Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ibnu Tsabit Mustafid

Macam Jenis Pencitraan dan Penggunaan Bahasa Figuratif dalam Cerpen Godlob Karya Danarto

Sastra | 2024-07-05 23:33:52
Dokumen Pribadi, Godlob Karya Danarto

Bahasa merupakan medium sebuah karya sastra yang notabene adalah wahana para sastrawan untuk mencurahkan semua gagasan dan ide menjadi sebuah tulisan. Penggunaan bahasa dalam karya sastra yang tidak terikat dengan kaidah bahasa baku dan formal menjadikan karya sastra sebagai ‘tempat bermain kebahasaan’. Terlepasnya kaidah kebahasaan dari karya sastra memunculkan daya tarik tersendiri yang dapat memberikan kesenangan dalam membaca sehingga penanaman etika dari pengarang untuk pembaca tersampaikan dengan cara yang menyenangkan. Hal tersebut sesuai dengan manfaat karya sastra sebagai bahan bacaan, yaitu “dulce et utile” yang berarti menyenangkan dan bersifat mendidik. Selain itu, konvensi penulisan karya sastra yang tidak mengikuti bahasa baku memunculkan unsur-unsur stile, salah satunya berwujud retorika.

Retorika merupakan pendayagunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2014: 289) membagi unsur stile berwujud retorika menjadi 2 macam, yaitu wujud pencitraan (imagery) dan penggunaan bahasa figuratif (figurative language).

Pencitraan (imagery) adalah ungkapan bahasa tertentu dalam karya sastra yang dapat merangsang indera. Ungkapan bahasa yang ada dalam karya sastra seringkali mengajak pembaca untuk melihat dan mendengar secara imajinatif suatu fenomena yang terjadi dalam karya sastra. Pengungkapan tersebut memberikan gambaran pengalaman untuk indera manusia melalui kata-kata. Dengan demikian, pemahaman pembaca terhadap suasana, alur dan latar cerita semakin meningkat dengan adanya penggunaan citraan. Menurut Nurgiyantoro (2014: 304) macam pencitraan dalam kaya sastra meliputi kelima jenis indera manusia, yaitu citraan penglihatan, pendengaran, gerakan, rabaan dan penciuman. Sedangkan, bahasa figuratif (figurative language) adalah suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa untuk memperoleh hiasan, kejelasan dan sesuatu efek yang lain (Keraf, 2019: 128). Penyimpangan bahasa dalam bahasa figuratif meliputi gaya bahasa retoris, yaitu penyimpangan konstruksi yang bertujuan untuk penekanan dan gaya bahasa kiasan, yaitu penyimpangan dari segi makna.

Danarto sebagai salah satu penulis cerpen 1970-an merupakan salah satu sastrawan yang gemar mengungkapkan situasi cerita dalam karyanya menggunakan pencitraan sehingga memberikan pengalaman membaca yang baik. Selain itu, Danarto dapat memaksimalkan penggunaan gaya bahasa figuratif untuk menggambarkan gagasan dan idenya menjadi untaian kata yang meninggalkan kesan terhadap pembaca. Di dalam cerpen-cerpen karyanya selalu hadir unsur puisi, musik, dan seni lukis sehingga tampak efek puitis, musikal, dan artistik dekoratif.

Citraan dalam Cerpen “godlob” Karya Danarto

Citraan menurut Nurgiyantoro --dalam buku Teori Pengkajian Fiksi-- adalah penggunaan kata-kata dan ungkapan dalam karya sastra yang dapat membangkitkan tanggapan indra. Citraan berperan sebagai pembangun daya imajinasi pembaca agar lebih memperjelas serta memahami suasana, tempat dan alur dari sebuah cerita. Cerpen “godlob” karya Danarto merupakan salah satu cerpen yang didominasi oleh unsur citraan. Namun, yang menonjol adalah citraan penglihatan, citraan gerakan, dan citraan pendengaran. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan cerita berikut:

Cintraan penglihatan

“keadaan gelap gulita, hanya sekali-sekali jauh di sana melayang pistol cahaya, mencuri nyawa yang masih hinggap di badan” (Godlob, 2017: 10)

“gagak-gagak hitam bertebaran dari angkasa, sebagai gumpalan batu yang dilemaparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap gerombolan membuat lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil, tidak karuan sebagai benang kusut” (Godlob, 2017: 6)

“orang itu bangkit dan seandainya ada cahaya yang menerangi wajahnya, akan tampak betapa tegang urat-uratnya dan menyeringai merah” (Godlob, 2017: 7)

“kita semua kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada sesuatupun yang kudapatkan!” (Godlob, 2017: 8)

Pada beberapa penggalan cerita di atas, pengarang menggunakan kata gelap gulita, hitam, cahaya dan beberapa kata yang mempunyai hubungan dengan indra penglihatan. Penggunaan citraan penglihatan di atas serta teks narasi yang mengandung perincian memberikan efek visual pengambaran cerita di imajinasi pembaca sehingga pembaca dapat dengan mudah membayangkan suasana, alur, latar cerita.

