Destruksi Bangsa oleh Ilusi Kasta Pembaca Buku
Kolom | 2024-09-18 17:07:25Saya percaya jika buku tidaklah memiliki kasta
Sejumlah orang mungkin menganggap bahwa membaca novel romantis lebih cupu ketimbang novel action, novel thriller lebih keren ketimbang horor, novel nonfiksi lebih “serius” ketimbang fiksi fantasi, dan seterusnya. Begitu pula dengan pembaca buku social science yang dianggap lebih “berkualitas” daripada buku self-improvement, buku “kiri” lebih realistis daripada buku bisnis, dan buku filsafat lebih keren daripada yang lainnya.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa buku yang memaksa pembaca berpikir keras adalah buku yang terbaik di antara semua buku di dunia, dan sebagainya. Sebuah paham bahwa “semakin pusing otak, maka semakin baik dan berbobot isi buku tersebut” adalah hasil dari pemikiran yang amat terbatas.
Masalahnya, diskursus mengenai kasta buku dan pembaca buku itu hanya akan membuat orang yang hendak mengawali dan membangun kebiasaan membaca buku menjadi tersendat. Pendiskreditan pembaca buku pemula jelas tak ada bijak-bijaknya.
Oknum yang mengkasta-kastakan pembaca buku itu sebetulnya hanyalah orang yang baru sedikit membaca buku dan korban dari Dunning-Kruger Effect semata. Sebab, orang yang sudah banyak membaca berbagai macam buku sudah pasti dituntut untuk harus berpikiran terbuka dan tak perlu mempersoalkan hal yang tetek bengek.
Pembaca punya selera
Sama halnya dengan selera yang lain, mulai dari selera kuliner, kendaraan, humor, pakaian, merek, ponsel, hingga warna kulit, hakikatnya, setiap orang mempunyai seleranya masing-masing, termasuk soal bacaan. Pembaca buku, tentunya juga memiliki perbedaan dalam seleranya masing-masing.
Namanya juga selera, selera itu bersifat horizontal. Itu artinya, tidak kasta dalam perbedaannya, yang hal itu juga berarti bahwa setiap genre buku tentunya memiliki keunikan dan plus-minusnya masing-masing. Maka, sepanjang tidak merugikan dan menggelisahkan orang lain, selera pembaca jelas tak bisa dipersoalkan. Sebab, setiap genre buku pasti ada niche market-nya(baca: ceruk pasar) sendiri-sendiri.
“Tapi ada juga buku yang tidak laku. Ada buku yang tidak ada pembelinya sama sekali.”
Itu beda soal. Tidak ada yang membeli itu berarti karena kurangnya daya pikat pada buku tersebut. Faktor orang membeli buku pun bisa sangat bermacam-macam, bisa karena penulisnya, genrenya, judulnya yang sensasional, cover yang bagus, desainnya yang unik, fanatisme akut, indah untuk dipajang di rak, estetik untuk dipublikasikan di Instagram story, bahkan hingga tak sengaja membeli.
Singkatnya, jika ada buku yang tidak laku, berarti perlu ada yang dibenahi dalam pemasarannya. Mungkin saja, buku itu memang kurang menarik perhatian, atau marketingnya yang kurang bagus. Kenapa begitu? Sebab, nyatanya, tak sedikit pula orang yang membeli buku hanya karena buku itu laris di pasaran (baca: FOMO), yang tak sedikit juga dari pembeli buku itu yang menyesal telah membeli lantaran isinya yang tak seberapa — tak sesuai dengan ekspektasi.
Di sisi lain, adapun buku yang tak terlalu laris di pasaran, meskipun isi dari buku itu amatlah bagus. Hanya saja, tak banyak orang yang mengetahuinya, itulah sebabnya, buku itu tak terlalu ramai pembeli. Adapun kemungkinan lain, yakni buku tersebut memang belum meledak saja, karena untuk membuat ledakan pembeli, promosi marketing membutuhkan momentum.
Sebelum pembahasan ini mulai menjalar ke mana-mana, bicara soal selera jelas tak akan ada habisnya.
Kita adalah apa yang kita baca
Hanya saja, yang tak bisa dibantah dan dipungkiri, isi buku yang dibaca akan sangat memengaruhi, bahkan mungkin mencerminkan pembacanya. Apa genre buku favoritnya, maka itulah pembacanya — itulah yang ada di pikiran pembaca. Sebab, apa, bagaimana, dan kenapa seseorang menjadi “seseorang” adalah cerminan dari apa yang otaknya konsumsi (bukan hanya bacaan, melainkan juga bisa pengalaman, cerita orang sekitar, tontonan, musik, hingga didikan orang tua). Perilaku, watak, bahkan hingga jiwa seseorang adalah apa yang menjadi referensinya. Akan tetapi, mengapa kita harus mempermasalahkan hal itu?
Maka, orang yang mampu berpikir waras sudah sepantasnya tak perlu mempersoalkan kasta pada pembaca buku. Membaca buku apapun asal itu berguna dan bermanfaat — meski hanya menambah kesenangan semata — tentu itu boleh-boleh saja.
Tak ada seorang pun yang berhak mendikte selera bacaan kita, karena yang tidak boleh adalah merasa bahwa bacaannya yang terbaik serta merendahkan pembaca lainnya. Diskursus itu hanya berlaku bagi orang yang berpikiran sungsang dan picik.
Oleh karena itu, agar tak menjadi bagian dari orang yang berpikiran demikian, pemahaman itu harus sesegera mungkin dimusnahkan. Alasannya, dikhawatirkan, dampak dari pemikiran itu hanya akan membuat pemikiran bangsa terjebak dalam kemunduran sehingga semakin sulit berkembang.
Bagaimana tidak? Baru mulai membaca buku yang ringan demi membiasakan membaca buku, alih-alih mendapat support, seorang pemula malah didiskreditkan oleh yang sudah membaca banyak buku. Sebagai pembaca buku yang bijaksana, kita harus mencegah laju kemunduran itu. Pemikiran yang destruktif mengenai kasta pembaca buku harus ditolak sekeras-kerasnya demi kemajuan bangsa.
Sebagai pembaca buku lawas, kita mesti merangkul dan mendukung semua pembaca buku pemula, karena semua pembaca buku itu tidak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi. Kita semua setara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.