Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aswantri Bekti

Cerpen: Besta dan Bocah Es

Sastra | Saturday, 22 Jan 2022, 03:01 WIB

Besta menerima surat undangan itu dengan tangan gemetar setelah secara tidak sengaja ia membaca sekilas siapa pengirimnya. Dari Johan ? Dan gadis itu semakin gemetar manakala mengetahui isinya. Bagaimana tidak ? Pemuda itu akan menikah dua minggu lagi. Surat undangan bergambar dua sejoli. Ya Tuhan ! Besta mencoba menghalau perasaan galau dan sedihnya dengan memaksakan diri tersenyum kepada pengantar surat undangan tersebut. Diantarnya gadis itu sampai ke pagar depan.

"Terimakasih, dik. Kalau tak ada aral, saya akan datang," ucapnya seraya menjabat tangan gadis pengantar undangan itu.

"Permisi,mbak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Besta memperhatikan sampai gtadis cilik itu hilang dari pandangan. Dengan langkah lesu ia kemudian berjalan menuju teras. Disandarkannya tubuhnya pada kursi rotan yang terletak di pojok ruang. Angannya menerawang, menelusuri masa-masa silamnya. Semula ia mengenal Johan sdebagai seorang pendiam. Sederhana orangnya. Dari Johanlah, Besta banyak belajar agama. Dengan setia pemuda itu menuntunnya belajar membaca dan menulis arab sebelum akhirnya ia ikut les yang dilaksanakan di kampus setiap Senin dan Jumat sore. Dan sejak itu ia makin sering bertemu Johan. Pemuda itu jugalah yang memberinya semangat belajar ketika dia jemu dan jenuh dengan buku-buku tebal yang mesti ditekuninya. Besta menghela desah. Ada rasa kehilangan dalam dirinya. Kehilangan ?

Suara sepeda motor memasuki halaman membuat Besta agak terkejut. Rahma nampak sedang menstandarkan motornya di bawah pohon jambu di sisi pagar. Besta segera menjemput sahabatnya itu setelah berhasil menata perasaannya.

"Wah ...darimana saja ini ? Ayo masuk." ujarnya menyambut kehadiran Rahma.

"Terimakasih. Ganggu ga ?" tanya gadis itu.

"Ah, tidak. Dari kampus ya. Kok, masih bawa paper ?"

"Emm, iya. Aku lagi kurang beruntung."

"Kenapa ?"

"Paperku banyak kena coretan merah, harus direvisi."

"Kau memang terlalu. Masa' dua hari menjelang deadline kau baru mulai mengerjakan." timpal Besta sambil mempersilahkan sahabatnya itu minum.

"Kau benar. Oh ya, kau sudah terima undangan dari Johan ?" tanya Rahma agak pelan. Agaknya ia telah bisa membaca raut wajah Besta.

"Oh, sudah. Belum sampai sejam lalu," pelan Besta menyahut. Pelan dan lirih.

"Kau mesti sedih ya..."

Besta mencoba tersenyum,memaksakan diri.Dipandangnya Rahma sesaat sdebelum akhirnya dia menunduk. Dari sudut matanya yang jeli sepertinya ada genangan yang siap tertumpah. Keduanya terdiam. Suasana sore di ruangan itu menjadi lengang beberapa saat . Kicau burung-burung pipit bersahutan melintas di luar.Hembusan angin sore menerpa wajah Besta yang nampak pucat. Pikirannya kusut.

"Besta," suara Rahma menyadarkan gadis itu."Aku dapat memaklumi perasaanmu. Sebagai teman, sungguh aku ikut sedih juga.Tetapi kau baiknya mengingat apa yang pernah aku pesankan padamu...jauh-jauh hari sebelum kau akrab dengan pemuda itu."

Besta kembali menunduk. Memang benar, menurut Rahma, Johan itu punya watak friendly. Suka menolong teman juga. Dan justru kebaikan sikap pemuda itu yang secara pelan menumbuhkan rasa simpati gadis itu. Bahkan akhirnya rasa itu tumbuh subur berkembang menjadi perasaan lain yang Besta mengakui belum,mengingkari juga tidak.

"Kau benar, Rahma," akhirnya meluncur kata-kata dari mulut mungil Besta. " Johan memang baik. Mungkin, akulah yang terlalu terbawa perasaan." Dan kini, butir-butir air bening itu mulai menetes di sudut mata gadis berkulit kuning langsat itu. Rahma tersenyum sambil menepuk bahu sahabatnya itu sebelum beranjak berpamitan. ***

Semilir angin sejuk menerpa wajah seorang gadis yang lagi berjalan sendirian di sepanjang pasir tepian pantai. Suara burung-burung camar melintas. Beberapa kelompok anak muda berlarian, bermain dengan ombak. Ada juga anak-anak yang riang bergulat dengan bola.Namun keriangan suasana itu tak dirasakan oleh gadis berpakaian ungu itu. Ayunan langkahnya gontai. Sesekali gadis itu berhenti. Memandang ke laut lepas. Di langit timur, nampak sebuah layang-layang menari di angkasa. Ya, hanya sebuah layang-layang. Sendiri. Seperti perasaan hatinya, sendirian meski di tengah banyak orang. Sepi meski di tengah keramaian. Gadis itu mengatupkan ke dua bibirnya yang agak membiru. Seolah ia kedinginan. Ia kemudian berjongkok. Tangannya yang putih lantas meraih sebutir kerikil. Dituliskannya sebuah nama di pasir basah. Namun ia tak sanggup menyelesaikannya. Segera ia berdiri ketika ombak tiba-tiba datang menyergap huruf-huruf di pasir basah itu. Dilemparkannya kerikil itu ke deburan ombak. Dengan langkah lesu ia menuju tempat yang teduh.