Citraan gerakan

“laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga loncat kesana, loncat kesini, loncat kemari, dari bangkai atau mayat satu ke gumpalan daging yang lain” (Godlob, 2017: 6)

“tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya.... “ (Godlob, 2017: 9)

“....gerombolan gagak-gagak yang sedang berpesta itu, gerombolan itu sejenak bubar dan berjingkat-jingkat untuk kemudian datang mengerumuni maat itu lagi”

Pada beberapa penggalan cerita di atas, pengarang menggunakan kata loncar, cabut untuk pendayagunaan citra gerakan. Citra gerakan merangsang pembaca untuk mengimajinasikan aktivitas tokoh selama cerita berlangsung atau cerpen sedang dibaca.

Citraan Pendengaran

“perahu-perahu mandeg dan kanda pada dasar sungainya dan bayi menangis karena habis susu ibu” (Godlob, 2017: 6)

“Kau kira! Kau kira!” ia memukul seekor yang hinggap di kepala anak muda yang berdarah itu. Kau kira kami bangkai?: tetapi pukulan melesat dan mengenai kaleng hingga benderamg terpelanting jauh dan burung itu terbang tertawa (Godlob, 2017: 8)

“sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pingkal (Godlob, 2017: 8)

“tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya.... “ (Godlob, 2017: 9)

Pada beberapa penggalan cerita di atas, pengarang menggunakan kata menangis, tertawa, menggelegar bunyinya. Penggunaan citra pendengaran dapat merangsang emosional dari pembaca serta membantu pembaca untuk lebih meresapi suasana dalam sebuah cerita.

Citra Penciuman

bau busuk, anyir, menegang-negang seluruh padang gundul itu, hingga udara siang hari ingar bingar oleh daging-daging yang menguap.” (Godlob, 2017: 6)

“dan gagak-gagak itu bubar dan berkerumunan kembali. Lalu ganti berganti: bau busuk-kerbau gontai, bau busuk- sore redup, bau busup-derap gerobak, bau busuk kaok gagak” (Godlob, 2017: 7)

Pada citra penciuman, pengarang beberapa kali menggunakan kata bau, busuk, anyir untuk merangsang indera penciuman pembaca secara imajinasi.

Majas dalam Cerpen “godlob” Karya Danarto

Majas menurut Nurgiyantoro (2014: 297) adalah teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Majas dapat dipahami sebagai gaya bahasa yang memanfaatkan bahasa kias. Cerpen “godlob” karya Danarto merupakan salah satu cerpen yang sarat dengan penggunaan majas.

“gagak-gagak hitam bertebaran dari angkasa, sebagai gumpalan batu yang dilemaparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap gerombolan membuat lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil, tidak karuan sebagai benang kusut, laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga loncat kesana, loncat kesini, loncat kemari, dari bangkai atau mayat satu ke gumpalan daging yang lain” (Godlob, 2017: 6)

“matahari makin condong, bagai gumpalan emas raksasa yang bagus membara menggantung di awang-awang... “ (Godlob, 2017: 5)

“Kalau angin bertiup kencang, maka bau itu terbang ke mana-mana jauh dan jauh sekali, seolah kabar buruk yang diwartakan kepada tiap hidung, untuk dirasakan bersama bahwa perang itu busuk” (Godlob 2017: 7)

Penggalan cerita di atas menunjukkan penggunaan majas simile atau gaya bahasa perbandingan secara eksplisit. Pada penggalan pertama, pengarang menggunakan kata “sebagai” untuk membandingkan gagak-gagak dengan gumpalan batu, karena gagak dan batu mempunyai persamaan, yaitu berkumpul dan menggumpal. Selain itu, pengarang menggunakan kata “laksana” untuk membandingkan gagak dengan setan maut.

