Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Heri Haliling

Rumah Remah Remang

Sastra | 2024-08-16 00:26:30

Milka

Sering ku renungkan, kapan lagi aku merasakan cinta jika bukan hari ini. Ini perjalanan cinta yang sungguh ku seriuskan. Sudah 3 tahun lebih aku merasakan kegelisihan hati. Tak punya kekasih dan sendirian dikurung kos-kosan. Tapi aku bukan cupu. Ketika SMA aku selalu berusaha, tapi tak optimal hingga sering payah pada akhirnya. Sekarang di Banjarmasin ini, aku akan lebih serius berjuang.

“Jan, udah penuh itu baknya. Sana mandi”

Lamunanku pudar seketika saat seorang pemuda sepantarku menjawil lenganku.

Ya. Sekarang aku sudah kuliah semester pertama. Bagiku, hidup di kos-kosan yang mau rubuh begini pun aku sudah terbiasa.

“Kau Jan. Baru berapa minggu di sini dan sudah sering melamun” itu kata Yoan. Salah satu temanku yang berasal dari Mataraman, Banjarbaru. Perawakannya tegap, sedikit Cina karena blasteran Dayak-Jawa. Dia rusuh orangnya. Dia berjalan mendekati bak mandi yang terbuat dari potongan ban truk container itu. Benar-benar sakit, yang punya kos. Miskin hingga tak mampu menyediakan bak mandi.

Yoan membuka celana kolornya. Telanjang bulat. Nemos yang menjawilku pun masih sibuk dengan anduknya. Benar, kami mandi dalam satu ruangan terbuka. Berdinding seng dengan atap langit. Jika lagi begini, maksudnya antre. Kami akan sama-sama telanjang bulat menunggu giliran mandi atau bahkan mandi bersama.

*

Semingguan ini pembelajaran di kelas kurang aktif. Namun aku betah di sini, sebab akulah yang akan aktif.

“Itu dia. Benar dia bro, sudah datang” kataku pada Nemos.

Nemos melirik apa yang ku arahkan. Matanya yang cekung mencoba fokus. Bisakah dia demikian. Jika dirunut, sampai sekarang otak temanku itu memang belum beres. Malam begadang, main domino dan terakhir menelan destro hingga berates-ratus biji. Lalu mampus pada paginya. Susah digerak.

Dia tertawa kecil. Cekikikan sembari menahan jemarinya yang gemetar. Sudah parah tampaknya.

“Yang gituan bro?” ujarnya lirih. “Cari dong yang semok. Payah kau punya level"

Aku memundurkan dagu. Apa yang salah? Jika ku amati, cewe baju hem dengan garis-garis itu cukup sempurna bagiku. Semok? Bukan itu yang ku mau. Cukup manis dan menyenangkan hati.

“Namanya Milka, Nem”

“Cari yang lain aja”

“Ayolah. Bantu aku. Hubungkan aku dengan dia”

“Untuk apa. Kau sudah tahu namanya bukan? Usaha sendiri dong”

“Aku tahu dari daftar hadir aja. Aku malu”

“Kau malu atau ragu. Tampang begini sih jelas nggak laku”

“Ayolah?”

Nemos menatap kantuk kepadaku. Lalu berdiri. Menggerutu sejenak . Nemos mendekati Milka.

Aku hanya mengamati dari sini. Sekitar 5-7 kursi jaraknya. Aku melihat dia berjalan gontai. Beberapa meja ia tabrak. Aduh. Aku ragu padanya. Mengapa aku memintanya.

Milka menatap Nemos tatkala kulihat mulutnya mulai komat-kamit. Roman wajah Milka mendadak takut. Nemos sialan. Kemudian Milka menengok ke arahku. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Dia tidak membalas. Tetap kaku dalam bisunya.

Nemos kemudian kembali.

“Nggak mau Bro. Sudah ku bilang. Kau nggak laku?”

Kampret temanku ini. Jelas saja Milka menolak. Aku sungguh menyesal. Lagak Nemos terhadap Milka mirip begal motor sedang mabuk. Tentu saja dia malas.

*

Usai sudah perkuliahan hari ini. Aku berjalan pulang ke kos bersama Nemos. Dekat saja jaraknya. Mungkin 500m. Tapi tak terasa jika berjalan sambil ngobrol begini.

Namun belakangan, pembicaraan kami mulai tak beraturan. Bukan karena kebiasaan Nemos yang menceracau. Tapi karena aku yang kurang fokus.

Di gang ini, aku sering melihat Milka. Tapi kekagumanku pada dia belum sebegitu hebat saat itu. Hari ini memang tak tertahankan sudah. Sebab dari puncak kekagumanku itulah yang mengakibatkan aku tak fokus.

Sebentar kemudian, benar saja Milka lewat bersama salah satu sahabatnya. Tampaknya dia memotong jalan dan sudah tiba-tiba saja ada di hadapan kami. Kurang lebih 100 meterlah jaraknya. Aduh. Asmara tampaknya mulai menekan. Tanpa menghiraukan Nemos, aku langsung nyelong menghampirinya.

“Milka?” kataku.

Milka menoleh ke belakang. Temannya juga ikut.

Mengetahui aku mendekat, temannya yang tampaknya beda ruang itu tersenyum sipu.

“Milka, Rijani” kataku mengulurkan tangan.

“Udah tahu” balasnya singkat tanpa menyambut uluran tanganku.

“Oh maaf?” aduh kampret. Mengapa aku jadi bodoh. Kami sudah seminggu berada dalam satu kelas. Tentu saja dia juga tahu namaku.

“Milka. Bolehkah aku berteman?”

“Bukannya kita sudah berteman"

Aku menelan ludah.

“Udahlah Milka, kayak nggak paham aja kamu ini" cletuk temannya sambil menutup bibirnya dengan buku. Tampaknya dia tertawa melihatku. Sial.

SST!!! Milka mendelik ke arahnya.

“Ya udah. Sekarang maumu apa sih. Panas nih?”

“Sebentar” kataku. Aku langsung berlari ke warung terdekat. Berpapasan dengan Nemos dan dia geleng-geleng kepala. Di warung sederhana itu aku membelikan 2 minuman dingin lalu secekatan itu pula aku sudah kembali.

“Ini” kataku memberikan minuman dingin ke Milka dan temannya.

Temannya kian tertawa tertahan.

“Makasih ya?”

“Jika nggak keberatan, boleh aku minta WA kamu? Oke deh aku janji apabila nanti kamu nemuin kata-kata kasar atau nggak sopan di dalam situ. Kamu bebas kok nggak ngebalasnya.”

“Emmm gimana yah?” kata MIlka sambil memainkan telunjuk di bibirnya yang kecil itu.

*

Pembuktian

“Aduh, memang sok cakep cewe-cewe Banjarmasin ini. Aku sampai heran. Sok cantik memang” celetuk Yoan sambil mondar-mandir di beranda depan. Di tempat inilah biasannya kami ngumpul untuk sekadar ngobrol atau merokok. Ibu kos tinggal di lantai bawah. Beliau sering kontrol jika terjadi rebut-ribut di atas. Namun hanya berani menengok di ujung tangga saja. Maklum, lantai atas yang hanya berplapon triplek itu sangat sumpek dan panas. Maka penghuni seperti kami sudah terbiasa tidak memakai baju. Tampaknya ibu kos takut dengan hal itu.

“Siapa Wan?” itu suara Koyat. Si sangklek dari pesisir Pantai Takisung. Orangnya bertubuh lebih tinggi dariku, kulitnya putih dengan hidung besar. Sebenarnya dia ramah. Tapi sangklekp. Dia kerap konyol dalam berbagai hal. Semisal saat malam begini. Kami sedang asik main PS di kamarku dan tiba-tiba dia masuk. Dengan senyum dia menawarkan sepiring gorengan cempedak yang masih hangat kepada kami. Koyat memang punya hobi memasak. Dia suka sekali mengolah apapun yang ada di kamarnya. Kadang telur ditepungi, ubi goreng, sukun dan sekarang cempedak. Kontan saja, kami langsung berebut menyantap cempedak yang hangat itu. Gorengan habis kami lahap dan kami melanjutkan main PS. Teman akrabnya adalah Yoan karena Koyat satu kelas dengannya. Saat Yoan sedang tidak bermain, mereka berdua ngobrol. Yoan menggoda Koyat.

“Bulu dada situ manis lah?”

Koyat melihat dadanya.

“Aku juga bingung Wan. Bapakku nggak punya bulu sebanyak aku. Tapi kata orang. Cowo itu maco bila banyak tumbuh bulu”

“Kata siapa Yat?” ujarku menyahut dengan tetap fokus pada PS.

“Kata tetangga, Jan. Hanya aku kerepotan sebenarnya”

“Maksudnya?” tanya Yoan.

“Lihat saja Wan” aku menoleh sebentar ke arah Koyat. Dia berdiri memamerkan badannya.

“Bulu dadaku ini tumbuh merembet turun sampai ke bagian ini” menunjuk sela di antara kolornya. “Dan bagian kaki.”

“Lantas?”

“Aku sering mencukurnya. Namun kadang kerepotan sendiri. Jika aku masak nasi, mengadon atau merebus mie, terkadang ada saja bulu-bulu itu ikut di dalamnya. Padahal aku sudah sapu kamarku. Tapi, entahlah..bulu-bulu itu rontok sendiri” katanya sambil tertawa cekikikan.

Aku segera melongo kepada Nemos yang jadi lawan tandingku. Mata Nemos yang ngantuk dengan segera membelalak. Tidak beda dengan Yoan. Dia segera menghambur berlari keluar ketika mengetahui perkataan koyat. Di luar terdengar muntahan.

Koyat tetap tertawa dengan polosnya. Dengan bego dia bertanya:

“Yoan sakit ya?”

Aku masih ingat. Setelah makan gorengan buatannya itu entah mengapa tengah malam badanku langsung demam. Aku menggigil. Paginya muntah dan terpaksa orang tuaku datang. Aku dibawa kepuskesmas lalu disuntik. Aku kena diare. Memang kampret temanku itu. Sejak itulah aku kurang suka dengannya.

*

Malam lain saat kami sedang berkumpul di beranda atas, Yoan mulai berkeluh.

“Jujur saja ya? Di kampungku Mataraman sana, aku nggak pernah ditolak cewe. Tapi di sini” dia menggeleng. “Sudah 3 orang menolakku”

“Siapa Wan?” tanya Koyat lagi meminta perhatian. Aku hanya mendengarkan. Tanganku masih asik dengan layar HP.

Yoan akhirnya menyerah. Sepertinya dia tidak dapat perhatian dariku. Mungkin sebenarnya dia ingin bercerita denganku, namun kalah dengan kesibukanku sekarang.

“Amel”

“Amel? Wah mantap seleramu. Aku juga naksir temannya” jawab koyat.

Yoan melengos.

“Jan. Punya kenalan cewe gak?”

“Nemos mungkin ada. Datangi aja” kataku datar.

“Ehh..SSt!!” kode Yoan. “Kalian nggak tahu ya?”

“Apa?” kataku.

“Coba tengok di kamarnya"

“Nemos ngobat lagi?” tanyaku.

Yoan menggeleng. Aku dan Koyat heran. Sekarang malah penasaran. Kami pun mendatangi kamar Nemos perlahan-lahan. Melewati beberapa kamar yang masih kosong, lorong yang mencekam ini tak pernah buat kami takut.

Sampai di depan pintu. Dinding kamar yang lapuk dari papan itu pun kami merayapkan mata mencari sebuah lubang. Dapat. Kami mendapatkannya dan mulai merapatkan mata.

Koyat langsung hendak terbahak sebelum tanganku menyumbat mulutnya. Aku menoleh ke arah beranda. Yoan tampak mengode dengan mulutnya. Jelas ku baca gerak bibirnya yang lebar.

“Gimana?” .

Aku tersenyum. Bahkan terbahak-bahak jua namun aku juga sumpal dengan tanganku sendiri. Kami berjalan menuju ke arah beranda, menuju Yoan.

“Gila bukan?” sambut Yoan.

“Teman kita itu memang seharusnya sudah kawin”

“Nggak nyangka aku. Nemos itu sangklek. Col## dia di sana” kata Koyat lagi sambil tertawa. “Asli. Baru kali ini ku ketahui, ternyata teman kita itu punya kebiasaan sangklek” Koyat merangkum wajahnya sambil terduduk. Dia masih tertawa sambil geleng-geleng. “Bego Bego??” terusnya lagi.

Aku mengernyitkan kening.

“Kalau kelakuannya sudah gitu, mana dia bisa diganggu. Jadi gimana Jan?”

Aku menanggapinya saja. Aku katakan saja pada Yoan bahwa sebenarnya aku pun ada janji untuk ketemuan malam ini. Aku katakan pula memang aku perlu teman sebab yang mau aku jumpai itu orangnya berdua. Aku tambahkan, awalnya aku hendak membawa Nemos. Namun mengetahui kesibukannya itu tampaknya tidak akan mau dia untuk dibawa. Mendengar itu Yoan sangat senang.

“Okelah. Jam 9 kita bergerak. Di mana tadi ketemunya?”

“Menara Pandang, Siring Banjarmasin” kataku.

*

Raida orangnya humoris ternyata. Dari raut wajahnya tampaknya dia senang sekali berada di dekat Yoan. Sementara Yoan hanya tersenyum kecil. Mereka berjarak 10 meteran dari kami.

“Kau aslinya orang mana Mil?” tanyaku memulai.

“Aluh-Aluh”

“Oh?”

Aku memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun jawabannya singkat. Entah mengapa kurasakan obrolan kami hanya berlaku searah saja. Tapi aku tidak menyerah. Sesekali aku tersenyum dan tertawa untuk mencoba menikmati jawaban Milka yang sungguh basi bagiku. Menghormatinya. Namun malah dia kian tidak enak dengan hal itu.

“Lucu ya?” ujarnya yang mematahkan mentalku.

