Puisi Itu Berbobot, Bukan Bacot
Sastra | 2024-07-31 11:20:17kerap kali, dari berbagai puisi kurang dalam penghayatan yang hakiki. Ada yang menulis, tetapi atas dasar rasa teriris, adapula asal nulis. Puisi itu umpama restoran, makanan harus higienis, tempat berbasis dan pelayanan tidak krisis, jika seperti itu, tamu akan betah dan akan menikmati dalam setiap suapannya. Namun, jika tidak maka puisi itu hanyalah ‘PU’ yang artinya tinja, tanpa ada isi, seperti itulah penuturan dari Kiai Faizi. Semua tulisan akan bagus, jika atas hati yang bagus, tetapi kalau hatimu hangus, maka tulisanmu pupus. Puisi Khairil Abror bisalah kita nikmati sebagai sarkas yang membekas, apa! membekas dalam apa? Membekas dalam berkas yang seharusnya tak tertulis di kertas. Berikut puisinya;
Kau ini siapa?
Kau ini siapa?
Engkau yang katanya telah mengubah diriku
Dari jalan setan, menuju jalan Tuhan
Kau ini siapa
Engkau yang selalu mengajakku kejalan kebaikan
Namun, kau juga yang telah menghanguskan
Niat tulusku kepada tuha
Kau ini siapa
Sahabat yang selalu
Setia setiap saat
Atau setan abstrak
Yang telah menjadikanku sesat
Dari pemilihan judul sudah bisa dikatakan jadul, pemilihan imaji tanpa ada dekripsi, struktur tidak mengalur dan banyak lainnya.
‘Kau ini siapa?’/ Pemilihan diksinya indah, mengamalkan ilmu di idadiyah, yakni taukid lafdzi. Sayangnya tidak punya arti, setelah semuanya dibaca, hanya meninggalkan rasa benci. Benar memang? Mengulang kata bisa menjadikan arti terhenyak ataupun hal yang harus betul-betul di pandang, tetapi bukankah sesuatu yang bisa di pandang, tak selayaknya untuk di pinang bukan? Dan untuk meminang kita juga harus tahu isinya kan, bukan hanya judul yang dicantumkan.
‘Dari jalan setan, menuju jalan Tuhan’/ Gunakan istilah yang konsisten dan jelas. Jika Anda menggunakan metafora seperti "jalan setan" dan "jalan Tuhan," pastikan untuk menjelaskan atau menggambarkan keduanya dengan lebih detail agar pembaca memahami maksudnya. Selain itu, pastikan penggunaan bahasa dan istilah dalam puisi sesuai dengan konteks keseluruhan puisi. Menggunakan Metafora boleh saja, asalkan tahu kadarnya, jangan asal main tuang, nanti kalau dibuang kan sayang.
Mungkin seperti itu. Ini puisi yang saya revisi;
Kau ini siapa? Kau ini siapa? Engkau yang katanya telah mengubah diriku Dari jalan yang penuh dosa menuju jalan yang penuh cahaya
Kau ini siapa? Engkau yang mengajakku ke arah yang lebih baik Namun, di tengah usaha itu, Niat tulusku pada Tuhan terasa terabaikan
Kau ini siapa? Sahabat yang setia dalam suka dan duka, Atau penggoda halus yang membuatku tersesat?
Untuk maknanya mungkin sama, yakni mengartikan kebingungan dan ambiguitas dalam hubungan antara penulis dengan seseorang yang mempengaruhi hidupnya. Ada ketidakpastian apakah orang tersebut benar-benar baik atau justru berpotensi merusak. Penulis mengalami dilema moral dan spiritual, di mana peran orang ini sebagai pembimbing kebaikan terasa bertentangan dengan dampak negatif yang dirasakannya terhadap niat tulusnya untuk beribadah atau berbuat baik kepada Tuhan. Bisa juga ada orang yang pernah menasehati, sedangkan dirinya sama kayak tai. Atau selainnya, entahlah. Sebagaimana maklumnya puisi bisa di cerna semua orang, orang bisa menilai rasa dari racikan puisi anda. Namun, pertanyaannya puisi anda ini untuk orang lapar, orang kekar atau orang bugar? Sekian, wassalam.
Kalikajar, Wonosobo
31, juli, 2024
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.