Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adinda Destiana Aisyah

Menelusuri Gaya Bunyi dan Gaya Bahasa pada Puisi Karya Teguh Esha

Sastra | 2024-07-05 08:30:43

Kita kerap tidak menyadari bahwa puisi-puisi para sastrawan memiliki gaya bahasa atau bunyi yang berbeda-beda, jika tidak mencoba untuk menghayati dan mendalaminya. Setiap pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri dalam membuat puisi, hal ini berkaitan dengan kekhasan dan keunikan pengarang tersebut. Kekhasan gaya bahasa atau bunyi yang digunakan pengarang dapat dipengaruhi oleh latar belakang hidup pengarang, lingkungan sosial, atau profesinya. Oleh karena itu, setiap puisi memiliki keunikan tersendiri, walaupun membahas perihal tema atau gagasan yang sama.

Inspirasi Gambar Buku (Unsplash.com)

Pada suatu kesempatan Fikar W. Eda membacakan dua puisi milik Teguh Esha yang diiringi dengan permainan cello Yasin Burhan. Pembacaan puisi ini dapat dinikmati melalui kanal Youtube Universitas Jalanan. Teguh Esha merupakan seorang sastrawan yang aktif membuat karya sastra dalam bentuk puisi maupun novel. Karya-karyanya khas dengan konsep sastra-jurnalistik, yaitu di dalamnya terdapat fakta yang dikemas dalam bentuk fiksi.

Teguh Esha memiliki latar belakang kehidupan yang berat, tetapi dari pengalaman tersebut ia memiliki banyak pelajaran terutama terkait agama dan moral. Oleh karena itu, karya-karyanya dominan dengan nilai agama dan moral. Gaya bahasa yang digunakan dalam karyanya memiliki kesan yang kuat, orisinil, penuh dengan fakta kehidupan golongan muda metropolitan, kiasannya tajam, komposisi bunyi yang kuat, lugas, serta ekspresionis.

Fikar W. Eda berhasil membacakan puisi Teguh Esha dengan sangat apik dan penuh penghayatan. Bagian bunyi-bunyi penting diberi penegasan dengan suara yang lantang dan penuh kekuatan. Ekspresi yang tercermin sebagai proses atau kegiatan dalam perwujudan gagasan dalam puisi tersebut, berhasil disampaikan oleh Fikar W. Eda dengan ekspresi dari wajahnya. Bunyi penting dalam puisi Kepada Kawan-Kawan di Jalan Keheningan diserukan dengan semangat perjuangan menuntun kebangkitan dari keterpurukan. Seperti pada baris “Ayolah kita bangkit sekarang” yang diserukan dengan sangat lantang.

Puisi Kepada Kawan-Kawan di Jalan Keheningan karya Teguh Esha merupakan puisi yang sarat dengan gaya bahasa dan bunyi khas pengarangnya. Mulai dari bunyi yang khas terlihat dari pilihan fonem yang digunakan, hingga gaya bahasa atau majas untuk menyampaikan maksud di dalamnya.

Gaya bunyi pada puisi Kepada Kawan-Kawan di Jalan Keheningan dominan dalam bentuk asonansi a-a dan aliterasi k-k dan n-n. Hal tersebut terlihat pada kalimat puisi “Kepada kawan-kawan di jalan keheningan”, “Beratapa di pembuangan simpan dendam pembungkaman”, Dan sajak sajak paling tajam, “Kita sastrawan sastrawan pejuang kawan kawan”. Kalimat pada puisi tersebut dominan dengan asonansi a-a dan aliterasi k-k atau n-n. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal dalam baris sajak atau puisi, sedangkan Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan dalam baris puisi. Jadi, gaya bunyi pada puisi Teguh Esha tersebut erat dengan bunyi asonansi a-a dan aliterasi bentuk k-k atau n-n.