Hal begini bukan sekali ini saja aku rasakan. Mulai SMA pun sudah sering. Lemahnya adalah ketika SMA perkataan ini selalu membuatku jatuh dan nggak minat lagi untuk memburu. Aku sudah janji untuk bertempur habis-habisan saat kuliah ini. Aku tak akan menyerah begitu saja.

“Kau lihat Mil. Sorot lampu di pinggiran siring ini tampak berkilau memantul dari Sungai Martapura yang ada di bawahnya. Di kampungku tidak ada yang begini. Bersyukurnya aku karena berada di sini. Jika di tempatmu ada tidak?”

“Sama saja. Di tempatku juga tidak ada..Raida!!....Oyy..Raida?” panggil Milka tiba-tiba.

Raida yang mulanya tak mendengar setelah digawil Yoan kemudian paham. Mereka berdua mendekat.

“Jam 10 sudah"

“Sebentar lagi Mil”

“Tapi kos kita akan ditutup gerbangnya” sahut Milka lagi. Dari perkataan itu, aku menangkap kode mata dari Milka untuk Raida.

“Oh. Ya udah deh?”

Sejurus kemudian Milka dan Raida berpamitan dengan senyumnya. Raida begitu ramah senyumannya. Sangat beda dengan Milka yang agaknya tertahan sikapnya kepadaku. Yoan sumringah saja. Dia tampaknya tak mengetahui kekakuan antara aku dan Milka.

Setelah motor mereka berdua keluar dari parkiran. Aku mulai bertanya.

“Gimana Wan”

“Sedikit tonggos sih. Tapi aku tembak saja dia.”

Aku terkejut. Bagaimana mungkin. Baru kenal pertama dan hanya bercakap beberapa jam saja temanku ini sudah berani menyatakan perasaannya. Tapi aku penasaran terhadap jawabannya.

“Lantas?”

Yoan tersenyum puas.

“Diterima dong”

“Wah mantap” kataku ikut senang.

Yoan menceritakan bahwa, walau ia ditolak pun ia tak akan menyesal. Yoan begitu jengkel dengan sikap cewe Banjarmasin yang sombong-sombong. Yoan merasa apakah dia kurang cakep di mata mereka. Oleh sebab itu, malam ini dia ingin mengujinya. Ia mengatakan bahwa, wajah Raida jauh beda dengan Amel dan lainnya yang pernah ia tembak dan ditolak. Ia berpikir cepat dan bertaruh dalam batinnya sendiri. Apabila cewe berwajah pas-pasan macam Raida saja menolaknya maka benarlah pandangannya baru-baru ini bahwa ia memang tidak tampan.

“Parah kau Wan. Perasaan orang dimainkan. Kasian dia.”

“Alah sudahlah Jan” katanya tak peduli. Kami pun berjalan-jalan menikmati indahnya taman Menara Pandang Banjarmasin.

**

Si Montir dan Si Sufi

Walau ketus, tapi toh tetap saja dia membalas Wa-ku terus. Mungkin cewe ini hanya minta kesungguhan dari orang. Sepertinya begitu. Bukankah kata Yoan cewe Banjarmasin itu sombong. Tentu saja dia minta diperhatikan. Kesungguhan dan ketekunan untuk mengejarnya. Menilai seberapa berartinya dia di mata orang yang mendekatinya. Hmm..aku akan ikuti permainan mereka.

“Teh, boy?” tawar Yoan yang ikut berkumpul di beranda sore itu.

Nemos asik dengan rokoknya. Ia tak memperhatikan keadaan sekitar. Tangannya yang kurus itu memegang ponsel dan lekat dengannya. Sementara di pojok, si polos Koyat sedang membentangkan seprainya. Ruangan kecil tempat biasa kami nongrong itu sedikit basah sekarang. Koyat sedang menjemur baju-bajunya.

Aku tentu terganggu dengan hal itu. Mengapa ia tidak jemur di bawah. Di dekat kamar mandi. Bukankah sudah ada tali untuk menjemur baju. Hal itulah yang aku pertanyakan.

“Lambat kering di sana. Kalau di sini cepat"

“Mengapa nggak pagi tadi Yat. Sebelum berangkat ke kampus?” tanyaku lagi.

“Halah..itu baru aku rendam.”

Gigimu Yat!!, batinku jengkel. Jujur saja, kamar kami berhadapan. Kos ini bentuknya mirip sekolahan, ada 12 kamar. Semua saling berhadap-hadapan. Sialnya mengapa si polos ini memilih tempat yang berhadapan dengan kamarku.

Bila malam sampai pagi selalu lupa mematikan lagu. Jika minggu sering membuat suara gaduh dengan memukul paku. Jika sedang cuci piring atau baju, kadang rendamannya ia tinggal di depan pintu sampai satu malam. Tuhan, betapa nyamuk sungguh betah masuk ke dalam kamarku. Dan, seperti inilah si polos. Dia tak peduli dengan hal itu.

“Begini inilah ruangannya. Di sana masih ada kamar yang kosong. Pilih saja” sebuah suara menarik perhatian. Kami menoleh kebelakang. Empat orang sedang berdiri mengamat-amati ruangan. Dua orang kami kenal. Itu ibu dan bapak kos yang rambutnya gundul. Bapak kos sering kami jadikan bahan olok-olok. Umurnya kisaran 45 tahunan dan jalannya lucu. Beliau garang dengan kumis putih, namun tetap takut dengan ibu kos. Sementara yang dua lagi itu sepantar kami usianya. Satu orang tampak mengedipkan matanya sambil mengedarkan pandangan ke dinding-dinding kamar. Satu lagi tersenyum dengan roman muka yang berbinar. Yang mempuyai roman bercahaya ini semakin sufi dengan pecinya.

“Lihat saja dulu. Jika berminat silakan nanti temui saya di lantai dasar. Bulanannya sesuai apa yang tadi saya bilang?” kata ibu kos sambil menuruni tangga bersama bapak kos.

Setelah puas berkeliling dan masuk dari kamar satu ke kamar lainnya, mereka berdua mendekati kami.

“Rahmani” kata seorang yang bertubuh kurus, wajah sedikit berjerawat dan berkalung imitasi.

“Sidik” kata satunya lagi.

Kami menyambut mereka berdua dengan hangat. Kedua orang tersebut cakap bicaranya. Mereka menyenangkan. Khususnya Rahmani, dia cekatan membaur. Dia professional dalam berteman. Cepat dia keluarkan sebungkus rokok untuk berbagi. Bercerita masa lalunya dan kami pun terkadang tertawa dengan hal itu.

*

Beberapa hari belakangan ini aku ketahui Rahmani yang lulusan SMK itu sungguh lihai dalam memperbaiki motor. Hal itu membuat kami tak perlu repot-repot lagi pergi ke bengkel jika kendaraan rewel.

“Tapi mengapa kau nggak ambil kuliah di Kharisma saja Man. Bukankah itu sesuai dengan bidangmu?” tanyaku pada suatu siang.

“Orang tuaku ingin menjadikan aku guru, Jan” katanya sambil mengusap tangannya yang penuh oli. “Sudah sip. Tinggal kau belikan busi dan motormu akan enteng lagi jalannya.”

“Mantap”

“Hei. Sibuk tampaknya?” tegur Sidik.

“Nggak juga” kata Rahmani.

Kami berdua mengamatinya. Sidik turun dari tangga. Mendatangi kami dengan baju putih gamis.

“Rapi sekali?” tanyaku.

“Malam jumat Jan. Pengajian” kata Rahmani.

“Tapi ini kan siang?”

“Aku mau menghadiri pertemuan di kampus”

“Forum Studi Dakwah Islam (FSDI) ya?” kataku lagi.

“Yup. Kalian sendiri tidak kuliah?”

“Aku dan Rahmani masuk jam..”

“Hoyyy!!!!? Rijani!!!!? Kamarmu itu dimasuki kucing!!!?” teriak Yoan dari atas.

Mendengar itu segera saja aku memanjat tangga.

Aku mengejar kucing itu yang tampak telah menggondol sekantongan Kentucky untukku makan siang dan malam nanti. Aku lempari sandal dan kucing itu licin berlari di antara sela lorong.

Koyat yang melihat tertawa dengan keributanku. Sementara Yoan masih asik dengan telpon menempel di telinganya. Ia bersama Nemos di beranda.

Dapat. Yah. Kudapatkan juga kucing itu. Tepat tertangkap di depan kamar Nemos. Di sebelahnya adalah kamar Sidik. Baru saja aku sadar ternyata Sidik sungguh mahasiswa yang kreatif. Di pintu kamarnya ia tempel sebuah kaligrafi yang begitu indah. Jika demikian, tentulah setan pun akan takut masuk ke ruangan ini. Selain kaligrafi adapula tempelan kata-kata bijak penuh motivasi. Sungguh luar biasa pemuda itu.

“Jan..Jani” panggil Yoan.

Aku menghampirinya sambil menenteng bungkusan.

“Apa acara malam ini?”

“Ya malam jumat?” jawabku sekenanya.

“Main domino aja" Koyat menyahut.

“Nem. Apa yang ramai?”

“Beli film. Film horor”

“Wah boleh itu” kataku.

“Tambah aja film semi” Yoan memainkan matanya.

“Malam jumat Wan. Nggak enak sama ibu kos” sahut Nemos segera.

Koyat terpikat.

“Ah nggak apa-apa. Ibu kos malah senang kalau kita putar itu”

“Senang gigimu, Yat” potongku.

“Tapi ada benarnya juga kata Koyat. Nggak masalah ibu kos dengar. Paling mereka praktik langsung.”

“Ah kau sama saja dengan adikmu itu Wan. Yang jelas, akulah yang nggak enak. Kamar ku yang langsung tertuju ke kamar beliau.”

“Nggak usah takut, Nem. Aku yakin mereka akan paham” tiba-tiba Rahmani datang.

Aku mengangkat bahu saja. Ku lihat Koyat sangat bersemangat.

“Jadi siapa yang mau beli?”

“Yoan saja. Dia yang punya ide, bukan?" tukasku.

“Aku nggak bisa kalau beli gituan”

“Culas kau Wan. Benar kata Jani. Kau saja” Nemos menunjuk.

“Kau saja Yat” Yoan gantian melempar. “Biar Jani menemani.”

“Rahmani saja yang temeni” protesku.

Walau tampak ragu, akhirnya Rahmani pun bersedia. Sementara Koyat karena tidak ada pilihan, akhirnya dia pun setuju.

*

Selepas Isa, aku, dan Yoan sudah berkumpul di kamar Nemos. Beberapa cemilan telah kami beli. Gorengan tentu tak ketinggalan. Bagaimana dengan Sidik? Kami hendak mengajaknya nonton film horor itu, dan jika mau juga sama film seminya. Tapi terdengar dari samping, ternyata Sidik sedang melantunkan surah Yassin dengan merdunya.

“Adu Wan. Nggak enak aku sama Sidik. Kalian memang kadal” cletuk Nemos.

Yoan menyungging.

“Biar aja Nem. Nanti juga Sidik pasti masuk ke sini”

“Nggak mungkinlah Wan” sahutku.

Beberapa menit kemudian yang ditunggu-tunggu telah datang. Koyat masuk bersama Rahmani. Koyat seperti biasa. Tertawa terbahak-bahak. Sementara Rahmani wajahnya merah padam.

Baru duduk, Rahmani sudah menggerutu.

“Kapok lagi aku. Sungguh aku jera. Nggak akan kembali lagi ke toko kaset itu.”

Tentunya ucapan Rahmani itu mengundang penasaran kami.

“Memangnya kenapa?” tanya Nemos.

Koyat yang masih tertawa pun kemudian mengambil alih sebagai pencerita.

“Jadi gini” ia mengatur napas. “Tadi kami masuk ke toko kaset. Penjaganya kebanyakan cewe muda. Tau kan toko kaset di Cemara Sultan Adam.”

Kami mengangguk mendengarkan. Terkecuali Rahmani. Dia nggak peduli dan malah asik dengan ponsel serta mulutnya yang penuh oleh tahu isi.

“Rahmani menanyakan kepada penjaga kaset. Cewenya cantik Wan” lirik Yoan. “Kata Rahmani: Ada kaset horor nggak? Penjaga kaset itu lalu membawa kami ke tempat di mana sederet kaset horor telah tersusun rapi. Banyak sekali. Nah setelah itu..” Koyat menggeser duduknya. Kemudian dia tersenyum geli. “Rahmani bertanya lagi: Ada kaset biru nggak? Apa? Jawab si penjaga. Kurang dengar aku. Kaset biru? Itu kaset semi? Oh penjaga kaset yang memahami maksud Rahmani kemudian berjalan mendekati kasir.”

“Kemudian” kami bertambah penasaran.

“Sampai di kasir, tanpa dugaan kami. Sang penjaga kasir berteriak lantang memanggil salah seorang teman penjaga lainnya. Katanya: Ayu!!!? Ada kaset bokep nggak di situ!!!? Jika ada kasih sama jomblo lapuk yang pakai baju hem hitam di sana!?”

Aku, Yoan dan Nemos seketika meledakkan tawa.

“Spontan saja, kami berdua langsung kabur. Padahal pengunjung saat itu sedang penuh.”

“Kurang ajar itu cewe” Rahmani memotong. “Sungguh aku malu. Koyat sih nggak masalah karena bukan dia yang dimaksud.”

Kami masih terpingkal.

“Ini kaset yang kau pesan Wan. Terpaksa kami mencarinya jauh di Sudi Mampir” kata Rahmani.

Kami kemudian menata tempat. Segala hal yang berantakan kami singkirkan. Ruang kamar 4x4 itu menjadi seperti luas. Kami mengatur duduk dan melihat film horor.

*

Jam 12 malam sekarang. Mata kami belum juga padam oleh kantuk. Kami masih sanggup untuk lembur. Satu kaset telah habis. Gorengan dan cemilan apalagi. Sudah sejam lalu habisnya.