"Es, mbak ? Mbak haus kan ?," suara seorang bocah bercelana pendek agak kumal membuat gadis itu berpaling ke arah suara itu. Ia berusaha tersenyum.

"Sepagi ini sudah jualan es ?"

Bocah itu hanya mengangguk. Sesaat pandangannya seperti menghujam, menatap tajam gadis di depannya. Bocah itu nampak berfikir .

"Mbak Besta kan ?," tiba-tiba bocah penjaja es tersebut menyebut sebuah nama. Gadis itu mengerutkan kening, sesaat.

"Kok tahu ?"

"Mbak kan pernah beberapa kali mengisi pengajian anak-anak di kampung saya. Ingat ga ?," dengan bersemangat anak itu berkisah tentang pengajian anak-anak sebelum masa pandemi covid 19 mendera. Gadis yang tak lain adalah Besta itu hanya tertegun.

"Kau sering mengaji ,?" tanya Besta kemudian.

"Sering juga,mbak, Tapi hampir dua tahun ini kan kegiatannya terhenti. Mungkin bulan depan akan mulai lagi. Mbak mau kan ngisi lagi. Teman-teman seneng denger cerita mbak tentang itu .. si Yatim yang tabah."

Hati Besta terguncang hebat mendengar penuturan bocah itu. Ahh, aku ternyata hanya pandai berkisah, keluhnya. Kenapa pagi ini aku malah di sini, di pantai ini ? Bukankah seharusnya aku membeli kado buat Johan ?

"Mbak kok nampak sedih ? Inget kisah si Yatim ya ," pertanyaan bocah itu beruntun menghujam ulu dada Besta yang terasa sesak namun kemudian kembali longgar. Dia pun tersenyum.

"Enggak. Aku lagi berfikir. Kau tidak sekolah ?" Besta mencoba mengalihkan perhatian bocah itu.

"Sekolah,mbak," jawab bocah itu sigap. Ada rasa bangga terbersit dari wajahnya.

"Bagus, yang rajin belajarnya," Besta berucap demikian sambil mengibaskan pasir yang menempel di pakaiannya.

"Tapi kenapa kau berjualan es ? Bapak ibumu ...?" ucapan Besta terhenti mendadak. Ia melihat perubahan pada bocah itu. Tiba-tiba wajahnya menunduk. Jari-jari tangannya yang dekil tak teratur menggoreskan garis-garis di pasir,

"Saya...saya tak punya orang tua lagi mbak. Saya tinggal dengan kakek.Kasihan, ia sudah tua dan lemah," sahut bocah itu. Suaranya nyaris tak terdengar. Hanyut terbawa suara debur ombak yang semakin mengganas.

Sekali lagi Besta tersentak. Ia benar-benar tak menyangka jika bocah yang kini duduk di sampingnya dengan termos es lilin itu adalah bocah yatim piatu. Mendadak rasa haru dan kagumnya tumbuh. Bocah sekecil ini sudah kehilangan orang-orang yang paling dicintainya. Sedang aku ? Ohh ! Besta memandang garis cakrawala sesaat, kemudian menghela nafas panjang. Panjang sekali.

"Oh ya, mbak..sebenarnya saya sama teman-teman ngaji dapat undangan lho," kata bocah itu lagi.

"Undangan ?" Besta mengerutkan dahi.

"Iya, teman-teman saya mau berangkat nanti setelah dzuhur."

"Undangan apa ?"

"Itu...mas Johan yang sering sama mbak Besta ngisi pengajian kan hari ini menikah. Apa mbak Besta ga dapat undangan ? Mbak teman dekatnya kan ? Tapi aneh juga mas Johan itu ..mosok anak-anak kok dapat undangan. he ...he.. Mungkin dikasih tempat khusus ya mbak," kata demi kata dari bocah itu hanya disambut Besta dengan senyum. Senyum yang masih menyisakan kepahitan. Sejenak ia membayangkan Johan. Ya, Johan yang kadang memang aneh, atau lebih tepatnya unik.

"Ya, aku juga dapat undangannya kok. Kau datang kan nanti ?" Besta bertanya.

Sejenak bocah itu terdiam sebelum akhirnya menjawab lirih.

"Penginnya datang mak, tapi saya malu. Saya ga punya pakaian yang pantas. Saya cuma ada seragam sekolah. Itupun sudah agak kumal," jawabnya kemudian. "Lagi pula saya harus mencari uang untuk membantu kakek," sambungnya.

Besta mengucek matanya.

"Kau benar- benar tabah. Siapa namanu ?"

"Krisna," jawab bocah itu. "Saya ingin seperti si Yatim. Tidak banyak mengeluh menjalani hidup ini. Saya ingat kata-kata mbak Besta, kita diuji sesuai kemampuan kita. Benar kan mbak ?"

Gadis berpakaian ungu itu hanya tersenyum sembari mengangguk. Jilbabnya yang panjang seperti menari tertiup angin pantai .Tangannya tiba-tiba terulur membelai rambut kusut bocah penjual es di depannya,Krisna.

"Krisna, sekarang antarkan aku ke rumahmu. Aku ingin menemui kakekmu juga. Nanti kita trus ke toko pakaian ya, sekalian mencari kado untuk pernikahan mas Johan. Aku ingin bareng kalian ke acara pernikahan mas Johan.Bagaimana ?" Berkata demikian sambil berdiri. Ada secercah cahaya yang telah menyibakkan kabut dalam dadanya. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image