Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Mengapa Sebagian Besar Orang Mendambakan Koneksi dan Sebagian Tidak

Gaya Hidup | Tuesday, 27 Aug 2024, 10:22 WIB
Menjelajahi kekuatan psikologis lewat tadabur alam (foto: dokumen SSDarindo)

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Sejak kita dilahirkan, kita didorong ke dalam dunia di mana hubungan dan koneksi dengan orang lain memainkan peran sentral dalam perkembangan, kesejahteraan, dan kebahagiaan kita secara keseluruhan.

Kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok, merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, dan membentuk hubungan yang bermakna merupakan aspek mendasar dari pengalaman manusia. Dorongan psikologis ini dikenal sebagai afiliasi, dan memiliki implikasi yang mendalam terhadap cara kita menjalani hidup, mengambil keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain.

Afiliasi bukan hanya sebuah konstruksi budaya-afiliasi berakar kuat dalam sejarah evolusi kita. Manusia purba yang membentuk ikatan sosial yang kuat lebih mungkin untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Menjadi bagian dari sebuah kelompok memberikan perlindungan, akses ke sumber daya, dan kesempatan untuk bekerja sama.

Keuntungan evolusioner ini diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan kebutuhan untuk berafiliasi sebagai aspek inti dari psikologi manusia. Penelitian oleh Baumeister dan Leary mendukung gagasan ini, menunjukkan bahwa kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok merupakan motivasi manusia yang mendasar.

Karya penting mereka, "The Need to Belong: Desire for Interpersonal Attachments as a Fundamental Human Motivation," menyatakan bahwa membentuk dan mempertahankan hubungan yang kuat dan stabil sama pentingnya bagi kesejahteraan kita seperti halnya kebutuhan fisiologis dasar seperti makanan dan air. Kebutuhan ini mendorong kita untuk mencari interaksi sosial, membangun persahabatan, dan menjaga hubungan dekat dengan keluarga dan orang-orang terkasih.

Manfaat Psikologis dari Afiliasi Afiliasi menawarkan banyak manfaat psikologis yang berkontribusi pada kesejahteraan kita secara keseluruhan. Salah satu yang paling signifikan adalah rasa aman dan dukungan yang didapat dari menjadi bagian dari sebuah kelompok.

Ketika kita tahu bahwa kita memiliki orang-orang yang dapat diandalkan-apakah itu anggota keluarga, teman, atau kolega-kita merasa lebih aman dan percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup. Selain itu, afiliasi dapat meningkatkan harga diri kita. Diterima oleh orang lain dan merasa dihargai dalam suatu kelompok akan memperkuat rasa harga diri kita.

Penelitian menunjukkan, individu yang memiliki tingkat hubungan sosial yang lebih tinggi cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami perasaan kesepian dan depresi. Selain itu, afiliasi dikaitkan dengan kesehatan fisik yang lebih baik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Holt-Lunstad, Smith, dan Layton menemukan bahwa individu dengan hubungan sosial yang kuat memiliki kemungkinan bertahan hidup 50% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki ikatan sosial yang lebih lemah. Efek ini konsisten pada semua usia, jenis kelamin, dan status kesehatan, yang menyoroti dampak mendalam dari hubungan sosial terhadap kesehatan kita secara keseluruhan.

Ingroup vs Outgroup adalah sisi dari afiliasi. Meskipun afiliasi dapat menyatukan orang-orang, afiliasi juga dapat menciptakan perpecahan antara mereka yang termasuk dalam suatu kelompok (ingroup) dan mereka yang tidak termasuk dalam suatu kelompok (outgroup).

Perpecahan ini dapat mengarah pada bias ingroup. Kita lebih menyukai anggota kelompok kita sendiri daripada anggota kelompok lain. Dalam kasus-kasus ekstrem, hal ini dapat menyebabkan prasangka, diskriminasi, dan bahkan konflik.

Teori Identitas Sosial menjelaskan bagaimana afiliasi kita dengan kelompok tertentu berkontribusi pada konsep diri kita dan bagaimana hal ini, pada gilirannya, memengaruhi sikap kita terhadap orang lain. Menurut teori ini, kita mengkategorikan diri kita sendiri dan orang lain ke dalam kelompok-kelompok, dan kategorisasi ini membentuk dasar identitas sosial kita.