Semula kami tak mendengar aktivitas apapun di kamar Sidik. Tampaknya ia tidur tadi. Namun sesaat kemudian, kami mendengar pintu kamarnya berderit kemudian disusul dengan pintu kamar Nemos yang bergerak maju.

“Wes..Kayaknya rame nih?”

“Masuk Dik. Masuk, wah kau lambat sih. Habis gorengannya? Ini sih Koyat rakus makan” kata Yoan.

“Okelah. Santai aja” kata dia sambil menutup pintu kamar Nemos. Dari jalannya tampaknya Sidik menuruni tangga, lalu kemudian kran air berbunyi. Tampaknya dia sedang berwudu.

Kami lalu mengganti kaset. Ini yang sebenarnya kami tunggu. Sambil asik mendengarkan.

Layar yang sedari tadi menyala lalu menampilkan gambar demi gambar.

“Aduh nggak kedengeran” kata Yoan terusik. Memang, volumenya terlebih dahulu Nemos atur.

Koyat tersenyum sambil membenarkan celananya. Agaknya, malam ini semua anak kos akan mengikuti jejak Nemos. Besok, mungkin kami akan berebutan mandi Subuh.

Sejurus kemudian.

“Wan..Wan..aduh itu terlalu nyaring!!??” Yoan dan Nemos rebutan remot. Remot akhirnya berada di tangan Nemos. Suasana kembali hening.

Suara film hilang lagi. Kemudian kami mendengar Sidik naik. Tak lama setelah itu terdengarlah ucapan niat dari sembahyang tengah malam.

“Lihat Wan. Nggak enak aku sama Sidik. Kasihan dia” bisik Nemos.

“Halah nggak apa-apa. Dia udah gede gitu” Rahmani menimpal.

Kiranya 10 menit kemudian, terdengarlah lantunan ayat suci dari kamar Sidik. Yoan yang merasa tak puas, dengan cepat merebut remot DVD Nemos lagi dan menaikkan volumenya.

Nemos yang kalah badan tak mampu membendung kebrutalan Yoan yang dilanda penasaran tingkat tinggi.

Sekejap suara film semi yang kami tonton langsung meledak. Seperti ringkikan kuda hampir penuh pada semua adegan. Dan itu mmenyakitkan telinga. Namun terasa memuaskan di hati.

“Ini baru seni” kata Yoan puas.

Kami tekun mengamati. Kami juga kini sedang asik membenarkan celana masing-masing. Khususnya Koyat. Rasa nggak enak karena celana levis ketatnya membuat ia segera melepasnya. Kini CD saja yang ia pakai. Dan itu membuat suasana kian keruh.

“Awas kau Koyat. Ku hajar kau jika meninggalkan rontokan di kamarku” seru Nemos.

Suasana kian panas sekarang. Terdengar bunyi terusik dari kamar bawah.

“Mampus aku. Pasti bangun itu ibu kos” tukas Nemos cemas.

“Tenang aja. Nggak akan. Bapak kos pasti mencegah.”

Dan suara usikan itu pun sirna.

“Benar bukan?” kata Yoan.

“Astagfirulullah .ya Allahh ya Allah ” tiba-tiba sebuah suara keluar dari kamar Sidik. Sidik yang sedang asik membaca ayat suci seketika terhenti. Tampaknya ia tak kosentrasi dengan bacaannya. “Aduhhh kalian ini sakit ternyata?” serunya dari balik dinding kamarnya.

“Maaf Dik..Yoan biang keroknya” Nemos menukas.

“Kalau nggak bisa tidur kesini aja Dik?” ucap Yoan.

“Parah. ” Sidik membalas.

Tak lama lantunan ayat suci itu hilang. Malam yang larut berhasil membalut sekumpulan setan yang sedang dilanda penasaran .

*

Fitnes

Kata Milka di sebuah pesan media seluler pada musim penghujan bulan November, ia mengatakan bahwa aku tak jauh beda dengan temanku, Nemos. Aku berpenampilan buruk. Sandang yang sederhana dan terlalu kurus menurutnya. Ditambah lagi rambutku, terlalu panjang. Untuk itu aku harus berubah, sarannya. Dia membandingkan aku dengan Yoan. Pemuda itu bersih, rapi dan tubuhnya bagus. Marahkah aku oleh hal itu? Sama sekali tidak. Bukankah wajar jika seseorang menginginkan yang terbaik. Saran itu bagus menurutnya. Aku pun ikuti walau aku merasa bukan menjadi diriku.

Saat Minggu tiba, kami biasanya bangun sampai siang lalu berkumpul sekadar untuk menggunjingkan seseorang, Yoan menawariku sebuah kegiatan.

“Fitness, Jan. Cewe paling suka kalau pacarnya berbadan mantap.”

Dia memberitahukan lokasi GYM terdekat. Imbuhnya dia menjelaskan pula tentang pola makan yang harus dijaga agar otot cepat tumbuh dan membentuk perut kotak-kotak.

Hemat cerita, aku menuruti nasihat sahabatku itu. Aku tidak sendiri, Rahmani agaknya tertarik dan kami sering pergil ngeGYM bersama.

Kami mulai mengamalkan beberapa pola makan. Daging kami rebus, memakan beras merah dan selalu sit up saat bangun tidur. Dalam bayangan kami mengimpikan sosok Coky Sitohang itu lekas merasuk kedalam tubuh kami. Barbel kami sediakan dan ketika Subuh datang, sebelum berangkat kami berdua berlari-lari keliling gang.

Teman-teman kos banyak yang mengejek, tak terkecuali Koyat. Ia mengatakan nggak perlu capek-capek membentuk badan. Cewe lebih suka cowonya itu sering senyum, dan tidak pelit. Jujur yang utama, dia menambahkan. Sahabatku satu itu memang tidak berkaca pada dosa. Semua ucapannya tiada tersirat sebuah penyesalan. Percaya dirinya begitu kuat hingga membentuk wajahnya yang bundar polos itu. Jujur, aku sedikit mulai iri dengannya.

Koyat tidak melakukan seperti yang sedang kami buru. Dia bahagia dengan dunianya sendiri. Ku ingat beberapa hari lalu dia bertemu seorang perempuan di lantai bawah. Koyat menemui perempuan itu tanpa mengenakan baju. Telanjang dada dan gilanya dia hanya mengenakan kolor tanpa celana dalam. Anjay!

Aku yang melihat saja kegelian. Aku merasa malu dengan sikapnya. Tapi ia tidak. Dan percaya atau tidak, malamnya eh sang cewe malah datang minta diantar jalan-jalan. Si cewe menunggu di bawah. Koyat keluar pintu dan dengan tertawa khasnya dia turun, lalu mereka pergi.

Usai dengan acara tersebut, masih jelas dalam pikiranku ketika Koyat datang sambil membawa durian besar. Kami heran dengan hal itu dan menanyakannya.

“Ceweku tadi aku borongkan durian. Sekarang lagi musim bukan?”

Aku berpikir dengan nalarku. Kok ada ya cewe yang suka makan durian malam-malam. Kenapa juga dari sekian barang yang ia berikan, malah durian yang menjadi pilihan. Sungguh luar biasa si Koyat. Bisa-bisanya dia mengambil keputusan dengan percaya dirinya. Itu kekalahanku yang pertama.

Pagi hari ini, ku jumpai Koyat yang selesai menggoreng telur itu mondar-mandir menggonggong di depan kamarku. Mengganggu aku dan Rahmani yang sedang asik menyantap beras merah dengan sayur bayam.

“Mie aku hilang. Mie aku hilang, b0y..Apa dibawa tikus”

Aku tak heran dengan hal itu.

“Ambil mie aku saja. Kami nggak makan. Lemak. Susah nanti buat membentuk perut kotak” ujarku sombong.

Koyat masuk dan mengambilnya. Aku dan Rahmani asik meneruskan makan.

*

Dua minggu berlalu. Di kamarku sengaja aku beli sebuah lemari yang cerminnya cukup luas. Aku memandang-mandang. Wah mulai terbentuk rongga-rongga dada. Perut belum keluar ototnya, tapi ku yakin sebentar lagi pasti timbul.

“Jan. Cepat kita berangkat” suara Rahmani tiba-tiba muncul begitu saja dari balik pintu.

“Oke.”

Ini surganya. Cardio, tempat di mana selama ini kami tekuni. Seperti biasa, cardio ramai menjelang isa. Banyak pemuda bahkan yang sudah bapak-bapak menempa tubuh di sini. Tubuh mereka bagus-bagus dan tak berbaju. Mereka memamerkan bidang badannya pada sebuah cermin terdekat. Terkadang ku lihat, ada yang memolesi tubuhnya dengan minyak membuat tubuhnya mengilap seperti kayu diplitur.

Aku dan Rahmani bergabung. Kami pemanasan dengan melenturkan badan sejenak dan mulai latihan dengan angkat beberapa barbell.

“Wih, malam ini tumben ramai?” kata Rahmani.

Aku mengangguk.

“Lihat?” ujarku sambil menunjuk. “Banyak cewe cantik berkumpul di sini bro”

Rahmani kian bersemangat. Dan tentu saja aku lebih semangat.

Seorang cewe bertubuh putih bersih dan roman muka sehat tiba-tiba lewat dengan senyuman kepada Rahmani.

“Kode itu bro” kataku.

Rahmani membalas senyum dan menengok sebentar cewe yang sudah melalui kami itu.

“Aku tak pernah melihat dia sebelumnya Jan."

“Mungkin, dia baru. Jangan kau siakan. Cepat kejar.”

Rahmani mengikuti arahanku. Dia mengejar cewe yang senyum kepadanya tadi. Tampaknya dia sudah dilanda GR.

“Hei? Hei?” panggil Rahmani pada sebuah sudut ruang tatkala ku lihat gadis itu mau keluar. Gadis itu berbalik. Senyumnya begitu manis. Namun kemudian senyum itu berganti tawa.

Rahmani pun ikut tertawa. Namun kulihat tak lama setelah itu beberapa pemuda berbadan tegap mulai menghampirinya.

Jaraknya kurang lebih 5 meter dariku. Aku yang punya firasat jelek lalu memburu sahabatku itu.

“Apa kau senyum-senyum ke pacarku” kata salah seorang.

Pemuda itu berambut plontos dengan bidang dada yang kekar. Sesekali dada itu berkernyit menunjukkan kejantanannya.

“Eh. Nggak usah kasar! Biasa aja. Bukan aku yang dekati dia, tapi dia yang mengode duluan. Biasa aja bro!?” jawab Rahmani tinggi. Tatapannya tiada menunjukkan rasa takut. Aku salut padanya.

Berbeda denganku. Postur mereka membuatku sedikit berpikir untuk hal yang dilakukan Rahmani.

“Sudah Man. Kita pulang saja” bisikku.

Tangan Rahmani mengkodeku tanpa matanya lekang dari tatapan dengan si pemuda botak.

“Sok jago disini!” pemuda botak berujar.

Rahmani mulai berkeringat. Ku rasakan ada yang mendidih di dalamnya.

“Kalau ribut jangan di sini! Ke parkiran” kata Rahmani mantap.

Jujur saja, aku kian takut. Rahmani kian bergemuruh. Wajahnya berpijar merah sambil jalan ke lantai dasar. Pemuda botak dengan dua orang temannya itu menyusul di belakang.

“Man. Sudah. Kita mundur aja” tegurku pada sebuah kesempatan.

Rahmani tetap diam dalam kemelutnya.

Di lantai dasar, tepatnya di parkiran perdebatan kian seru. Aku mulai berpikir untuk adu nasib, bersiap dengan kuda-kuda dan menanggung segala kemungkinan. Ejekan demi ejekan terlontar cepat bagai peluru saling berdesing.

Ketiga pemuda yang berbadan tegap itu lalu maju. Aku menjarak. Mengambil ruang. Sementara Rahmani mundur sejenak. Kulihat dia berlari menuju motornya.

Aku yang melihat itu menyangka kalau sahabatku itu mau kabur. Sepayah mungkin aku berusaha mengikutinya. Namun, aku tak menduga. Rahmani tidak kabur. Dia membuka bok motornya. Secepat dia membuka maka secepat itu pula dia segera berbalik dengan menggenggam benda mengkilat. Sebuah obeng panjang tampak menghunus dalam pendar cahaya lampu kota.

Mantap sahabatku itu. Preman juga ternyata si montir ini. Aku menghentikan langkah. Percaya diri sekarang, dan perlahan menantang maju.

“Hayooo!!!!! Siapa duluan!!!” teriak Rahmani sambil mengayun-ayunkan obengnya.

Plang!!! Plang!!!!! Plangg!!!

*

Aku berdiri menatap cermin di kamarku. Aku pandang dalam-dalam sambil menahan rasa berat di kepala dan penuh pada seluruh badan. Aku pernah mengalami rasa ini ketika SMA. Saat itu aku disengat tujuh ekor tawon. Sekarang, rasa itu terulang. Aduh emak aku benar-benar pusing. Aku masih memandang wajahku yang kian gemuk..

Sejurus kemudian aku edarkan pandang ke kasurku. Aku melihat Rahmani yang terkapar di ranjang. Terdengar lirih suara mengaduh dari bibirnya yang terlihat tambah tebal dan lebar. Matanya seperti hilang tertutup daging baru. Badannya penuh dengan tato bulat kebiru-biruan. Tangannya mencoba memijit arah sendi yang terasa sakit.

Masih ku ingat satu jam sebelum ini, tatkala obeng itu kalah panjang dengan balok kayu lalu kami disudutkan pada sebuah tembok.

“Ampun Bang!!? Ampun!!! Aduh ampun! Kapok Bang!!!” seru Rahmani terperosok dengan berhujan pukulan.Sementara aku sendiri telah terduduk dengan sekuat tenaga menutup wajah dari terjangan tangan dan kaki.

