Hukum Ramalan Cuaca Menurut Islam
Agama | 2024-08-07 10:28:37Adanya informasi tentang cuaca tentu sangat membantu orang-orang dalam mengatur aktivitas sehari-hari. Ramalan cuaca juga dibutuhkan untuk jalur transportasi laut dan udara yang berkaitan dengan keselamatan hidup orang banyak.
Lantas bagaimana Islam menyikapi fenomena ramalan cuaca yang dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Bukankah hal itu juga dikatakan ramalan cuaca? Sedangkan mempercayai ramalan sendiri termasuk bentuk kesyirikan.
Tulisan ini berusaha menjawab persoalan tersebut berdasarkan kutipan dalam literatur kitab dan pendapat para ulama’. Berikut penjelasannya,
Dalam sekian banyak surah Al-Quran, hanya satu surat yang menjelaskan fenomena cuaca, yaitu tertera pada surat al-Quraisy,
لِاِيْلٰفِ قُرَيْش, اِلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيْفِ
“Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas” (QS. Al-Quraisy [106]: 1-2)
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut menjelaskan tentang perjalanan dagang kaum Quraisy yang dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu pada musim dingin dan musim panas. Perjalanan ini dilakukan pertama kali oleh Hasyim bin Abd Manaf (kakek Nabi).
Dalam kitab yang berjudul Ahkam as-Syita’ Fi Sunnah al-Muthahharah, dijelaskan bahwa sebagian ulama’ menafsiri ayat di atas dengan empat musim, yaitu musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur. Sedangkan Imam Malik menjelaskan bahwa kata syita’ (musim dingin) yang dimaksud adalah setengah tahun.
Dikutip dalam Shahih al-Bukhari halaman 846 yang diriwayatkan oleh Zaid bin Khalid bahwa Nabi pernah melakukan shalat subuh di Hudaibiah di bawah langit malam. Setelah usai melaksanakan shalat, beliau menghadap kaumnya seraya bertanya, “apakah kalian tahu apa yang dikatakan oleh Tuhan kalian?” lantas mereka merespon perkataan Nabi dengan ucapan “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui”. Nabi kemudian menyampaikan pesan Allah,
اَصْبَحَ مِنْ عِبَادِىْ مُؤْمِنٌ بِىْ وَكَافِرٌ, فَأَمَّا مَنْ قَالَ مَطَرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَالِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوَاكِبِ, وَأَمَّا مَنْ قَالَ مَطَرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَالِكَ كَافِرٌ بِىْ وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكِبِ
“Hamba-Ku boleh jadi beriman dan boleh jadi kafir kepada-Ku. Adapun Orang yang mengatakan ‘hujan ini terjadi lantaran karunia dan kasih sayang Allah’. Maka ia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Dan jika orang itu mengatakan ‘hujan ini terjadi karena orbit bulan ini dan itu’. Maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagian ulama’ mengharamkan ucapan “hujan ini terjadi karena orbit bulan ini dan itu” yang dinisbatkan kepada bintang-bintang sekalipun metafora (majas). Namun ada ulama’ yang mengklasifikasi ucapan tersebut dengan dua hal, yaitu:
Pertama, bila meyakini bahwa yang menimbulkan turunnya hujan adalah pengaruh orbit bulan, maka dikategorikan sebagai syirik dan kafir. Inilah yang terjadi dalam kebiasaan orang jahiliyah. Sebagaimana keyakinan mereka bahwa berdoa kepada orang mati dan hal gaib bisa mendatangkan manfaat dan mencegah akan keburukan. Sehingga diutuslah Nabi saw untuk memperingatkan mereka agar meninggalkan kebiasaan tersebut.
Kedua, bila meyakini bahwa yang memberikan pengaruh atas pergerakan dunia hanya Allah semata. Maka, tidak dihukumi kafir selama menganggap bahwa hujan tersebut terjadi lantaran hukum alam yang sepenuhnya diatur oleh kehendak Tuhan.
Mengutip perkataan Ust Adi Hidayat yang mengatakan bahwa “secara kemanusiaan sebab hujan bisa terdeteksi dari pergerakan angin, awan dan sebagainya. Sehingga manusia memprediksikan cuaca tersebut sesuai indikasi-indikasi yang kemudian dikenal dengan prakiraan cuaca. Hal itu termasuk ikhtiar manusia untuk belajar melalui tanda-tanda alam sebagai persiapan aktivitas”.
Maka apa yang dilakukan BMKG bisa dibenarkan, sebab dilakukan dengan pengamatan ilmiah sehingga disebut prakiraan cuaca, bukan ramalan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Sekian, Wallahu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.