Selain gaya bunyi asonansi dan aliterasi, puisi tersebut juga memiliki bentuk gaya bunyi pada sajak awal. Gaya bunyi sajak awal yang terdapat pada puisi Kepada Kawan-Kawan di Jalan Kenangan terdapat pada kalimat; Berdoa di tepi tepi kesedihan, Bersajak tentang segala pengharapan. Sajak awal merupakan bentuk gaya bunyi yang ditujukan agar lebih berirama, dan biasanya terletak pada awal baris-baris sajak atau puisi. Pada baris puisi tersebut memiliki sajak awal berdoa—bersajak. Jadi, gaya bunyi pada puisi Tegus Esha tersebut juga dalam bentuk sajak awal.

Gaya bunyi lain yang terdapat pada puisi Kepada Kawan-Kawan di Jalan Kenangan yaitu metafora bunyi. Metafora bunyi merupakan bentuk bunyi kiasan yang sesungguhnya. Pada puisi tersebut terdapat pada kalimat; “Kita teriakkan lagi pekik pekik peperangan”. Kiasan bunyi peperangan dengan bunyi pekik-pekik merupakan pilihan gaya yang digunakan oleh penyair.

Puisi Teguh Esha tersebut tidak hanya khas dengan gaya bunyi yang sudah dijelaskan di atas, tetapi gaya bahasa dan majas yang sarat akan makna yang dalam. Adapun bentuk gaya bahasa atau majas yang pertama adalah Alusi yang terdapat pada kalimat; “Mereka lelang tanah, air, angkasa, dan segala sumber kekayaan dari Merauke di Papua sampai ke Sabang negeri Aceh Darussalam.” Alusi sendiri merupakan bentuk gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu peristiwa berdasarkan praanggapan pada suatu pengetahuan.

Selain bentuk Alusi, ada pula bentuk gaya bahasa personifikasi. Gaya bahasa tersebut terdapat pada kalimat; “Kita tulis lagi prosa prosa paling garang”. Personifikasi merupakan gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang tidak bernyawa atau ide abstrak. Pada puisi tersebut, sifat insani garang atau lebih dikenal galak dilekatkan pada prosa suatu hal yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, baris puisi di atas berisikan gaya bahasa personifikasi.

Bentuk gaya bahasa lain pada puisi Kepada Kawan-Kawan di Jalan Kenangan adalah repetisi. Gaya bahasa repetisi merupakan bentuk pengulangan pada kata, frasa, atau klausa yang sama dalam suatu kalimat sebagai berikut.

Kita gelorakan lagi semangat para patriot yang hanya meratapi segala kekalahan

Kita sastrawan sastrawan pejuang kawan kawan

Kita didepan

Kita susun lagi barisan rakyat yang lama dihinakan

Kita tunjuki mereka arah kebenaran

Kita nyatakan keadilan untuk semua orang

Bentuk gaya bahasa repetisi yang terdapat pada puisi tersebut adalah pada kata “kita” dimana kata tersebut diulang pada baris selanjutnya. Repetisi kata “kita” sangat dominan dalam puisi tersebut, sehingga menjadi kekhasan lainnya.

Gaya bahasa atau majas yang khas dari puisi tersebut adalah satire. Gaya bahasa satire merupakan pertentangan berisi ungkapan atau sindiran dengan tujuan untuk mentertawakan atau menolak sesuatu. Gaya bahasa tersebut terdapat pada kalimat; “Pembangunan mereka hanya hayalan penuh kepalsuan”, “Kegagalan mereka berserakan direruntuhan peradaban”, “Kita serang segala persekongkolan gelap”.

Berdasarkan pemaparan mengenai gaya bahasa dan bunyi di atas, dapat terlihat bahwa gaya bunyi yang digunakan pada puisi tersebut memiliki komposisi yang kuat sehingga mampu memberikan irama dan nilai estetika. Gaya bunyi merupakan bagian dari gaya bahasa yang memberikan kiasan tajam, lugas, dan mampu menggambarkan ekspresi dalam memperjelas makna suatu karya. Puisi karya Teguh Esha tersebut sarat dengan nilai kehidupan secara realistis yang dikemas dalam sastra. Oleh karena itu tidak heran jika ia dikenal luas oleh masyarakat karena condong pada aspek metropolitan. (*)

*Adinda Destiana Aisyah, seorang penulis dan mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image