Aku menggeleng-geleng. Rahmani sialan. Sok jagoan! Dasar setan. Kurang ajar. Kampreeet.

Malam itu aku merasakan kekakuan dari semua otot ditubuhku. Dan lebih buruk dari itu, aku merasakan sebuah kepayahan diri yang sungguh mendalam.

**

Bisnies

Milka begitu terpingkal melihat wajahku. Di ruangan kampus ini terasa akulah yang menjadi badut. Sebelum ini pun aku dan Rahmani sudah menjadi bahan olokan di kos. Sungguh malu rasanya.

“Makanya nggak usah sok jago” kata Milka.

Dia nggak merasakan apapun dari hal yang menimpaku. Tapi tak mengapalah. Setidaknya cewe yang ku dekati ini mau tersenyum karenanya.

Kami berdua saling berbicara membahas musibah yang menimpaku. Begini baru asik. Aku merasa dekat dengan dia. Tapi sedekat apapun aku, nyatanya belum berani juga aku nyatakan perasaanku. Masih terkunci di depan mulutku.

“Oh iya Jan. Tiga hari lagi, sahabatku ulang tahun. Aku mau kau dan Yoan untuk datang?”

“Kalian?”

“Kami juga ada di sana” kata Milka. Aku merasa kehangatan pembicaraan kami.

“Memang di mana alamatnya?”

“Kayu Tangi. Datang ya.”

“Tapi mengapa harus kami? Bukankah itu sahabatmu. Kami akan malu karena dia tak mengenal kami”

Milka menatapku rekat.

“Yang datang ke sana wajib membawa pasangannya. Paham?”

Ada desir angin menyelusup pori-poriku dari perkataannya tadi. Semakin terasa dan mulai aku berpikir, tampaknya musibah malam tadi membawa berkah bagiku.

*

“Jan, Jan!! Jan?” serbu Yoan segera dari luar. Derap kakinya sungguh mengusik tidur siangku. Yoan masuk ke kamar.

“Kenapa? Bukankah kau kuliah sekarang?” tanyaku dengan mata merah penuh kantuk.

“Aku bolos, Aku bisa minta bantuan tidak.”

“Enggak” aku merebahkan diri.

Yoan kemudian usil menarik bantalku. Membuangnya.

“Ayolah?”

“Aduh..” Aku bangun kembali sambil tanganku menggaruk-garuk kepala. “Apa?”

“Pinjami aku duit, 200 ribu aja”

Aku menghela napas. Tidak sekali dia berlaku demikian denganku. Yoan sering berhutang. Memang, dia kerap membayar hutang-hutangnya itu walau dengan mencicil. Tapi, aku bingung mengapa anak ini ketagihan dengan hutang. Selain dia, kami penghuni kos selalu damai dengan perekonomian masing-masing. Tidak dengan Yoan.

“Untuk apa lagi?”

“Aduh, tolonglah..” Yoan membujuk seperti anak kecil. “Biasa?”

“Kencan?”

Yoan tersenyum.

“Dia di bawah. Menunggu aku. Ayolah..Bukankah kita teman”

“Raida?”

“Aduh Rijani. Nanti aku ceritakan”

Aku kemudian meraih dompet di saku celanaku. Setelah menerima keperluannya Yoan segera keluar. Derap kakinya terdengar menuruni tangga di iringi suara deru Honda yang lamat-lamat menjauh. Aku pun kembali ambruk di kasur.

*

Tidurku ternyata begitu pulas hingga tak sadar azan Magrib sudah berkumandang. Badanku masih terasa tak enak. Terasa pula ada yang menempel seperti lumut. Aku cepat-cepat meraih handuk untuk mandi di lantai dasar.

Di lantai dasar itu ternyata ada antreannya. Si Koyat berulah. Dia mencuci dengan merendam semua bajunya ke dalam bak ban.

“Ayo cepetan Yat. Aduh kenapa juga kau rendam di situ. Payah..” Nemos berucap. Dari yang kulihat, tampaknya ia juga akan mandi. Ia kemudian menyadari kedatanganku.

“Eh Jan. Kau juga antre ya”

Aku menuruni tangga.

“Yang lain kemana? Kosong di atas.”

“Sidik sore tadi sudah rapi dengan gamisnya. Biasa, pengajian di Sabilal”

“Rahmani?”

“Dia mengisi minyak katanya. Paling juga keluyuran”

Aku mengganguk saja.

“Yat. Masih lama belum. Aduh diinjak saja kalau cuci selimut itu. Nggak usah diperas. Lambat” ujarku yang juga sedikit sewot.

“Halah sebentar lagi”

“Eh kakakmu belum pulang?” Tanyaku.

“Siapa?”

“Yoan lah. Siapa lagi”

“Ohhh dia paling lagi ngerusak anak orang lagi” Timpal Koyat sambil membilas celana dalamnya.

“Raida?”

“Siapa Raida?” Nemos ingin tahu.

“Pacarnya?”

“Bukan itu “ sergah Koyat.

“Terus?”

Belum sempat pertanyaan itu dijawab oleh Koyat, mendadak terdengar bunyi kendaraan Honda berhenti di pelataran depan. Kami bertiga tegak bangkit. Dan dari dinding seng yang berlubang-lubang ini, kami mengintip ke luar.

Yoan bersama seorang perempuan terlihat berbincang di sana. Tapi, semakin diamati tampaknya apa yang mereka bicarakan bukanlah sebuah perbincangan yang hangat atau romantis. Itu terlihat sebuah percekcokan. Si cewe yang wajahnya asing bagiku itu terlihat mendorong-dorong Yoan sambil terisak.

“Itu bukan Raida” bisikku.

“Maksudanya?” Nemos tak mengerti.

Aku tak menjawab. Aku melihat lagi. Si cewe mulai menjejak-jejakkan kaki rampingnya ke aspal. Gaya khas cewe ketika sedang merajuk. Yoan tampaknya tiada merasakan itu, dia malah berlalu saja. Dan dari arahnya tampaknya dia menuju ke sini. Spontan kami menghambur.

“Aduh!!? Kampret lihat! Lihat!!”

Aku kesal dengan koyat. Dia panik dan menghantam punggungku yang masih nyeri.

“Sory..Sory Jan” Koyat bingung menata kesibukan.

Yoan mendorong pintu. Masuk dengan wajah melet-melet. Dia tak terlihat marah. Sungguh beda dengan yang kami duga. Sesaat terdengar bunyi kendaraan Honda yang menjauh.

“Tukang ngintip” kata Yoan.

Kami memandang dia.

“Halah, nggak ngaku lagi. Kau lihat, ruangan ini ada lampu neon. Jadi aku bisa tahu dari sana kalau ada lubang seng yang pertama terang menjadi gelap. Itu pasti tertutup mata kalian”

Cekatan juga pengamatan anak ini. Kami mengaku. Kami kemudian menanyakan siapa perempuan itu kepadanya dan mengapa dia sampai pulang dalam keadaan menangis.

Perempuan itu Mela namanya, itu yang kami dengar dari mulut Yoan. Dia kemudian meraih ponselnya. Jari-jarinya menggeser ke layar sesaat sebelum dia menyerahkannya kepadaku.

Nemos dan Koyat segera merapat karena penasaran. Sebuah video tampaknya. Dan, astaga... Kami bertiga terbelalak sambil tersenyum.

“Kapan Wan?” Tanya Koyat.

“Kacau kau Wan. Anak orang kau rusak gini” kataku bijak yang sebenarnya terbalut iri.

“Benar kataku bukan?” Koyat merasa menang.

“Raida terus gimana” lanjutku.

“Gampang. Bisa diatur”

Nemos masih tertegun melihat. Tapi kemudian dia bertanya.

“Lantas mengapa dia menangis?”

“Pasti gara-gara video itu. Dia marah karena Yoan merekam” celetuk Koyat.

Yoan mencibirkan bibir tanda tak setuju dengan pendapat Koyat. Ia kemudian menempatkan bokongnya pada sebuah kayu. Ia duduk bersandar sambil menyalakan rokok. Ia kemudian menceritakan kepada kami bahwa hubungannya dengan Mela sudah lebih dua bulan dan itu tanpa sepengetahuan kami. Selama hubungan itu berlangsung, Mela yang memiliki kepribadian aktif dan modis kerap Yoan penuhi segala keinginannya. Dia mau apa Yoan turuti. Baju, perhiasaan, Laptop dan beberapa tugas kuliah terus saja Yoan yang memenuhinya. Itu sebabnya mengapa Yoan suka ngutang dan bahkan kerap hanya sarapan mie. Kami menyadari hal itu, dan seperti yang sudah kusampaikan pada bagian atas tadi bahwa aku pun heran dengan sikapnya. Mendengar hal ini terjawablah sudah rasa heranku itu. Yoan menyambung ceritanya, belakangan ia mempunyai tujuan.

“Pacaran itu, bisnis”

Begitu katanya. Berani terjun berani ambil risiko dengan tujuan mencari keuntungan. Yoan mengincar sesuatu yang begitu berarti di hidup Mela.

“Nggak mudah memang merayunya. Tapi kita harus membuat dia percaya. Bahkan kalau perlu, nggak mengapa kalau dia kasihan kepada kita. Rasa kasihan itu adalah titik terlemahnya perempuan. Cewe Banjarmasin yang sombong-sombong itu memang sesekali harus dikerjai” katanya lagi.

Dan terjadilah. Karena pemberian Yoan yang begitu gemilang kepada Mela, akhirnya iman Mela pun runtuh.

“Sebenarnya video itu sudah lama. Dia nggak nangis karena hal itu”

Kami pun bingung. Sebab apalagi yang membuat sore itu Mela jadi kacau kalau bukan karena perbuatan Yoan kepadanya.

“Mela nangis karena aku berubah dan mulai tampil apa adanya.”

Yoan memberitahukan kepada Mela bahwa sekarang ia sudah tak mampu lagi membelanjakan apa yang Mela mau seperti dulu. Dirinya sudah bukan jin yang mampu mengabulkan apa yang Mela pinta. Sore itu, Mela syok mendengarnya. Dan sebagai cewe modis dengan segala nafsu materi yang kurang terus dan terus, Mela tak menerima hal itu.

“Dia marah-marah sepanjang jalan karena aku tak membelikan dia HP baru. Padahal sebelumnya aku sudah janji. Tapi biarlah. Lihat saja, nanti siapa yang bakal kesulitan melepasku” seru Yoan sambil menghembuskan asap rokoknya.

“Tapi Wan” protesku. “Jika ternyata Mela nggak kembali bagaimana?”

“Pasti kembali. Kita lihat saja.”

Nemos mempunyai pendapat yang sama denganku.

Yoan meneruskan:

“Dalam berbisnis, hal yang wajib kita ketahui adalah mengenal mitra atau target kita. Tanpa itu kita akan gagal atau bangkrut sia-sia. Aku sebelum memberikan apa yang Mela mau tentu sudah menelisik dia diam-diam. Mela walau modis tapi anak rumahan. Dia nggak pernah berbuat seperti itu pada siapapun.”

“Bujang?” Koyat menyergap.

“Polos” timpal Yoan ke arah wajah Koyat.

“Mela itu anak rumah yang bahkan tak mengenal yang namanya pegang-pegangan tangan. Awalnya susah untuk membujuknya agar mau. Dari yang kecil-kecil dululah. Mengenalkan Mela dengan wajah malam di Banjarmasin. Membawanya nonton film yang aromanya menyulut setan dalam batinnya untuk timbul. Tapi tetap,” Yoan berdiri. “Tetap dengan umpan-umpan yang menyenangkan hatinya.”

“Lalu pada akhirnya dia akan menurut karena merasa yakin atau kasihan” simpulku.

“Mantap” Yoan memberikan jempolnya kepadaku. Ia lalu menukas lagi:

“Aku harus bertahap dan bertarget. Jika lewat dari target itu dan apa yang ku mau tidak pula tercapai, maka aku tak bisa meneruskan. Aku stop. Kalau Mela, aku merasakan sebuah kemajuan hingga tahap ini. Sekarang..” dia berjalan mengambil ponselnya. “Seperti yang kalian lihat. Itulah bisnis. Dan bisnisku berhasil.”

“Jadi Mela marah karena kau kini tampil apa adanya sementara mahkota dalam hidupnya sudah kau curi?”

“Kata-katamu itu sok puitis Yat. Tapi memang benar demikian. Cara ini nggak sembarangan. Kalau aku ngedeketin jablay, ya nggak akan merasuk. Biar aku rusak berapa kalipun, dia akan lepas begitu saja.Harus kita lakukan pengamatan dan tindakan yang akan berbekas di hidupnya. Ini baru seni pacaran” ucap Yoan jumawa.

“Lantas Raida kau kemanakan. Kau ingat bukan, tiga hari lagi kita diundang di pesta ulang tahun temannya.” Aku mengulang pertanyaanku.

“Rijani” Yoan memandangku. “Aku pacaran dengan Raida hanya sebatas ingin menguji seberapa berarti aku di Banjarmasin. Hmm..kita akan datang ke pestanya. Tapi jangan kau anggap aku ini benar-benar menginginkannya.”

*

Bermimpi dan kadang berkhayal dan tibalah waktunya.

Benar. Pesta meriah pada sebuah rumah berpijar warna lampu yang kian mendukung niatku. Malam ini aku luncurkan isi hatiku. Kiranya sebotol sudah parfum yang kupakai. Rapilah sudah pakaianku lekat dengan model anak band. Tekadku matang. Diterima itu keyakinanku. Ditolak, tak ada dalam jalan pikirku. Mendekat lalu merapat, aku dan Yoan dengan percaya diri ikut berbaur dalam suasana.

Yoan memisahkan diri dariku karena tangannya telah diapit Raida yang sepertinya tak sabar ingin memaerkan pacarnya itu kepada para sahabatnya.

“Jan” Sapa seorang.

“Milka”

Berbalut switer rajut berwarna biru langit. Dia sangat manis. Mack upnya tak terlalu tebal. Dia insan yang berbaur dalam lembut malam.

