Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nindira Aryudhani

Pelajaran dari Polemik Hijab di RS Medistra

Agama | 2024-09-02 21:14:04

Polemik hijab kembali terjadi di negeri kita. Baru saja beberapa waktu lalu polemik hijab menimpa para muslimah peserta Paskibraka Nasional, kini kembali terjadi kasus serupa di RS Medistra. Ini berawal dari viralnya surat yang dikirimkan oleh salah seorang dokter onkologi yang berisi protes atas dugaan rasis dari pihak RS saat merekrut dokter umum, yakni meminta kesediaan mereka untuk melepas hijab jika diterima bekerja di RS tersebut.

Sejatinya, aturan lepas hijab bagi perawat di salah satu rumah sakit bonafide di Jakarta tersebut sudah terjadi sejak lama. Penulis menyaksikan sendiri realitas itu sekitar 2011 lalu, yakni saat ada salah seorang kerabat penulis yang cukup lama dirawat di RS tersebut. Saat itu, penulis hampir setiap hari datang ke RS selama kurang lebih empat bulan berturut-turut. Dengan begitu, penulis cukup hafal dengan wajah beberapa perawat.

Para perawat di sana, saat baru datang masuk kerja, di halaman RS mereka masih berkerudung. Saat sudah mulai jam kerja di dalam RS, mereka "mendadak" tampil tanpa kerudung. Seragam kerjanya pun lengan pendek. Demikian pula sepulang kerja, mereka "mendadak" berkerudung lagi saat kami kebetulan bertemu mereka di halaman RS. Bajunya juga "mendadak" panjang, yang dengan kata lain menutup aurat, padahal saat di dalam RS mereka berseragam lengan pendek dan tanpa kerudung.

Bagi beberapa orang mungkin ada yang menyatakan bahwa realitas seperti ini banyak juga terjadi di RS lain. Maksudnya, kasus di RS Medistra ini hanyalah fenomena gunung es. Atau ada juga mungkin yang berkomentar bahwa mengapa baru meributkan sekarang, toh kebijakan seperti itu sudah lama terjadi di RS Medistra.

Kita memang tidak bisa mengendalikan komentar masyarakat. Hanya saja, satu hal yang patut kita tegaskan di sini adalah adanya standar ganda yang telah diproduksi oleh sistem sekuler liberal saat ini. Di satu sisi, saat ada muslimah yang teguh berhijab bahkan bercadar, mereka disebut radikal, fanatisme agama yang berlebihan, ekstremis, juga intoleran. Namun lihatlah, ketika ada aturan "aneh" semacam di RS Medistra maupun saat kisruh hijab anggota Paskibraka yang lalu, malah menjadi kebijakan sepihak dari "pemilik/penentu kuasa" untuk melarang pemakaian hijab.

Jika demikian, lantas di manakah letak hak asasi manusia (HAM) yang selama ini menjadi sesama produk sistem sekuler? Bukankah baik HAM, ide radikal-intoleran, maupun pelarangan hijab itu lahir dari rahim yang sama?
Meski pihak RS Medistra sudah menyatakan permintaan maaf, namun tetap ada satu hal yang juga tidak boleh kita abaikan, yakni tidakkah pelarangan hijab itu salah satu gejala islamofobia di negeri ini?

Jika benar ini islamofobia, kita patut menyalakan nalar kritis kita. Terlebih, negeri kita adalah salah satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tidak semestinya pelarangan hijab terjadi di negeri ini. Jika muncul satu kasus pelarangan hijab, jangan kita biarkan kemunculan kasus serupa di waktu yang lain.

Hijab sendiri bukan sekadar hak bagi para muslimah, melainkan kewajiban yang datangnya langsung dari Allah Taala, yakni dalam ayat,"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (QS An-Nur [24]: 31).

Lebih dari itu, jika bagi para pejuang ide sekuler hijab dianggap pengekangan atas kebebasan perempuan, sejatinya dalam Islam hijab adalah kemerdekaan. Allah Taala berfirman dalam ayat,"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab [33]: 59).

Asy Syaukani rahimahullah menerangkan perihal ayat tersebut, "Ayat (yang artinya), 'Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal', bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka." (Fathul Qodir, 6/79). Wallahualam bissawab. [Nind].

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image