Pengarang secara eksplisit menyamakan gagak-gagak yang memakan daging-daging mayat prajurit gugur dengan setan maut. Pada penggalan cerita berikutnya, pengarang menggunakan kata “bagai” untuk membandingkan matahari dengan gumpalan emas, karena matahari dan gumpalan emas mempunyai kesamaan, yaitu berwarna emas. Selain itu, pengarang juga berusaha menginformasikan kepada pembaca tentang latar waktu kejadian dalam cerita, yaitu sore hari. Pada penggalan cerita berikutnya, pengarang menggunakan kata “seolah” untuk membandingkan bau busuk dengan kabar buruk. Bau busuk yang berasal dari jasad korban perang yang tertiup angin merupakan berita buruk karena sudah terjadi kematian.

Dari keempat majas simile tersebut, terlihat bahwa pengarang lebih sering menggunakan majas simile jenis tertutup karena setelah penggunaan kata banding pengarang selalu mengikutkan perincian persamaan sifatnya untuk memberikan pengalaman membaca terbaik kepada para pembacanya.

Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa mengatakan bahwa simile yang mengandung perincian merupakan simile jenis tertutup, sedangkan simile yang tidak mengandung perincian merupakan simile terbuka. Selain simile, cerpen “godlob” terdapat penggunaan majas metafora. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggalan cerita berikut:

“Tetapi prajurit adalah prajurit, ia tabah akan semua perintah, walaupun bagaimana bentuk dan beratnya, dan perang itupun berjalan lancar dan memuaskan dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu pembunuhan berpuluh-puluh ribu manusia sebagai babadan alang-alang. Ya, manusia adalah alang-alang (Godlob 2017: 7)

Penggalan cerita di atas menunjukkan penggunaan majas metafora. Pengarang secara langsung membandingkan dua hal, yaitu manusia dan rumput alang-alang. Kata manusia menjadi hal yang dibandingkan, sedangkan kata alang-alang menjadi pembandingnya. Rumput alang-alang biasanya tumbuh berhimbun dalam jumlah yang banyak, oleh karena itu kata alang-alang dikiaskan untuk menggambarkan betapa banyaknya jumlah korban yang terbunuh akibat peperangan.

“Kau kira! Kau kira!” ia memukul seekor yang hinggap di kepala anak muda yang berdarah itu. Kau kira kami bangkai?: tetapi pukulan melesat dan mengenai kaleng hingga benderamg terpelanting jauh dan burung itu terbang tertawa(Godlob, 2017: 8)

“Hari berikutnya sehabis penguburan, matahari mencambuk-cambuk kulitku(Godlob, 2017: 15)

Penggalan di atas menunjukkan adanya penggunaan majas personifikasi. Penggalan pertama menggambarkan seekor burung tertawa. Burung yang notabene adalah hewan seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan, yaitu tertawa. Sama halnya seperti majas simile dan metafora, personifikasi mengandung unsur kesamaan antara hal yang dibandingkan dengan pembandingnya (Keraf, 2019: 140).

Dalam hal ini, penggunaan majas tersebut merupakan usaha pengarang untuk menampilkan suasana hati tokoh “ia” yang kesal karena rekannya yang bercucuran darah dihinggapi burung gagak. tokoh “ia” yang mengirim pukulan dengan mudah dihindari burung, alih-alih malah mengenai kaleng. Tawa dari burung merupakan penggambaran suasana lucu karena pukulan tokoh “ia” yang melesat.

Pada penggalan berikutnya, penggunaan majas personifikasi ditandai oleh frasa “matahari mencambuk-cambuk kulitku”. Matahari dalam penggalan cerita tersebut digambarkan seperti manusia karena dapat mencambuk-cambuk kulit tokoh aku. Penggunaan kata “mencambuk-cambuki” jika dianalisis makna gramatikalnya mempunyai kesamaan secara konotasi dengan keadaan. Mencabuki merujuk pada pengertian memperlakukan secara keras (KBBI). Oleh karena itu, penggunaan majas personifikasi dalam penggalan cerita ini menggambarkan keadaan tokoh aku yang sedang berada di bawah terik matahari yang sangat menyengat.

ibu pertiwi membopong pahlawannya. Bukan begitu? Kenapa tidak demikian? Tampaknya suatu pemandangan mengerikan” (Godlob, 2017: 16)

Penggunaan majas alusi pada penggalan cerita di atas ditandai oleh frasa “ibu pertiwi membopong pahlawannya”. Kata ibu pertiwi merujuk pada ibu kandung dari tokoh “pahlawan”. Ibu pertiwi merupakan kata majemuk yang mempunyai makna tanah tumpah darah atau tanah air. Pengarang berusaha mensugestikan kesamaan antara ibu pertiwi dan ibu kandung. Keduanya sama-sama tempat kelahiran seorang manusia. Ibu pertiwi mengacu pada letak geografis kelahiran seseorang atau tanah air, sedangkan ibu kandung adalah orang yang mengandung serta melahirkan seorang insan.