Kita kemudian membandingkan kelompok kita (ingroup) dengan kelompok lain (outgroup) dan cenderung memandang kelompok kita dengan lebih baik. Hal ini dapat menimbulkan berbagai perilaku negatif, termasuk stereotip dan konflik antarkelompok.

Meskipun sebagian besar orang memiliki kebutuhan yang kuat untuk berafiliasi, ada beberapa orang yang tampaknya tidak terlalu membutuhkan hubungan sosial. Individu-individu ini sering kali lebih suka menyendiri atau hanya memiliki sedikit hubungan dekat daripada mencari jaringan sosial yang lebih luas.

Memahami apa yang berkontribusi pada rendahnya kebutuhan afiliasi ini dapat memberikan wawasan yang berharga tentang keragaman perilaku sosial manusia. Ciri-ciri Kepribadian dan Kebutuhan Afiliasi Penelitian telah menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian tertentu terkait dengan rendahnya kebutuhan afiliasi. Salah satu sifat yang paling banyak dipelajari dalam hal ini adalah introversi.

Introvert cenderung lebih pendiam, menikmati kegiatan menyendiri, dan mungkin merasa lelah dengan interaksi sosial yang berlebihan. Ini bukan berarti mereka tidak menghargai hubungan. Namun, mereka cenderung lebih menyukai hubungan yang lebih dalam dan satu lawan satu daripada interaksi dalam kelompok yang lebih besar.

Mengutip dari laman psychologytoday.com, model Big Five Personality Traits, yang mencakup introversi atau ekstraversi sebagai salah satu dimensinya, menyoroti bagaimana orang introvert mungkin memiliki ambang batas yang lebih rendah untuk rangsangan social. Ini berkontribusi pada berkurangnya kebutuhan mereka untuk berafiliasi.

Ciri kepribadian lain yang terkait dengan kebutuhan afiliasi yang lebih rendah adalah kemandirian. Orang yang memiliki nilai tinggi dalam kemandirian menghargai kemandirian dan otonomi, sering kali lebih memilih untuk mengandalkan diri mereka sendiri daripada mencari dukungan dari orang lain.

Sifat ini dapat bermanfaat dalam menumbuhkan ketahanan dan efikasi diri, tetapi juga dapat menyebabkan lebih sedikit koneksi sosial dan kebutuhan afiliasi yang dirasakan lebih rendah.

Faktor-faktor budaya juga dapat mempengaruhi sejauh mana individu mencari afiliasi. Dalam budaya individualistis, seperti yang ditemukan di Amerika Serikat dan banyak negara Eropa Barat, terdapat penekanan yang kuat pada kemandirian, kemandirian, dan pencapaian pribadi. Orang-orang yang dibesarkan dalam budaya ini mungkin menginternalisasi nilai-nilai ini dan kurang mementingkan afiliasi kelompok dan ikatan sosial.

Penekanan budaya pada otonomi ini dapat berkontribusi pada kebutuhan yang lebih rendah untuk berafiliasi, karena individu memprioritaskan tujuan pribadi dan kemandirian di atas hubungan komunal. Sebaliknya, budaya kolektivis menempatkan nilai yang lebih tinggi pada keharmonisan kelompok, ikatan keluarga, dan komunitas. Individu dari budaya ini sering kali lebih cenderung mencari koneksi sosial dan menjaga hubungan dekat, yang mencerminkan kebutuhan yang lebih tinggi akan afiliasi.

Interaksi antara kebutuhan kita untuk berafiliasi dan faktor-faktor yang membentuk kebutuhan ini menyoroti kompleksitas hubungan manusia. Meskipun sejarah evolusi dan lingkungan budaya mendorong kita untuk membentuk ikatan, perbedaan individu mengingatkan kita bahwa tidak ada cetak biru universal tentang bagaimana kita berhubungan dengan orang lain.

Sebagian orang, tarikan komunitas dan interaksi sosial merupakan kekuatan yang kuat, yang penting bagi kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Sementara yang lain, kemandirian dan kesendirian menawarkan jalan yang berbeda menuju kepuasan.

Dengan memahami dan merangkul keragaman ini, kita dapat menavigasi dunia sosial dengan lebih baik, membina lingkungan di mana kebutuhan unik setiap orang akan koneksi-atau ketiadaan koneksi-dihormati dan dihargai. Pada akhirnya, kekayaan pengalaman manusia terletak pada kemampuan kita untuk menyeimbangkan keinginan untuk memiliki dengan kebutuhan akan individualitas. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image