“Jangan diam saja. Nikmati keramaiannya”

“Ah. Ya. Pasti itu”

Kami kemudian melanjutkan obrolan kesana dan kemari. Kurasakan Milka semakin berbeda sikapnya dengan awal pertemuan dulu. Dia kian lunak dan akrab. Kini kami bercengkrama dekat. Jajaran sofa itu menjadi saksi betapa perubahan itu kurasakan.

Kiranya satu jam lebih telah kami menikmati pesta. Malam kian lelah dibuktikan dengan beberapa pengunjung pesta yang mulai terseok-seok karena keletihan berjoget. Ku lihat pula Yoan dan Raida sedang bercengkrama di sudut sebuah koridor ruangan. Cekikikan sambil kutatap Yoan yang tak lekang oleh ponselnya.

“Milka, bisa kita keluar sebentar. Tidakkah kau merasa semakin panas di sini. Mungkin karena keringat pengunjung yang mulai menguap” pancingku sambal menggoyang-goyang baju.

“Masa, sih?”

Dia tak paham dan hanya plonga plongo menatap langit-langit. Lama aku bujuk dan akhirnya dia nurut.

Udara semakin dingin dan beku di teras ruangan ini. Beragam bunga dalam pot tergantung dengan dedaunan yang melayu tercecar sinar rembulan. Nyamuk kadang masih malu-malu untuk mengintip kami yang tengah terpekur menantikan siapa yang akan memulai pembicaran.

Engkau bisa Jan. Yah, engkau bisa. Malam ini akan ku tumpahkan semua. Tumpahkan isi hati yang telah lama teraduk-aduk mengacaukan kosentrasi. Ku hela napas. Takbir! Aku memulai.

“Milka, mungkin kau sudah paham. Tentunya kau aku bawa ke sini dengan alasan yang berbeda dari yang ku bicarakan di dalam tadi.”

Dia memperhatikan dengan mendekapkan kedua tangan di sikunya.

“Yang ingin ku sampaikan adalah,..”

Prang!!!!! Prang!!!!!

Bunyi piring pecah disusul dengan jeritan bercampur makian menyeruak dari dalam ruangan.

“Pendusta! Cowo kurang ajar!”

Itu suara Raida. Dia mengamuk layaknya sinpanse kehilangan pisangnya.

Milka segera menghambur menyusul ke dalam. Dia dekap sahabatnya yang sedang menggelijang kesetrum amarah itu. Aku sendiri seperti orang kena struk di teras sini.

Raida terus mengamuk. Memaki dan melempar apa saja yang ada di sampingnya. Pengunjung yang mulai loyo mendadak dapat daya. Mereka tegak dan mulai menikmati reality show ini.

Yoan hanya berdiri kurang lebih struk macam diriku. Tapi itu hanya sebentar. Dia dengan wajah datar segera melengos keluar.

“Cabut, Jan!”

Tanpa ada pembahasan aku langsung patuh. Mungkin aku kena hipnotis juga. Aku langsung naik kendaraan dan kami meninggalkan pesta itu. Bangke!

*

“Kau dasar bangke!” umpatku di sebuah taman saat kami memutuskan singgah.

“Mana aku tahu kalau tangan dia grayangan mengambil hpku”sergahnya. “Tapi biarlah dia tahu tentang videoku dengan Mela. Toh aku tak ada rasa juga dengan Raida.”

“Eh kau..” kataku yang segera tertahan. Aku telan lagi kalimat yang telah membludak dalam kerongkonganku. Percuma juga aku utarakan. Malam ini gagal sudah niatku. Kemungkinan terburuk adalah hubunganku dengan Milka pasti akan hancur. Dia pasti terpengaruh oleh Raida. Yoan kampret. Malam itu aku hanya menggosok-gosok dahiku yang tak terasa gatal. Yoan tanpa sesal malah asik menikmati pentol di tepian jalan.

Ah! Sial. Dasar bangke! Ancur! Ancur! Umpatku lagi. Lelah dengan makian, tak lama setelah itu aku menyusul Yoan untuk menikmati pentol.

Terbang

Kalaulah bukan manusia temanku satu itu, sudah ku lempar dia dengan sandal. Pagi itu Koyat mengusik nyenyak tidurku dengan rauangan tentang pacarnya. Merayu dengan kata-kata kotor itu sudah sama cabul dengan aroma napasmya. Bingung juga aku. Masih ada juga cewe yang meladeni pembicaraannya. Dia melawak dan tertawa cekikian di seberangku. Kadang ku pikir-pikir, tanpa dia mungkin kosan ini terasa sepi. Paling tidak, kebencianku ini mungkin suatu hari akan menjadi kerinduan dari sikap tololnya.

Hilang sudah rasa nikmat kantuk pada hari libur ini. Gelayutan mataku mencoba mencari hp yang tergeletak di sampingku. Setengah pusing kulihat-lihat pesan yang ada di sana. Milka. Dia memberikan kabar yang intinya minta maaf karena kurang fokus dengan pembicaraan malam tadi. Dari pesan itu pula ku simak sebenarnya hal yang ingin ia tahu adalah tentang Yoan. Sungguh aku paham bahwa pasti dia tahu. Mungkin juga sebenarnya Raida ada di dekatnya. Dia mencoba menceritakan kondisi Raida. Padahal aku tak bertanya itu. Tapi sudahlah, aku ikuti saja permainan dia. Sesaat kemudian dengan tumbennya Milka menelpon. Eh! Terasa berdesir hatiku. Apakah ini isyarat cinta?

“Oh. Jadi dia nangis terus. Kecewa dan tak mau makan mulai malam tadi” jawabku dengan kecewa.

Aku kira Milka akan memulai pembicaraan dengan menanyakan aku. Payah! Dia malah ingin mendramatisir tentang kondisi sahabatnya itu melalui suara. Untuk apa coba. Benar, aku sebenarnya juga tahu. Walau pesannya tak ingin ketahuan Yoan, tapi bahkan jomblo abadi pun paham kok. Milka secara tersirat hanya ingin aku menceritakan kondisi Raida kepada Yoan dan berharap simpatinya. Teknik basi!

“Jadi gitu, kasian dia. Padahal jika keluarganya ke sini Raida selalu diperingatkan agar menjaga dirinya. Ada tifus. Dulu saat kambuh, dia pingsan dan harus ke dokter” nada Milka semakin mirip artis. Jago dia berakting.

Minumi gramason aja Mil, batinku geli.

Kurang lebih 20 menit aku harus mendengarkan keluhan sahabatnya itu. Sampai panas telingaku karena baterai hp. Tapi di akhir bicaranya tiba-tiba Milka mengatakan bahwa mala ini dia suntuk karena tugas menumpuk dan belum juga memperoleh ilham. Halah, aku ikuti permainannya. Malam ini pasti dia minta untuk jalan-jalan. Kendati bagiku telah ketahuan, tapi kalimat itu pula yang kuharapkan.

*

“Mengapa kau tampak berantakan begitu Dik” Tanya Yoan saat kami berlima berkumpul di beranda atas menunggu senja.

Sidik yang baru bergabung segera duduk. Menghela napas dia berujar:

“Kawanku telah meninggal”

Mendengar itu kami datar saja. Tak memberikan ekspresi yang mungkin Sidik inginkan. Bingung juga aku. Harusnya kami sahabat yang solid serasa dan setubuh. Merasakan kesakitan kehilangan sahabat itu bagian dari daging yang lepas dari kulit. Harusnya begitu. Tapi mau bagaimana, mungkin kami sahabat yang kurang peka. Mungkin juga kami bukan cewo melo. Datar saja.

Sidik meneruskan.

“Dia adalah sahabat yang berarti bagiku. Dia adalah orang yang bisa memberiku semangat dan betah dalam setiap pertemuan kuliah. Umurnya begitu singkat”

Aku melihat wajah Sidik mulai membulat. Sudut bibirnya bergetar dan sedikit menggigil badannya. Matanya memerah. Puji Tuhan, sekarang kelihatannya sahabatku itu ingin menangis.

“Orang mana dia?” Tanya Rahmani.

Benar saja, sembari terisak dia menceritakan bahwa sahabatnya itu orang Banjar Baru. Dia satu kelas. Namannya Susan. Susan diceritakan adalah seorang yang satu organisasi dengan Sidik. Menurut cerita sahabatku itu Susanlah orang yang selama ini mendukungnya dalam bertindak. Dia meninggal malam tadi. Kecelakaan. Motornya menghantam trotoar saat Susan hendak pulang kampung. Kabar ia terima paginya karena Sidik telah terlelap tidur. Siang ini hendak ia tumpahkan segala rasa yang ia pendam.

“Kau tahu Wan,” katanya sambi menatap Yoan dengan nanar. “Hari ini adalah ulang tahunnya” Sidik mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

Dengan bergetar dan masih tersedu Dia memperlihatkan sebuah bingkisan ukuran sedang. Aku menebak isinya adalah jam tangan.

“Malam ini rencananya aku mau ajak dia ke Duta Mall, nonton. Aku telah lama mengaguminya. Di sana aku ingin ungkapkan perasaan yang ku punya ini. Telah lama aku menunggu waktu ini. Saat ulang tahun, aku yakin malah ini akan berbuah manis.”

“Sabar Dik” Rahmani mencoba larut walau ku tahu sebenarnya dia bukan tipe itu.

“Aku sendiri bisa merasakan itu” kata Nemos seolah paham.

“Iya. Sakit jika di posisi Sidik. Dalam banget itu sakitnya” tambah Koyat yang berlagak cerdas.

“Ini” kata Yoan sambil menawari sebungkus rokok. “Hisaplah. Itu akan mengurangi sesak dadamu.”

Sidik mengambil sebatang. Menyulut dan menghisapnya tipis. Asap biru mencuat dari balik rongga hidungnya. Bisa juga anak ini ngerokok, pikirku.

Yoan berdiri dan berjalan masuk. Ku pikir dia hendak kemana ternyata dia lekas kembali dengan menenteng gitar.

Yoan segera duduk dan ia mulai memetik senar gitar. Sore itu ia menyanyikan lagu Tipe-X “Selamat Jalan.” Sidik kian terpuruk. Jujur, mendengar lagu tersebut aku juga masuk dalam ritme kesedihan. Wajahku yang sedari tadi datar kini pudar lalu larut.

Aku merasakan betapa mengambangnya hati sahabatku itu. Menanam cinta dari benih. Tumbuh menjadi sekuntum kembang yang merekah dan di saat aroma wangi bunga itu menyemai, dia harus layu dan roboh.

Aku, Nemos, Rahmani, dan Yoan hanya mengamati bahu jalan. Kami mencoba menikmati cakrawala yang tenggelam dengan warna jingganya. Sidik duduk tertunduk. Mirip anak kecil, sesekali masih terdengar isak dari balik tundukannya. Lagu itu membuatnya hanyut. Dari balik lamunan kami yang menanti magrib, aku tengok Koyat yang masih senyum menyeringai dengan layar ponselnya. Dia masih terpenjara dalam dunianya sendiri.

*

Malam ini aku mendatangi kosan Milka. Aku melihat Milka telah siap menungguku di pelatar kos. Dia mengenakan jaket warna abu-abu. Redup malam tak mampu menangkis cahaya dari kilau kulitnya yang putih semerbak harum itu.

Setelah Milka ikut, kami berkeliling Banjarmasin untuk mencari makanan. Usai makan dan nyemil seperti biasa kami akan singgah di Menara Pandang lagi. Bedanya, kali ini hanya berdua, aku dan Milka. Pada sebuah pembatas pagar sungai itu aku saksikan raut wajah Milka yang berseri. Hal inilah yang selalu aku ingin lihat. Tapi tak lama berselang cahaya itu berubah ada guratan sedih. Aku mulai menebak jika dia ingin menyampaikan dukanya lagi. Duka Raida. Ternyata dugaanku benar.

Mulanya dia menanyakan kabar Yoan bagaimana. Aku jawab saja sekenanya. Pembicaraan berganti dengan topik Raida gak bisa diginiin. Aku jengkel dengan dia sebab dialah sumber pengacau suasana kami. Mengapa di saat dia tidak adapun, dosanya selalu menjadi kesulitan bagiku.

Oke aku mendengarkan dengan saksama. Kurang lebih sama dengan di telepon hanya kali ini aku disajikan mimik serta gesture dari Milka yang menggambarkan kondisi terkini dari Raida. #Save Raida#.

Setelah aku melihat gelagat lelah dari Milka dalam mendongengkan cerita sedih sahabatnya itu, giliran akulah yang masuk.

“Milka, terus terang saja” kataku dengan memandangnya pada temaram lampu kota. “Aku pun yakin, sebagai perempuan, kau pasti mengetahui niatku dari awal ketemu dulu. Seorang laki-laki ketika mendekati perempuan pasti niatnya telah diketahui. Laki-laki itu telah ditebak oleh si perempuan dan ini hanya perkara waktu. Oleh sebab itu..” ujarku lagi dengan lebih dalam memandang dia. “Niatku yang sudah kau ketahui itu ingin aku paparkan kini, bahwa sungguh aku mempunyai rasa yang bukan hanya sekadar teman denganmu. Mohon maaf jika kalimatku ini mengusikmu. Namun sungguh, sebelum malam ini berlangsung, tepatnya malam yang sudah-sudah. Rasa itu sangat menghakimi atas ketenangan hatiku” Pada titik ini aku raih dan genggam tangannya. Dia mau, Yes. “ Hari ini ku sampaikan padamu dan paling tidak kalimat-kalimat yang berjejal dalam kerongkonganku telah berpijar keluar. Setelah ini ku serahkan padamu Milka. Paling tidak sebagai pria aku telah mampu bersuara.”

Ada ekspresi yang basi dari Milka. Aku sering menonton drama dan ekspresi itu selalu muncul. Pipi Milka memerah, pupilnya membesar dan bibirnya yang tipis itu seperti berbisik lirih. Aduh klasik banget.