Dalam cerpen “godlob”, penggunaan majas yang paling dominan adalah metafora, personifikasi dan simile. Majas selainnya sempat ditampilkan beberapa kali, seperti majas sinisme dan sarkasme.

pengkhianat!” teriak pembesar bersama-sama. “menurut hukum bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain pengkhianat atau pahlawan?.....” (Godlob, 2017: 17)

“apa yang bisa aku harapkan sekarang?” kata pembesar bersama-sama. “apa yang bisa aku harapkan dari kalian?”. Lalu laki-laki itu memandang sekeliling, menata wajah demi wajah: “kalian orang-orang kecil, sekali-kali boleh pergi ke garis perang. Hingga kita bisa juga bicara tentang perang.” (Godlob, 2017: 17)

Penggalan cerita pertama menunjukkan penggunaan gaya bahasa sarkasme, karena penggunan kata “pengkhianat” mengandung kepahitan. Sesuai dengan definisi dari sarkasme, yaitu “suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan getir” (Keraf, 2019: 143). Penggunaan kata pengkhianat ditujukan kepada tokoh bapak yang membunuh anaknya pasca perang selesai. Tokoh bapak mengajukan permohonan agar anaknya disemayamkan serta dianugerahi gelar pahlawan. Namun, keinginannya tidak terwujud karena istrinya melaporkan pembunuhan tersebut. Pada penggalan cerita selanjutnya, pengarang mendayagunakan majas sinisme. majas tersebut ditandai dengan penggunaan frasa “orang-orang kecil”. Orang-orang kecil dalam cerpen tersebut merujuk pada rakyat jelata. Pembesar dalam cerpen tersebut merupakan penjabat bangku pemerintahan, sedangan ora-orang kecil adalah rakyat sipil yang tidak tahu-menahu persoalan kekuasaan. Selain majas kiasan, Danarto menyelipkan gaya bahasa retoris ke dalam cerpennya.

Kau lihat di sana, katedral telah disapu habis rata dengan tanah dan sekarang ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana, Masjid digerayangi cacing dan ulat-ulat. Kau lihat di sana, perawan-perawan telah disekap di kamar-kamar. Kau lihat di sana, kursi-kursi pemerintahan sudah digadaikan.” (Godlob, 2017: 12-13)

Penggalan cerita di atas menunjukkan adanya penggunaan majas repetisi, yaitu pengulangan frasa “kau lihat di sana”. Tokoh ayah berusaha meyakinkan anaknya bahwa politikus yang haus kekuasaan menjadi penyebab atas peperangan yang terjadi.

“Oh, bunga penyebar bangkai

Di sana, di sana pahlawanku tumbuh mewangi” (Godlob, 2017: 14)

Syair di atas merupakan syair karangan tokoh ayah. Penggunaan repetisi seakan-seakan mencoba untuk meyakinkan anaknya bahwa pahlawan hanya lahir dan harum namanya di medan peperangan. Selain repetisi, terdapat penggunaan majas retoris eufemisme.

“Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibatkan puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur” (Godlob, 2017: 11)

Penggalan cerita di atas terdapat penggunaan majas eufemisme, yaitu pada frasa “setetes yang tidak beres”. Frasa tersebut merujuk pada ketidakberesan kalangan atas yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan tanpa memikirkan risiko. Untuk memperluas serta memperkuat kekuasaan, mereka rela menumbalkan ribuan orang-orang kecil. Penggunaan eufemisme bertujuan untuk mengungkapkan sesuatu menggunakan diksi yang halus agar tidak dirasa menghina atau mencaci.

Dari penjelasan di atas penggunaan citraan dan bahasa figuratif dalam cerpen “godlob” karya danarto dapat disimpulkan bahwa Danarto menggunakan pencitraan dan majas dalam cerpennya. Pencitraan yang dominan digunakan pengarang diantaranya adalah citra penglihatan, pendengaran dan gerakan, sedangkan gaya bahasa atau majas yang digunakan diantaranya simile, metafora, pesonifikasi, alusi, sinisme, repetisi, eufemisme dan sarkasme. Secara umum, fungsi citraan yang digunakan Danarto dalam cerpennya bertujuan agar merangsang daya imajinasi sehingga pembaca lebih paham sekaligus meresapi suasana dan alur cerita, sedangkan fungsi majas yang digunakan Danarto dalam cerpennya bertujuan untuk menimbulkan efek estetis, mengonkretkan sesuatu yang abstrak serta pengintensifan makna.

Nurgiyantoro, B. (2014). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Keraf, Gorys. (2019). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image