Keterkaitan antara Kekuasaan Kolonial: Telaah Postkolonial Novel Atheis
Sastra | 2024-07-19 21:56:21"Ya, sic transit gloria mundi! Di dunia tiada yang tetap, tiada yang kekal, tiada yang abadi." -Achdiat K. Mihardja
Novel Atheis merupakan karya sastra dari Achdiat K. Mihardja yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1949 tepatnya di Balai Pustaka. Novel Atheis menyajikan drama yang mampu menanyakan kembali sejauh mana keyakinan kita sebagai pembaca. Dengan melihat dari segi sudut pandang sosio-politik dan budaya yang dirasakan dan disampaikan oleh penulis, kita bisa memahami novel ini lebih dalam dengan merasakan atmosfer tokoh-tokoh dan kehidupan di era kolonialisme.
Edward Said dalam teori “postkolonial” menekankan bagaimana wacana kolonial membentuk identitas dan persepsi masyarakat terjajah. Said berargumen bahwa kolonialisme tidak hanya menguasai tanah tetapi juga pikiran dan budaya masyarakat. Dalam konteks ini, novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dapat dianalisis melalui lensa postkolonial untuk memahami bagaimana kolonialisme dan perubahan sosial-politik mempengaruhi identitas dan kepercayaan individu.
Lebih dalam, sudut pandang budaya, politik, dan penulis menjadi acuan untuk melihat bagaimana cerita ini dibawakan. Sudut pandang budaya membantu kita memahami benturan tradisi dan modernitas, sudut pandang politik menyoroti pengaruh kekuasaan asing, dan sudut pandang penulis memberi kita wawasan tentang kompleksitas identitas dan keyakinan. Penasaran bagaimana keyakinan kita diaduk dalam novel ini? Yuk baca tulisan di bawah ini.
Sudut Pandang Budaya
Novel "Atheis" menggambarkan benturan antara nilai-nilai tradisional dan modern yang dialami oleh tokoh utamanya, Hasan. Hasan, yang awalnya merupakan seorang yang taat beragama, mulai meragukan ajaran agamanya setelah berinteraksi dengan teman-temannya yang memiliki pandangan rasional dan modern. Benturan budaya ini mencerminkan dampak kolonialisme yang memperkenalkan nilai-nilai Barat dan menggoyahkan keyakinan lokal. Seperti kutipan berikut yang terdapat dalam novel:
"Hasan mengalami konflik batin yang hebat. Ia mulai meragukan ajaran agama yang selama ini dipegangnya teguh."
Dalam konteks postkolonial, perubahan nilai-nilai budaya ini adalah bagian dari strategi kolonial untuk mengendalikan pikiran masyarakat terjajah. Hasan, sebagai individu, mewakili masyarakat yang berada di persimpangan antara mempertahankan identitas tradisional dan menerima nilai-nilai baru yang datang bersama kolonialisme.
Sudut Pandang Politik
Secara politik, "Atheis" juga mencerminkan ketidakstabilan dan perubahan yang terjadi di Indonesia pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam novel ini berada dalam tekanan kekuasaan asing, yang mengakibatkan perubahan sosial dan politik yang drastis. Pengaruh politik ini terlihat jelas dalam interaksi dan konflik antara tokoh-tokoh dalam novel.
"Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang berkerumun-kerumun di gang-gang dan di ruangan-ruangan yang kami lalui."
Ketidakstabilan politik yang digambarkan dalam novel ini mencerminkan ketidakpastian dan ketegangan yang dihadapi oleh masyarakat pada masa itu. Hasan dan teman-temannya, yang memiliki pandangan politik berbeda, menunjukkan bagaimana kekuasaan kolonial dan perubahan politik mempengaruhi kehidupan pribadi dan kepercayaan mereka. Karena seperti yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya, yaitu
"Di dunia tiada yang tetap, tiada yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah."
Sudut Pandang Pengarang
Sebagai pengarang, Achdiat Karta Mihardja menggunakan novel ini untuk mengeksplorasi krisis identitas dan kepercayaan yang dialami oleh individu di tengah perubahan sosial dan politik. Melalui tokoh Hasan, Mihardja menggambarkan pergulatan batin yang kompleks dan pencarian makna hidup. Penggunaan sudut pandang orang pertama memungkinkan pembaca untuk merasakan langsung emosi dan konflik batin yang dialami oleh tokoh utama. Dalam hal ini, sebagai seorang pengarang, tentunya sangat krusial dalam memahami dan memandang sebuah cerita, Achdiat Karta Mihardja berhasil membawa sudut pandang, dan pemikirannya menjadi sebuah karya yang mampu menembus hati dan pikiran pembacanya.
Melalui narasi yang intim dan personal, Mihardja memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana individu berusaha menemukan jati diri mereka di tengah perubahan yang cepat. Novel ini juga mencerminkan pandangan pengarang tentang ketidakpastian dan kompleksitas kehidupan manusia, serta dampak kolonialisme dan modernitas terhadap identitas dan kepercayaan.
Konklusi
Dengan menggunakan teori postkolonial Edward Said, analisis novel "Atheis" karya Achdiat Karta Mihardja mengungkapkan bagaimana benturan budaya, tekanan politik, dan perspektif pengarang membentuk narasi tentang krisis identitas dan kepercayaan. Novel ini tidak hanya menggambarkan pergulatan batin individu tetapi juga mencerminkan dinamika sosial-politik yang lebih luas pada masa kolonial dan awal kemerdekaan Indonesia. Melalui analisis ini, kita dapat lebih memahami kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam mencari identitas dan makna hidup di tengah perubahan yang mendalam.
Daftar Pustaka
- Mihardja, Achdiat K. (1949). Atheis. Jakarta: Balai Pustaka.
- Said, Edward W. (2010). Orientalisme. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.