“Gimana ya Jan?” sebutnya sendu sambil mencoba melepaskan genggamanku. “Aku tak bisa menjawab apapun dari ini. Kau tahu” dia memalingkan wajah menatap arah sungai. “Satu sisi aku sungguh peduli dengan segala maksud baikmu. Tapi kau pun tahu bahwa aku merasa canggung untuk menerima itu. Sahabat itu lebih dekat dan tak merusak apapun dibandingkan status yang kau minta itu. Aku bukan bermaksud apa”

Aku telah paham arahnya, gumamku.

“Bukan. Bukan kesana maksudku Jan” Milka tampak gugup dan roman wajahnya cendeung ke arah cemas.

“Aku belum siap. Itu saja. Aku ingin kita demikian. Dekat dan saling menghibur. Aku tak mau kau hilang dan meninggalkan aku. Aku ingin kau selalu sebagai sandaran. Aku ingin fokus dengan kegiatan dan menenangkan sahabatku itu dulu. Untuk saat ini hanya itu. Tapi ku mohon kau jangan lari dariku.”

Perasaan apa ini. Hatiku berontak. Gemuruh terasa menyembul menghasilkan keringat hangat yang merembesi bajuku. Wajahku keras menahan. Ingin aku tinggal dia di sini. Ingin aku menjauh dan membuang kecewa ini. Tapi bagaiman, mata dan bibirnya itu isyarat kebenaran bukan dusta. Hal yang buruk ku rasakan malam ini adalah aku terpedaya. Aku kacau lagi. Kakiku terasa macet oleh sikap dan tatapannya. Sial!!! Aku dijerat pukat seorang wanita. Dia menangis.

*

Sampai tengah malam aku termangu menatap jalanan melalui beranda. Tak ingat lagi aku berapa batang rokok telah kuhisap. Kota mulai redup suaranya tapi mataku tak kunjung kantuk.

Berapa kali hpku bergetar tanda pesan kadang juga telpon. Aku sebenarnya mengetahui itu siapa. Sengaja tak aku angkat sebab entah mengapa sesak ini padat tak lekang dan sirna. Bayangan itu menyeruak menimbulkan sketsa demi sketsa. Mulai mendekati, kenal, jalan bersama dan ungkapan rasa. Bodohnya aku bilang tegar saat memandangnya. Bodohnya aku hanya bersembunyi dalam paras. Sementara dadaku sendiri telah kehilangan pasak. Sesak memberontak dan semua cipta sketsa itu bagiku hanyalah nestapa.

Lamunanku terus membuyar hingga tak menyadari Rahmani telah bersila di sampingku.

“Hei? Kau ku tanya malah bengong” suara Rahmani protes.

“Apa. Kau tanya apa?”

“Astaga. Hilang pikir anak ini” lanjutnya sambil menggelengkan kepala. “Kau kenapa? Tak fokus begitu.”

Aku menyerah. Pikiranku yang kacau mencoba ku lupakan. Jangan berusaha tegar jika tak bisa. Aku hndak menyimpan ini sendiri tapi tak sanggup. Aku menyerah.

Aku ceritakan saja kejadian itu. Sahabatku mulanya tertegun mendengarnya tapi kemudian gelegak tawa malah menyeruak dari mulutnya. Kurang ajar.

“Jadi ceritanya kau patah hati ini. Jan, Jan” jawabnya rendah. “Kau itu terlalu bawa rasa. Baper! Kau seperti baru pacaran saja. “Gini saja Jan” dengan wajah mulai serius.

“Tarik ulur saja jika kau mendekati seseorang. Kau belum menikah. Belum mau ke pelaminan, bukan? Untuk apa berdilema seperti itu. Perempuan itu burung dara. Kau dekati dia menjauh, kau menjarak dia akan merapat.”

Sekarang dia jago berkata-kata. Sejak kapan dia begitu. Mungkin baru lama ini dia telah meminum abu dari KBBI atau syair Maulana Jalaludin Rumi. Tapi benar juga kata dia. Rahmani terus saja memaparkan materi ceramahnya. Aku mendengarkan dan meresapi. Paling tidak rasa kacau itu sedikit terobati. Sesak itu memburai setelah luapan rasa tumpah dari mulutku. Aku mulai lega.

Sambil kami terus mengobrol, aku lawan rasa pecundangku ini dengan mengangkat pesan Milka. Aku baca satu demi satu. Benar kata Rahmani. Milka mulai gelisah dan merasa salah dengan tindakannya malam ini. Lebih dari sepuluh pesan dia utarakan yang inti isinya adalah permintaan maaf. Dia bahkan mendramatisir lagi bahwa sekarang dirinya sesak dan hendak datang ke kos hanya untuk menyampaikan maaf secara langsung. Banyak pesan dan telpon yang aku tak jawab. Ku pandangi. Sial. Layar ponselku memberitahukan dalam berandanya bahwa dia online.

Dia belum tidur. Astaga. Terlihat dia sedang mengetik pesan. Astaga.

Kau hanya membaca pesanku. Kau marah. Aku akui salah. Tapi tahukah kau jika kekeliruanku ini sudah menghukumku. Ringankan tanganmu untuk membalas pesanku dan mudahkanku dalam menghadapi gelisah ini.

Rahmani melihat pesan itu.

“Biarkan saja Jan. Angkuh sedikit itu lebih baik. Kau dagang pasanglah harga tinggi. Biarkan dia berkabung. Tebakanku, besok mungkin dia kesini.”

*

Di dalam ruangan kelas ini Nemos sampai bingung melihatku. Milka selalu menggoda dengan membuka canda dan usil menyebut namaku. Tapi aku tak menggubrisnya. Aku fokus belajar. Kefokusan itulah yang mengusik Nemos. Dia bertanya dan bertanya. Dia juga tak ku gubris. Kelas yang biasanya sebentar ini terasa lama dan hampa.

Pada sebuah kantin saat istirahat tiba, Milka menghampiriku yang sedang asik menyantap soto. Dengan tiba-tiba dan disaksikan puluhan mata Milka meraih tanganku. Dia pegang telapak tanganku dan dirapatkan ke dahinya.

“Kau rasakan Jan, aku sakit” Suaranya halus dan memelas.

Langsung aku tarik tanganku.

“Ciye ciye!!” Nemos membuka mulutnya yang berhias gigi kuning itu. Dia malah meledekku.

“Jan, belikan obat” kata Nemos lagi.

“Apaan sih. Dia bisa saja berjalan untuk beli sendiri.”

“Kau tidak boleh lari seperti sahabatmu itu Jan” kata Raida yang tanpa ku sadari muncul dari balik kerumunan.

“Kau itu beda dengan Yoan. Aku yakin kau tipikal dewasa. Berbeda dengan sahabatmu yang curang dan memainkan perasaan wanita itu.”

Keduanya sekarang duduk berhadapan dengan Aku dan Nemos.

Raida mulai khotbah curhatnya. Panjang lebar dia bercerita hingga mie dalam sopku jadi bengkak dan dingin. Dia berkisah seputar hatinya yang masih sakit sampai sekarang. Dengan ekspresi yang meyakinkan dia mengutarakan keinginannya untuk rela menjadi selingkuhan Yoan sampai sakitnya reda. Dia bilang bahwa rasa cintanya terhadap Yoan telah membuyarkan nalarnya. Menyesak dan bohong jika dia sanggup menutupi itu.

“Semula aku memang murka terhadapnya. Tapi sungguh, seperti aku terminum racun. Dia malah kian membayang membalut mimpiku setiap malam.”

Aku hanya mengaduk-aduk teh es meski gulanya telah lebur.

“Jan” panggil Milka sambil meremat tanganku. Aku terkejut. “Maafkan aku” . Tuhan. Ekspresinya sungguh menyihir. Aku yakin dia bukan berpura-pura. Aku yakin itu kemurnian. Ahh! Dalam senyum menjijikkan Nemos, siang ini aku merasakan damai kembali menyelimut hati.

Layangan

Seminggu setelah itu pada suatu senja tanpa ku duga Raida dan Milka mengunjungi kosanku. Disaksikan Rahmani, Sidik, Yoan, dan Koyat dari atas beranda; Raida dan Milka sudah menungguku di depan pintu lantai dasar.

Aku menemui mereka. Yoan tidak mau katanya. Yoan berpesan untuk memberikan sejuta alasan kepada Raida jika kedatangannya untuk bertemu dengannya. Sombong.

Keduanya membawakan makanan dan cemilan. Baik sekali. Mengetahui itu para sahabatku yang seperti tupai kelaparan di beranda atas segera berseru untuk minta bagian. Mereka kelaparan.

“Yoan turun dong” seru Raida.

Yoan terlihat menggeser duduknya dan menyembunyikan diri di balik dinding.

Ku dengar rekan-rekan yang lain membujuk dan menyorakinya untuk turun.

Kami bertiga ngobrol ke sana dan kemari. Milka memberitahukan padaku bahwa kondisinya memburuk. Badannya semakin panas dan batuknya mulai mengamuk setiap malam. Dibantu Raida, sungguh kesaksian mereka itu membuatku simpati dan percaya.

Tak lama ternyata Yoan turun bersama Koyat yang telah berpenampilan necis. Parfum Koyat begitu menyengat dan membuat pusing. Parfum om-om.

“Mau kemana kau Yat” tanyaku.

“Ke warung dulu. Beli mie dan sarden.”

Koyat melangkah pergi tanpa melengos kiri kanan.

“Sahabatmu itu Wan?” Tanya Raida kepada Yoan yang bertingkah sebal.

Ya. Mungkin karena menghargaiku juga Yoan akhirnya kompak. Dia meladeni percakapan Raida. Kami berempat pun riuh dengan obrolan masing-masing.

*

Malam ini hubunganku dengan Milka semakin dekat saja. Bungaku mekar dan semerbak menabur sari dalam relung hati. Milka kembali tumbuh sebagai sosok wanita yang menebar hasrat semangat. Sambil aku selesaikan tugas aku berkhayal dengannya. Berjalan bergandengan dan berpelukan. Itu adalah khayalan yang manis. Sampai kemudian teriakan Yoan diikuti berondongan ketokan pintu memecah segalanya.

“Jan, Jan,Jan!!”

“Apa..Apa” sahutku dari dalam kamar.

“Ke kos Raida Yuk!”

“Malam sudah Wan. Mau ngapain kesana”

“Boke Jan.”

“Astaga. Kau mau ngutang sama mereka” Aku menjawab sambil membuka pintu.

Yoan telah rapi dan gaul sekali dandanannya.

“Boke. Duit kiriman tinggal 50 ribu. Ayo kita ke kos mereka”

“Aku malu Wan. Lagian tugasku banyak. Besok sudah deadline”

“Ah kau ini. Aku tak minta. Raida yang menawariku untuk mengambil duit. Lumayan 200 ribu” jawabnya sambil memperlihatkan layar hp. “Ini isi chatnya.”

“Aku jika tidak terhimpit tugas sudah ikut denganmu. Tapi ini beneran mepet”

“Payah kau ini” jawabnya setengah kecewa. “ Sama siapa ya. Oh..Iya.” Dia berbalik “Yat! Yat!” Teriaknya sambil gentian membrondong ketokan di pintu kamarnya.

Sesaat kemudian sang Arjuna muncul dengan balutan kain sarung. Sambil cengengasan seperti biasa Yoan akhirnya berangkat mengambil uang dengan Koyat.

“Eh Senin depan hadir ke organisasiku ya?” Tegur Sidik yang baru datang.

“Ah. Kau. Kaget aku. Organisasi apa sih” tukasku sedikit malas.

“Adalah.. Bawa aja Nemos. Dijamin rame kok”

Aku mengangguk dan masuk ke dalam kamar.

Sambil merebahkan diri di atas kasur aku memikirkan tentang sahabatku itu. Yoan. Ya. Dia itu susah ditebak. Punya pengaruh yang kuat terhadap perempuan. Sepertinya kutukan yang dulu ia takutkan sekarang mulai ia lupakan. Sekarang lihat saja. Dia menari dalam kartu kunci yang ia mainkan. Aku merasakan kecemburuan darinya. Aku tak bisa. Sungguh aku tak bisa tega. Bukan aku tak tegas. Sikap untuk meminta sesuatu yang berharga dari perempuan itu susah muncul dari mulutku. Mudah sekali ku lihat sahabatku itu mempreteli apa yang dipunya perempuan. Memang, pada kesempatan awal dia akan tampil habis-habisan untuk bisa meraih tujuannya. Tapi itu jika perempuan yang ia dekati memang benar-benar menumbuhkan bibit cintanya. Jika sedang main-main begini. Lihat saja tadi, dengan enteng dia hendak menghutang kepada Raida. Aku masih canggung untuk berbuat demikian. Tapi berbagi seperti itu, apakah memang cewe suka? Aku takut disangka mata duitan. Ah! Sudahlah. Daripada aku terlalu larut dengan kekagumanku atas Yoan, lebih baik aku meneruskan chat dengan Milka.

*

Jujur saja, menghadiri acara Sidik ini terasa berbeda. Aku dan Nemos merasakan kalau otak kami sedang diaduk-aduk. Aku dan Nemos penasaran dengan organisasi Sidik. Membulatkan diri serta atas bujukannya, lantas kami mengikutinya.

Di dalam langgar kampus ini aku merasakan begitu payah. Lebih-lebih sahabatku itu. Aku kadang tertawa melihat Nemos berkeringat dan lubang hidungnya membesar mengatur penyerapan udara. Di ruangan ini banyak sekali umatnya. Hal yang disampaikan juga menarik sebenarnya. Namun entah mengapa semakin lama yang dibicarakan mulai mengarah kepada tujuan individual.

Aku mendengar dan dengan logika yang seberapa panjang ini aku menyimpulkan tujuan dari perkumpulan ini. Mereka menyebut kegiatan ini adalah dakwah. Kami yang hadir diminta berdiri dan kadang bertakbir. Mantap.

