, perubahan aturan ini belum cukup untuk mengatasi tantangan mendasar yang dihadapi Pilkada. Proses Pilkada masih sangat rentan terhadap manipulasi elit politik dan cenderung mengesampingkan kepentingan rakyat. Pilkada seharusnya menjadi ajang untuk memperkuat demokrasi dan kesejahteraan rakyat, bukan sekedar prosedur formalitas yang lebih menguntungkan elit daripada masyarakat luas.
Masyarakat sipil harus terus berperan aktif dalam mengawal proses Pilkada, memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa dampak positif bagi kualitas demokrasi lokal. Hanya dengan partisipasi aktif dan pengawasan ketat dari masyarakat, Pilkada dapat menjadi alat yang efektif untuk mewujudkan kepemimpinan yang responsif, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Sebagai penutup, Pilkada di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan besar, meskipun ada perubahan aturan yang tampaknya progresif seperti yang tercermin dalam Putusan MK No. 60. Putusan ini akan membawa perubahan dalam konstelasi politik, tetapi tantangan mendasar dalam proses Pilkada, terutama kecenderungannya yang terlalu prosedural, masih perlu diatasi. Pada akhirnya yang paling penting adalah memastikan bahwa Pilkada benar-benar berfungsi sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang terbaik bagi masyarakat, bukan sekedar arena perebutan kekuasaan bagi elit politik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.