Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Rofiqi

Menyingkap Fakta di Balik Suara Wanita

Agama | 2024-08-08 13:32:39
sumber: id.pinterest.com

Berbicara mengenai persoalan perempuan tentu bukanlah sesuatu yang tabu ditelinga kita. Terutama dalam menghadapi kondisi kehidupan yang penuh dengan hiburan media sosial. Di mana kita selalu melihat perempuan menampilkan keindahan vokalnya dikhalayak ramai. Entah itu diacara konser, kafe, perayaan ulang tahun atau tempat hiburan lainnya.

Sebenarnya bila dikaji lebih jauh tentang khilafiah (perdebatan) para ulama’ tentang suara perempuan, bisa saja menemukan titik terang. Meskipun hukumnya menghendaki berbeda, akan tetapi tujuannya sama. Yakni untuk melindungi kemaslahatan seorang perempuan maupun orang lain.

Sebelum membahas hukum suara perempuan. Kita perlu tahu bahwa kehadiran Islam selaras dengan fitrah manusia. Sebagaimana disampaikan dalam Al-Quran,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ۚ فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذٰلِكَ الدِّيْنُ اْلقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ۝۳۰

“Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah, tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum [30]: 30)

Sesuai ayat di atas yang menunjukkan bahwa kecenderungan manusia akan keindahan, keelokan wajah, aroma harum dan suara yang merdu termasuk bagian dari fitrah tersebut. Dan mustahil Allah menciptakan sesuatu pada diri manusia, kemudian Dia melarangnya.

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki juga berpendapat atas diperbolehkannya mendengar suara perempuan. Dengan catatan harus berada dibalik tabir dan tidak menimbulkan fitnah. Bahkan tidak masalah ia bernyanyi di depan suami, keluarga, mahram maupun kalangan perempuan selama tidak jerumus ke dalam perbuatan keji dan pornografi.

Sebagaimana kita tahu bahwa istri-istri Nabi dan para sahabat selalu melakukan komunikasi serta diskusi dengan kalangan lelaki guna menyebarluaskan pesan baginda Nabi. Bahkan tidak jarang mereka mengajarkan sastra arab (syi’ir) yang indah kepada muridnya, termasuk Imam as-Syafi’i yang berguru kepada Sayyidah Nafisah.

Dalam hadis sahih diceritakan bahwa Aisyah pernah mendengar nyanyian di kediaman Nabi, dan beliau tidak menegurnya. Aisyah menjelaskan,

“Rasulullah saw. masuk ke rumah dan saat itu ada dua budak perempuan yang sedang menyanyikan lagu peperangan Bu’ats. Maka, Rasulullah pergi berbaring dikasur dan mengalihkan wajah beliau. (Tidak berselang lama) masuklah Abu Bakar dan menghardikku sambil berkata: ‘seruling setan di sisi Rasulullah?’ Maka, Nabi lalu menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar dan bersabda: ‘biarkan keduanya (menyanyi)’. Ketika beliau terlena, aku memberi isyarat kepada keduanya. Akhirnya mereka (dua budak) pergi” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibn Majah)

Yusuf al-Qardlawi juga memiliki kontribusi pemikiran tentang potret moderasi fiqh perempun. Salah satu corak pemikiran beliau menyatakan “suara perempuan bukanlah termasuk aurat, seperti dalam sejarah Nabi dan istri-istri beliau yang aktif berinteraksi dalam hal positif (keilmuan dan lain-lain) dengan tetap menjaga etika”.

Ketentuan yang asalnya diperbolehkan bisa berubah jika di dalamnya terkandung kemungkaran dan hal-hal negatif lainnya. Sehingga suara perempuan boleh jadi fitnah bilamana tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bahkan bukan hanya merugikan dirinya sendiri, akan tetapi berimplikasi kepada orang lain.

Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya Islam tidak melarang suatu tanpa ada kemaslahatan di dalamnya. Maka, suara perempuan menjadi legalitas yang disepakati oleh para ulama’ selama tidak mengandung unsur yang menyalahi aturan agama. Pun hukumnya akan berbeda bilamana terdapat unsur negatif.

Semoga penjelasan ini dapat bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image