Keterkaitan Ilmu Sosiologi Komunikasi dengan Peristiwa G-30 S-PKI
Eduaksi | 2024-07-14 02:48:21Sejarah Gerakan 30 September 1965.
Pada akhir September 1965, Indonesia diguncang oleh peristiwa yang dikenal sebagai G-30 S/PKI. Pada malam tanggal 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok anggota militer yang diduga dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal Angkatan Darat serta beberapa perwira lainnya. Peristiwa ini bertujuan untuk menggulingkan kepemimpinan militer yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi PKI.
Para jenderal yang menjadi korban dalam peristiwa ini adalah:
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani - Menteri/Panglima Angkatan Darat
2. Mayor Jenderal Raden Soeprapto - Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat
3. Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono - Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat
4. Mayor Jenderal Siswondo Parman - Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat
5. Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan - Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo - Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat
Selain itu, beberapa perwira lain juga menjadi korban dalam peristiwa ini, termasuk seorang anak dari Jenderal Abdul Haris Nasution, Ade Irma Suryani Nasution yang tewas tertembak. Juga Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, merupakan Ajudan Jendral Abdul Haris Nasution yang sebenarnya bukan target utama, karena target utamanya adalah Jendral A.H. Nasution, namun tertangkap dan dibunuh karena berada ditempat kejadian yang sama dan menjadi korban salah sasaran.
Sejarah Singkat Jendral Abdul Haris Nasution.
Jenderal Abdul Haris Nasution, sering dikenal sebagai A.H. Nasution, adalah salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Lahir pada 3 Desember 1918, di Kotanopan, Sumatera Utara, Nasution memulai karier militernya pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Ia dikenal sebagai salah satu pemikir militer terkemuka yang menyusun strategi perang gerilya yang digunakan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Sukarno, Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan kemudian sebagai Menteri Pertahanan. Ia dikenal sebagai tokoh yang menentang dominasi PKI dan memiliki pandangan konservatif terhadap peran militer dalam politik. Pada malam G-30 S/PKI, Nasution menjadi salah satu target utama, namun berhasil melarikan diri meskipun putrinya, Ade Irma Suryani, tewas dalam upaya penculikan tersebut.
Setelah peristiwa G-30 S/PKI, Nasution memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan kekuatan anti-komunis dan mendukung Soeharto dalam menghapus pengaruh PKI dari panggung politik Indonesia. Ia kemudian diangkat sebagai Ketua MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan berperan dalam menetapkan Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
30 September 1965 adalah sebuah gerakan yang masih jadi perdebatan hingga hari ini. Banyak pendapat dan kesaksian tentang G30S 1965, yang menyebabkan berbagai versi. Setiap versi biasanya memiliki tokoh penting yang berperan penting dalam gerakan 30 September 1965.
Dalam setiap versi, ada aktor utama yang berbeda. Seperti contohnya dalam versi Soeharto yang menjabat sebagai presiden pada Orde Baru, pemimpin utama G30S 1965 adalah Letkol Untung, yang merupakan salah satu komandan Resimen Cakrabirawa yang bertugas mengawal Presiden Soekarno. Sementara dalam versi TNI/ABRI, pemimpin utama adalah ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu D.N. Aidit. Kejadian ini segera diikuti oleh penyebaran informasi dan propaganda yang berperan penting dalam membentuk narasi publik tentang siapa yang bersalah dan apa yang terjadi sebenarnya.
Dari Perspektif sosiologi komunikasi
kita dapat melihat bagaimana pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto menggunakan media massa untuk menyebarkan cerita bahwa PKI adalah dalang utama pembunuhan tersebut. Opini publik dibentuk secara efektif oleh media cetak, radio, dan juga televisi. Selama proses ini, pesan yang disampaikan tidak hanya bersifat informatif tetapi juga persuasif, dengan tujuan untuk mendorong dukungan luas terhadap tindakan represif yang dilakukan terhadap anggota PKI dan orang-orang yang mendukungnya.
Propaganda anti-PKI yang disebarkan melalui media massa memainkan peran penting dalam membangun dan memperkuat stereotip negatif terhadap komunis. Pesan-pesan ini mengandung elemen yang bertujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kebencian di masyarakat sehingga kekerasan digunakan terhadap mereka yang dituduh sebagai komunis. Analisis komunikasi ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media dalam membentuk persepsi dan sikap sosial serta bagaimana struktur kekuasaan dapat menggunakan media untuk mencapai tujuan politiknya.
Sosiologi komunikasi juga mempelajari bagaimana masyarakat menerima dan menanggapi pesan. Karena keterbatasan akses ke sumber informasi alternatif dan tekanan masyarakat untuk mendukung narasi yang disampaikan pemerintah, banyak masyarakat yang menerima narasi resmi dalam konteks G-30 S/PKI tanpa mempertanyakannya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya literasi media, kemampuan kritis untuk menerima informasi, dan bagaimana kekuatan dapat mengontrol informasi untuk mempertahankan dominasinya.
Dari Peristiwa G-30 S/PKI dan efek komunikasinya memberikan pelajaran penting tentang cara pesan dapat digunakan untuk mempengaruhi tindakan sosial dan opini publik. Analisis sosiologi komunikasi membantu memahami cara propaganda dan informasi menyebar. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya memiliki kesadaran kritis saat menerima dan menganalisis pesan yang disampaikan oleh media. Studi ini juga mengingatkan kita akan peran media dalam membentuk realitas sosial dan politik, serta betapa pentingnya kebebasan informasi dan pluralisme media untuk mendukung demokrasi yang baik.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA, FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
Penulis : Hanifah Ulfa Tri Hidayah
untuk memenuhi UJIAN TENGAH SEMESTER
Dosen pengampu : Istisari Bulan Lageni, S.Sos, M.l.Kom
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.