Edukasi Smong terhadap Penanganan Bencana Tsunami
Eduaksi | 2024-08-29 14:43:20Damay Ar-Rahman adalah Staf bidang Edukasi dan Preparasi di Museum Tsunami Aceh. Beberapa tulisannya dimuat dalam surat kabar dan majalah.
Baru-baru ini masyarakat digemparkan dengan pemberitaan mengenai gempa dengan kekuatan tinggi akan kembali terutama di wilayah-wilayah yang sebelumnya pernah mengalami. Gempa dapat mengakibatkan tsunami seperti yang terjadi pada 2004 lalu di Aceh dan Sumatra yang tidak hanya menghabiskan seluruh isi kota tetapi ratusan ribu korban jiwa turut berjatuhan. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah banyaknya korban yang berjatuhan.
Masyarakat tidak harus menunggu mengenai informasi tentang bencana, melalui edukasi Smong masyarakat dapat lebih dulu mengetahui tanda datangnya tsunami. Istilah Smong berasal dari Pulau Simeulue yang berarti "Air Hempasan Gelombang Laut" menjadi kearifan lokal yang dipopulerkan baik dalam bentuk nandong ataupun nafi-nafi. Nandong adalah nyanyian yang dapat diiringi dengan alunan musik, sedangkan Nafi merupakan tutur lisan yang disebarkan melalui cerita.
Smong mulai muncul saat peristiwa tsunami di Pulau Simeulue pada 1907 bahkan diteruskan sampai tsunami 2004 yang menjadi bencana paling mematikan dengan menelan korban mencapai ribuan jiwa. Berbeda di Pulau Simelue, korban yang maninggal hanya tujuh orang bahkan beberapa diantaranya bukan disebabkan tsunami, melainkan karena kondisi tubuh atau sakit. Adapun korban di Banda Aceh pada 2004, masyarakat tidak mengetahui jika bencana akan datang pasca terjadinya gempa, hal ini disebabkan karena warga tidak mengetahui bahwa dampak gempa mampu menaikkan air laut dan akan menghancurkan isi di daratan.
Bahkan banyak warga mengambil ikan yang terdampar di tepi pantai karena surutnya air, yang tanpa mereka ketahui bahwa surutnya air merupakan tanda datangnya tsunami. Oleh karena itu, perlu dilakukan edukasi Smong dengan melakukan transfer pengetahuan dalam berbagai cara, sehingga masyarakat dapat membaca tanda-tanda bencana secara alamiah.
Pulau Simeulue telah menjadikan Smong sebagai budaya. Pelestarian Smong terlihat saat para orangtua di pulau Simeulue menyanyikannya untuk menidurkan anak dan dapat juga ditampilkan pada acara-acara masyarakat. Penyebaran Smong juga dapat dilakukan saat berada dalam majelis ilmu, surau, dan pada sebuah perkumpulan atau sambil berbincang-bincang seperti di warung kopi, rumah makan, dan tempat lainnya.
Smong telah dilestarikan secara turun temurun sehingga tidak hanya sekedar hiburan masyarakat, tetapi memiliki nilai dan makna kehidupan. Dalam lirik Smong, juga terdapat cara untuk menghindari tsunami. Hal inilah yang membuat minimnya korban di Pulau Simelue saat tsunami menghantam daratan. Terutama Pulau ini termasuk dalam kategori wilayah yang berdekatan dengan pusat gempa, sehingga warga setempat harus lebih waspada apabila sewaktu-waktu terjadi bencana.
Mereka dapat melihat ciri-ciri gelombang air laut yang akan menerjang dengan mengamati air setelah gempa terjadi. Masyarakat dapat memperhatikan air laut yang mulai surut secara tidak normal dalam waktu 10-15 menit lalu ikan-ikan terdampar ke tepi pantai, hal itu menunjukkan tanda-tanda datangnya bencana alam. Adanya pengetahuan alam pada masyarakat dapat mencegah banyaknya korban jiwa dengan segera mengevakuasi diri menuju tempat lebih tinggi. Selain melihat tanda-tanda Smong di laut, masyarakat juga dapat memperhatikan hewan-hewan yang berada di sekitar pantai mulai berlarian secara bergerombolan seperti sapi, kerbau, dan burung.
Adanya pengetahuan Smong, diharapkan dapat menambah wawasan yang memiliki manfaat besar apabila terjadi bencana.
Berikut disajikan cuplikan lirik Smong beserta artinya.
Anggalinon ne mali
(Jika gempanya kuat)
Oek suruh sauli
(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali
(Segeralah cari tempat)
Fano me senga tenggi
(Dataran tinggi agar selamat)
Lirik di atas berhasil menyadarkan masyarakat untuk segera menyelamatkan diri setelah gempa terjadi. Tanpa adanya informasi dari luar, budaya tersebut menjadi alternatif bagi warga Simeulue karena telah diterapkan sejak zaman dahulu. Tidak ada yang menjamin kapan terjadinya tsunami, sekalipun telah diteliti berpuluhan kali. Oleh karena itu, perlunya edukasi Smong ditanamkan sejak dini pada generasi muda. Smong sendiri dapat disebarkan dengan menggunakan media sosial, youtube, dan secara langsung seperti seminar atau sosialisasi. Hal ini telah diterapkan di beberapa lembaga termasuk Museum Tsunami.
Acara tahunan bertema Smong Box menjadi salah satu upaya pihak museum dalam mengantisipasi bencana yang apabila terjadi, masyarakat tidak harus menunggu informasi prediksi bencana, tapi langsung dapat menyelamatkan diri. Selain Smong, peserta juga dibekali dengan berbagai pengetahuan kebencanaan baik cara menghindari maupun penyelamatan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.