Lalu seperti yang sudah ku bilang, pembicaraan mulai mengarah pada konsep kesatuan Islam. Aku setuju sekali dengan hal itu. Tapi mulai teraduk-aduk nalarku jika konsep ini akan mengikuti aturan yang ada di arab sana. Ya. Para sufi ini menginginkan sebuah negara islam. Islam mutlak dan menganggap bahwa agama lain adalah kekeliruan.

Aku merasa memberontak jika demikian. Bukankah kita diikat dengan perbedaan? Bukankah perbedaan itulah yang membuat kita bersatu? Bagaimana mungkin mewujudkan ini. Bukankah Islam dibentuk dan diyakini karena penuh kasih dan kecerdasan ilmu pengetahuannya. Dia dilihat agama lain dan terkagum dengan itu bukan melalui kekuasaan. Agama lain mengagumi Islam karena kedamaian.

Aku dan Nemos menyaksikan Sidik yang asyik sambil berdiri menari mengikuti ritme. Aduh!

“Nem. Cabut Yuk” bisikku.

“Nanti. Masih asyik”

Astaga. Aku salah. Rupanya dia menikmati sedari tadi. Astaga. Matanya membelalak kosong itu ternyata bukan melamun. Dia fokus.

“Sudah ayo berdiri” Ajak Nemos lagi.

Aku mengikuti saja karena semua berdiri. Syair-syair mulai terdengar. Nemos mulai menari. Mirip Sidik dia sekarang. Hanya kurus badannya itu melayang seperti ilalang kering tertiup angin.

“Khilafah! Khilafah!” seru salah seorang pendakwah.

Semua yang ada serempak menyahut. Syair-syair ini membuat diriku sesak. Ah. Maafkan aku. Bukan aku tak menghargai ini. Tapi hatiku berontak dengan hal tersebut. Aku merangsek mencoba mencari pintu keluar. Nemos tampak tak menggubris ajakanku. Aduh. Bahkan tabiat tukang onani macam dia pun bisa larut dalam senandung-senandung macam ini. Aku harus keluar.

Sampai di depan pintu keluar aku lega mencium udara bebas. Baru mau melangkah keluar langgar, bajuku tampak ditarik seseorang.

“Jangan keluar dulu. Nanggung!” perintah Sidik. “Sebentar lagi Jan”

“Aku mau ke toilet. Tidak tahan lagi” kilahku.

Dia kemudian mengangguk dan membiarkanku keluar. Sambil menjauh menuju kelas aku menggumam sendirian. Nemos besok bisa brewok. Satu lagi kabar baik untuk hari-hari yang ku lihat di kosan. Satu lagi si Koyat. Koyat Sufi hasil pertaubatan dari onani.

Terasa berkilau betul mentari hari ini. Sambil sedikit terhuyung aku berjalan berjejal dalam kerumunan mahasiswa untuk menuju ke kelas. Hendak masuk ke dalam ruangan tiba-tiba muncul Milka. Aku senyum saja karena memang kepalaku sedang payah.

“Jan..Tunggu..”

Aku membalikkan badan. Ya Tuhan. Wajah mungilnya tak bisa ku dustakan. Dia sungguh segar dengan rona bibirnya yang cerah berpendar cahaya kemerahan.

“Kau tak enak badan?” Tanyanya.

“Rasanya mau tersungkur. Tapi ini sudah mendingan.”

“Kau kenapa?”

Aku menjawabnya. Berada di dekatnya sambil menunggu dosen aku berbicara sebentar. Entah kenapa juga pusingku berangsur surut.

“Kalau kau tak kuat mental, tidak usah lagi kau kesana” nasihat Milka dengan mata bulat penuh empati. Sungguh! Aku suka melihat itu.

“Jan. Aku ingin pinjam sesuatu, boleh?”

“Apa Mil?”

“Malam ini aku hendak mengerjakan tugas kuliahan. Itu yang pembuatan penelitian dari Pak Zul”

Aku mengangguk.

“Jadi?”

“Aku hendak ke rumah temanku, Maryam. Aku dan Raida mau bekerja kelompok di sana. Tapi helm aku tak punya.” Sampai di titik ini rautnya ubah memudar.

“Helm kau kemana?”

“Hilang saat di Duta Mall” jawabnya sambil mengulum senyum.

“Astaga?”

“Aku pinjam helm kamu ya”

“Memang kau tahan mengendus wanginya” Candaku.

Tiba-tiba dia mencubit pinggangku.

“Bore” sambil memukul bahuku dengan manja.

Aku menangkis saja dengan lembut. Dia seperti kegemasan siang itu. Sesaat setelah tangannya turun untuk mengusiliku lagi. Ya dia berniat untuk mencubit lagi. Aku segera tepis dan tanpa sengaja aku menggenggam jemarinya. Astaga. Jantungku berdenyut hebat manakala ku simak pipinya memerah dan bibirnya merekah mesra.

Aku silap dalam takjub. Dia pun demikian. Entah refleks, perlahan kami melepaskan rajutan jemari itu.

“Aku belikan kau helm ya” ujarku gerogi. Payah. Ku simak Milka paham itu.

Dengan tersipu dia menjawab.

“Aku tak ingin membeli helm. Cukup meminjam darimu saja.”

Ya Tuhan. Aku merasakan bias asmara menyusup dari denyutan jantung dan membuncah melalui pori-pori. Mungkin saja sekarang jendela kalbu Milka telah terbuka untukku.

“Kapan?”

“Sore ini aku ke kosmu”

“Aku hanya berpesan kau dan Raida hati-hati berkendaraan ke kosku”

“Aku sendirian.”

*

Wah sungguh mekar perasaan ini. Aku bukan hendak lebay. Selepas perkataan Milka tadi aku langsung pulang ke kos. Aku bolos saja. Sampai di kos langsung aku ambil halmku dan ku tarik gabus di dalamnya. Aku cuci dan kubalurkan pewangi. Semoga saja sore sudah kering.

Sambil menikmati sebatang rokok aku santai di sebuah anak tangga.

Gludak!!! Gludak!

Bunyi pintu didorong dengan kuat. Aku lihat ke bawah. Ya Tuhan. Sebuah boneka beruang berwarna merah jambu besar sekali seukuranku, mungkin lebih besar lagi terlihat menyembul dan memenuhi pintu. Di balik boneka itu ternyata si Koyat tengah kesulitan untuk membawanya. Aku segera turun membantu

“Mantap , Yat” sambil aku longgarkan beberapa bagian dari boneka agar bisa masuk.

“Iya, Jan. Pacarku ulang tahun malam ini.”

Oke. Ternyata punya kepedulian juga sahabatku ini. Mungkin inilah kelebihan dibalik perangainya yang aneh itu. Sekarang perlahan aku sadar bahwa Koyat mempunyai sifat pengertian. Buktinya dia rela membawa boneka sebesar ini. Pikirku bagaimana pula dia membawanya. Penasaran aku tanyakan saja.

“Aku ikat dengan badanku saja” jawabnya sambil tertawa.

“Pacarmu orang mana Yat. Sekampus?”

“Kalau yang di kampus itu hanya sekadar hiburan Jan”

Akay! Ngeri juga si Koyat. Polos-polos begitu ternyata petualang cinta dia.

“Jadi?”

“Di desa, Jan. Anaknya baik. Dewasa. Tahun ini dia lulus dan mau kerja”

“Lho, kita baru beberapa semester di sini” Aku sedikit heran.

Sambil tetap memeluk bonekanya dia menjawab.

“Kami sudah komitmen. Dia fokus bekerja sambil menungguku selesai kuliah”

“Jadi selesai kuliah, kau kawin”

“Pastinya” dia terkekeh lagi. Jujur, kekehan Koyat itu membuatku bertumbuh lagi rasa jengkel.

“Sebesar itu, kapan kau mau berikan?”

“Malam minggu ini. Tepat pada hari jadian kami”.

Aku tak bertanya itu, bambang, batinku.

Dia kemudian membawa bonekanya menaiki tangga. Karena khawatir dia terjatuh, aku bantu mendorong boneka itu.

*

Sekitar jam 4 sore aku lihat Milka datang. Dia tepat akan janjinya. Dia datang sendiri. Asyik. Aku yang sudah perlente segera ke bawah. Aku menuruni tangga dengan menenteng helm dan cemilan. Dia duduk di kursi dekat pintu masuk. Ibu Kos menatap tajam dari bibir pintu rumahnya. Mungkin dia takut kalau anak ini aku macam-macami. Aku senyum saja.

“Kawan Bu. Rileks saja” kataku santai.

Ibu kos lalu masuk ke dalam.

“Ibu kosmu kenapa Jan, kemarin biasa-biasa saja”

“Sebenarnya jika kau berdua kesini tak mengapa” jelasku sambil mengoyak beberapa cemilan yang ku bawa. “Tapi karena kau sendirian, ya begitulah. Buruk sangkanya kambuh.”

Milka hanya mengangguk. Kami berdua berbicara sambil nyemil. Di sela pembicaraan, Aku dan Milka sedikit terkejut oleh sebuah bunyi gaduh dari beranda atas.

Ya Tuhan. Si Koyat sedang menjemur bonekanya. Sore-sore begini? Dasar tukang pamer. Pikirku.

“Besar sekali boneka punya kawanmu, Jan” tanya Milka kagum. Ini yang aku tak suka. Sebentar lagi pasti dia akan menagih. Aduh.

“Untuk pacarnya. Hari jadian katanya”

“Aku belum ada di kos boneka yang besar seperti itu” jawab Milka sambil memalingkan pandangannya. Kini Milka menatap wajahku. Benarkan. Hal inilah yang aku sebal. Tapi tak bisa ku hindarkan dan munafikkan bahwa rona itulah yang ku damba. Wajahnya yang putih dengan alis tebal serta mata tajam begitu menjungkirbalikkan kalbuku.

“Memang muat kamar kosmu?” kataku mencandai dia.

“Iya. Ya. Mungkin tak muat?” jawab Milka tersenyum manis. Tapi aku tahu dia berbohong. Dia hanya sadar bahwa mungkin aku telah beranggapan seperti yang ia duga. Itu benar. Milka hanya takut jika permintaan tersirat itu akan membuat beban bagiku.

Kami melanjutkan obrolan dengan santai hingga senja kian merona kuning. Milka lalu pamit dengan membawa helmku yang telah wangi aku semprot pake parfum axe.

Dalam langkahnya yang hendak pulang itu dia berkata:

“Seminggu lagi kau datang ya. Itu hari spesial bagiku”

“Maksudnya?”

“Aku ulang tahun, Jan?” tukasnya sambil ketawa.

“Pasti” jawabku juga dengan iringan tawa. Mampus aku.

*

Tragedi

Ya ampun, harus kerja ini, pikirku pada malam harinya. Tapi kerja apa? Hubungan kerja aku belum punya. Harian harusnya ini karena waktunya mepet. Tidak bisa tunggu gaji sebulan. Ah!

Barusan aku menanyakan harga boneka itu kepada Koyat. Lumayan ternyata. Harganya sebanding dengan biaya kos selama tiga bulan., hampir 500 ribu. Kalau Yoan sih gampang perkara ini. Tinggal utang atau bohongi ortu di rumah, selesai. Aku masih canggung berbuat demikian. Lagian, orang tuaku juga tak semapan dia. Rasa tidak tega malahan. Ah, aku bolak-balik bantal dan menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal.

“Jan, Jan ”

Itu Nemos. Mungkin dia ingin minta nasi atau lauk lainnya.

Aku beranjak dari tempat tidurku. Dengan setengah malas aku membuka pintu.

“Kau ada lauk apa. Nasi habis, lauk tak ada. Aku kelaparan” sergahnya sambil matanya mengintai barisan perkakasku.

Benarkan, batinku.

“Aku tak ada lauk. Nasi ada. Mie mau?”

“Mana”

Aku tunjuk saja sebuah gantungan plastik berwarna hitam.

Nemos segera bertindak dengan mengisi air ke dalam wajan. Klek! Kini ia nyalakan kompor.

“Nem, gimana Ya?”

“Gimana apa?” jawabnya sambil mencampur bumbu-bumbu ke dalam mangkok yang ia telah bawa. “Bawang putih ada?”

“Buat apa?”

“Campur. Enak Jan”

“Cari dalam toples itu” kataku sekali lagi menunjuk.

“Bawang putih menjauhkan kanker” Balas Nemos dengan yakin. “Wahh..” dia terkejut.

“Apa?”

“Kau punya beberapa telur ayam. Aku minta satu ya?”

“Kau ambillah yang kau mau”

Nemos menceplok telur mentah itu kedalam air yang mulai mendidih. Tak lama kulihat ia campurkan mie. Dia aduk-aduk dengan durasi tak sampai dua menit. Setengah matang mie dan telur yang masih kuning encer itu ia bangkit. Ia campur ke dalam piring yang telah ia tuangkan nasi.

“Nikmat” katanya.

Gila dia. Mana ada seperti itu. Amis. Kuning telur itu meleleh melebur bersama nasi berpadu dengan bawang putih yang telah ia iris. Akay! Aku mampu mebayangkan keanyirannya.

Tampaknya dia sadar dengan pikiranku. Dia lalu menyahut.

“Gak usah pasang ekspresi begitu” ujarnya sambil menyeruput mie. Kuning telur itu kini bermain-main di tepian bibirnya. “Makanan bergizi ini. Penambah hormon dan meningkatkan libido” lanjutnya dengan mimik serius. Ada kebanggan di balik kata-katanya itu. Ah. Mungkin karena kebiasaannya yang katanya meningkatkan libido ini yang membuat dia mudah berfantasi. Dia pecandu onani sepanjang hari.

Aku hanya menggeleng-geleng. Aku tak anggap itu apa-apa. Sambil melihat Nemos makan dengan beringas aku ajak saja dia mengobrol tentang hal yang kupikirkan sejak tadi.

“Ngamen saja, Jan. Cepat itu”

“Ah.., malu aku. Mana ada sarjana mengamen. Macam-macam saja. Aku hendak kerja”

“Memang kau sudah dapat lowongan?”

“Besok aku cari”

“Kau besok baru mau mencari. Jika sudah ada mending, ini kau lagi proses. Kau nanti akan menulis surat dan menunggu panggilan. Waktumu kau sia-siakan. Kau bilang tadi hanya satu minggu. Dapat dari mana duit sebesar itu dengan waktu singkat? Kalau kau mengamen, hariannya pasti atau nyata”

Aku menimbang-nimbang ada benarnya juga temanku ini. Cerdas juga logikanya. Tapi aku masih belum percaya diri untuk lari ke profesi baruku nanti.

“Ah, banyak pikir kau.” Dia membaca pikiranku lagi. “Tak usah minder untuk seorang yang kau sayangi Jan. Perjuangkan. Takbir!”

Ya, ampun. Dia mulai termakan ceramah organisasi Sidik.

“Nggak usah kau kusut seperti itu. Kalau kau mau. Malam ini pun aku teman kau mengamen.”

“Sekarang?”

“Tahun nanti” hentaknya dengan jengkel. “Kalau cinta itu jangan kau tunda.”

Wes! Mantap. Kuning telur itu telah menjadi suplai protein bagi otaknya. Ternyata bukan air yang ia perlukan untuk pikirannya itu. Nemos hanya perlu telur ayam dan mie untuk membuatnya cerdas macam Enstaine.

*

Banjarmasin memang tak sementropolitan Jakarta. Di sini arus permukaannya tenang. Tapi di dalam perut, arus itu juga deras. Dalam bias rembulan yang tersapu-sapu dedaunan pohon akasia, aku menyaksikan betapa suasana hangat malam kota Banjarmasin. Rutin selama 4 hari ini aku dan Nemos menjajakan suara kami untuk mengumpulkan dua ribuan agar boneka pesanan Milka datang.

Selang waktu ini tubuhku sebenarnya mulai tak respek dengan cuaca malam. Dingin menusuk hati dan kian larut badanku kian menggingil. Dalam mengamen, kami berpindah-pindah mulai tempat nongkrong, kafe, pasar, hingga lampu merah.

Yah lumayanlah. Sepertinya dalam seminggu ini boneka itu pasti terbeli.

Sesak membludak saat kedatanganku dan Nemos di pasar Kalindo malam ini. Wajar saja, malam ini adalah malam minggu.

“Eh kau tak jalan dengan Milka?”

“Gak Nem. Badannya sakit. Muntah-muntah katanya” jawabku kepada Nemos.

Aku ceritakan awal mula yang Milka rasakan sebagai bentuk rasa simpatiku. Sudah mendayu-dayu aku ungkapkan apa yang Milka rasakan kepada Nemos, sahabatku ini. Perasaanku, aku bercerita sudah totalitas. Eh usut punya usut Nemos malah asyik melihat cabe-cabe SMA dengan pantat penuh.

“Bangke!!”

“SSSTTT!!! Pegang nih gitar. Saatnya pria dewasa macam aku bertindak” katanya yakin.

Tumben temanku ini. Rupanya dibalik penderitaannya itu tersimpan cita-cita. Dia merindukan perempuan.

Nemos maju mendekati cabe itu. Tubuhnya yang kurus ia busungkan. Mantap juga. Dengan yakin dia mendekat untuk merapat.

Sejauh ini aku mulai menurunkan kadar kekagumanku padanya. Aku menyaksikan raut cabe cabean itu kian pedas saja. Ku saksikan pula perubahan iklim di wajah Nemos. Kadang dia tertawa kadang dia garuk garuk kepala belakangnya. Ah. Tak beres ini. Sesaat kemudian, dengan sedikit membungkuk Nemos mulai menjarak lalu berjalan ke arahku.

“Bagaimana?”

“Dia orang Sungai Miai. Namanya Lala. Masih sekolah” katanya sambil senyum senyum.

“Terus-terus” Buruku.

“Apanya yang terus. Waktu aku mau minta WA, eh malah dia bilang kalau gak mau pergi akan diteriakin maling”

Ku pukul punggung kawanku. Aku menahan tawa. Apalagi kusaksikan mukanya yang sudah mirip nanas layu itu.

Tak apalah. Paling tidak kawanku ini telah berusaha. Kami melanjutkan mengamen hingga tak terasa mulai lewat jam 9 malam.

Ketika hendak keluar dari pasar Kalindo, secara sepontan hidungku mencium aroma parfum Milka di antara kerumunan orang yang berdesak-desakan. Mataku segera memutar memastikan itu. Benar saja, Milka.

“Milka!!” Panggilku

Dengan terkejut, dia berusaha menyembunyikan dirinya. Taka pa, aku kejar dia.

“Hei?” kataku lagi sambal ku raih tangannya.

“Ehh..Jan. Ehhh emmm sedang apa kamu di sini” jawabnya gugup.

Iya juga. Duh bodohnya aku. Selama ini aku tak memberitahunya karena malu. Ahh. Sialan. Bagaimana ini.

“Kami sedang memamerkan skill kepada khayalak ramai’ tukas Nemos santai.

Makhluk biadap. Pede sekali dia nongol saat suasana demikian. Tanpa dosa makhluk itu menyelinap dan membaur dengan kami.

“Maksudnya??”

“Alah udah..” kataku segera. “Kamu sendiri bukannya sakit demam?”

“Iyaa ” sahutnya lirih. “Aku suntuk di kos. Jadi kesini..Ehh aku masih penasaran, apa yang kalian la..”

“Ehhh Jani?!!” seru seorang pria ikut bergabung.

“Koyat??!!!!”

“Eh..ini kenalin. Pacarku..baru seminggu” kata Koyat menunjuk Milka.

Tentu saja aku terperangah. Nemos juga sama. Milka tertunduk pucat sembari tangannya meremat remat bungkusan yang ku yakin itu baju.

Harus bagaimana aku. Napasku terengah. Tubuhku seketika kaku. Udara dingin malam ini berubah hangat lalu menguap karena panas. Tanganku tanpa kontrol telah mengepal. Nemos segera maju mendekatiku.

“Jan. Kita pulang, Jan.!!” serunya sangat cemas.

Aku diam saja memandang tanah. Mataku mulai berkunang. Pusing. Bergemuruh dadaku serasa api mulai membakar. Banjir keringatlah malam ini.

“Jan!! kita pulang..Ingat, dia kawan!!” serunya lagi. Kali ini dia menggengam lenganku yang sedari tadi terasa membatu.

“Eh ada apa??” Tanya Koyat yang sama sekali tak paham.

“Nggak Yat, Nggak ada?? Kami duluan” sergah Nemos.

Layaknya patung aku diseret beku. Membelah kerumunan ramai, kami keluar dari pasar meninggalkan mereka.

Ku tatap tajam dari kejauhan. Dadaku yang memanas melihat mereka berdua yang juga keluar menuju parkiran.

Saat aku dan Nemos hendak pergi. Aku masih menatap mereka dengan tanpa rupa apa itu sahabat atau apa itu penghianat. Namun yang membuatku kian terbakar adalah saat keduanya sedang bersiap mengenakan helm. Di saat itu aku seperti banteng yang sudah tak terkendali.

“Bangke!!!!! Helmku!!” aku meloncat dari motor Nemos yang sudah jalan. Layaknya anak panah aku melesat kencang ke arah mereka.

“Jan!!! Jan!! Heiii Heiii” Nemos berupaya mencegah tapi gagal. Bunyi brak !! terdengar. Nemos membanting motornya di tepi jalan.

Merangsek maju. Tabrak. Sikat! Aku sungguh tak peduli ini di mana. Yang kurasa saat ini jiwaku sesak penuh semacam uap panas. Sang angkara membalutku dengan api buta. Ku pandang sambil berlari serasa melihat binatang buruan yang luka. Milka mengenakan helm yang dia pinjam dariku. Tak terbendung lagi. Tak terkontrol lagi. Kaki kananku meluncur seperti peluru ke arah Koyat. Malam itu kacau sejadi-jadinya.

*

“Salahku juga sebenarnya” kata Yoan dari balik dinding kamar kos. Semua berkumpul di situ terkecuali Koyat. Jam berderak menuju tengah malam. Di luar gerimis tapi toh dadaku penuh bara yang tak padam.

“Aku tak menyangka juga saat aku ambil uang dari Raida bahwa hubungan Koyat itu ternyata berlanjut.”

Percuma semua kalimat motivasi yang keluar dari mulut Yoan. Bagiku tak ada apapun selain sesak. Skesta kenangan bercampur khayalan yang hancur lebih menguasai kalbuku. Ya. Hanya itu. Semuai rantai itu berurutan mengikat otak dan jantungku yang sedari tadi masih berdegup kencang. Kata tanya mencecarku terus menerus. Di hari yang ku perjuangkan. Di hari mendekati ulang tahunnya. Di hari akan ku penuhi keinginannya. Mengapa Koyat?? Mengapa aku kalah dari kelabang itu. Ahhh!! sangat menyiksa dan menjerat. Di balik pintu kamar yang terbuka sedikit, pandanganku kabur bahkan aku seolah bukan berada dalam kamar ini.

Lamunanku terus terbang penuh dengan luka dan duri. Hingga tak ku sadari sebuah suara pelan muncul dari depan pintu yang terbuka sedikit itu.

“Jan..Aku minta maaf. Sungguh aku tak tahu kalua kau ”

Ahhh!!!! Setan kelabang !!! Spontan aku bangkit dan segera menumbuk pintu.

Koyat terjungkal ke teras. Di atas jemurannya yang masih tergantung itu sungguh ku luapkan kembali emosiku. Dia terhuyung. Ku tak tahu lagi apakah tumbukanku tadi mengenai perut atau bagian mana. Sidik mencoba menengahi tapi baru selangkah, dia dicegah Yoan.

“Biar saja. Puaskan saja dulu hatinya!” kata Yoan seingatku.

Tanpa ba bi bu dan keraguan sedikitpun aku menyeringai kalut. Habis tumpah ruah segala bunyi gaduh memekak malam. Ku hantam Koyat yang mulai bertahan. Berkelit! Lepas! Dan sesaat ku rasa tubuh kakuku rubuh menghatam dinding. Pipiku terasa pegal.

Aku bangkit lagi dan ku daratkan lagi seranganku. Kali ini telak ke dagunya. Dia rubuh di bawah jemuran! Dengan semua umpatan yang tak terelakkan ku manfaatkan ketidakseimbangannya itu. Segera ku kunci kedua lengannya. Ku tindih dengan badanku. Dengan posisi tengkurap, ku seret kepalanya; ku benamkan ke dalam bak bersabun yang masih berisi rendaman bajunya.

“Mampus kau!!” kataku kesal bertumpah ruah.

Kepalanya menggeleng-geleng liar. Ku yakin separuh sabun bercampur daki pakaiannya itu telah ia telan dalam-dalam.

Kami bergumul cukup sengit. Dia memberontak bagai sapi qurban yang enggan disembelih. Aku hilang kuncian. Dia menyikut belakang dan sungguh kepalaku terasa berputar karenanya.

Belum hilang pusaran itu, ku rasakan sesak mendalam di bagian leherku. Sambil berdiri membungkuk Koyat menjeratku dengan pusaka sarung basah berbau ikan kering tenggiri yang sejak tadi berada di atas kami. Aku berkelit ke kanan dan ke kiri berusaha longgarkan jeratan. Tangan kiri menyelinap ke dalam areal jeratan dan tangan kananku mulai naik ke atas. Ku jambak rambutnya agar tumbang.

Lepas!

Merasa belum puas. Kami segera siapkan kuda kuda kembali. Sebelum bertabrakan tiba-tiba Yoan menyeru sambal berusaha menangkapku.

“Ehhh!!! Bapak kos naik. Sudah! Sudah!” katanya sambil memiting bahuku. Nemos ikut mengunciku. Di depan mulai ku pandangi dengan lelah Koyat juga sedang dikunci Sidik dan Rahmani.

Derap langkah tegas dan seolah membabi buta mulai terdengar pekat mendekat. Bapak kos tiba.

Menyaksikan tempat sewaannya kacau balau dengan dinding patah dan pintu jebol tentu membuat beliau murka hebat.

Plang!! Plang!! Plang! Plang! Tamparan terukur melayang tebal mengenai kepalaku dan Koyat. Tak banyak ku gubris kemarahan dan aneka nasihat dari beliau. Cukup lama, hingga akhirnya usai dalam hening dan senyap. Semuanya masuk ke kamar masing-masing.

*

Di kamar ini ku lihat jam dalam layar ponselku merambat pukul dua malam. Ku saksikan sekitar 20 pesan WA masuk. Yah itu semua dari Milka. Persetan. Tak ku buka dan dengan payah akhirnya aku selesai berkemas.

Keputusannya jelas. Kami berdua harus berkemas malam ini. Tinggalkan kos dan besok pagi menyiapkan transportasi angkut untuk barang-barang yang besar. Hanya ransel berisi pakaian untuk menginap saja yang ku bawa.

Berjalan nyeri dan pegal dan mulai bersalaman pamit dengan sahabat, termasuk Koyat langkah kakiku merambat lalu menuruni tangga. Sesaat aku sudah di lantai bawah. Ku perhatikan Koyat juga mulai berkemas.

Sambil bersiap menyalakan motor, ku tatap canggung pada rumah kos bercahaya remang itu. Aura rembulan memantulkan sinarnya ke bumi. Bintang terdiam disapu awan yang mungkin mendung. Bisik angin serasa memintaku untuk segera hilang. Ku pikir sejenak; bukankah kami hanya remah-remah roti yang mencoba mengisi celah cinta dan cerita di pinggir kota congkak ini.

*************Selesai*******

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image