Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image azkia ramadan

Mengupas Tuntas Perjodohan Kawin Paksa Roman Siti Nurbaya Kasih Tak sampai

Dunia sastra | Tuesday, 02 Jul 2024, 22:33 WIB
Pixabay " />
Sumber : Pixabay

Sejarah sastra Indonesia, sastra sebagai unsur budaya telah terbukti senantiasa selalu hidup dan dihayati oleh para seniman (pengarang), kemudian dituangkan dalam wujud baru yang sesuai dengan tuntutan zaman, norma, dan ukuran manusia sezaman (Teeuw, 1982:32).

Secara historis, karya sastra dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru (modern). Pada sastra modern sekarang ini sudah mendapat pengaruh budaya Barat. Dapat dikatakan bahwa lahirnya sastra modern adalah ketika mulai terjadi perubahan penggunaan media yang digunakan yaitu dari media lisan yang bersifat kuno atau turun-temurun menjadi penggunaan media tulis yang lebih modern. Karya sastra modern muncul dalam beberapa bentuk yaitu Roman, Cerita Pendek, puisi, dan novel.

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang di idealkan, dunia imajinasi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh/penokohan, latar, sudut pandang, dan lain lain. yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinasi (Nurgiyantoro,1995:4).

Sebagai salah satu bentuk seni yang mengandalkan kreativitas dan imajinasi pengarang dengan menggunakan bahasa yang indah, karya sastra tidak hanya merujuk pada bentuknya, tetapi juga pada keindahan isinya yang berkaitan dengan emosi, imajinasi, kreasi, dan ide-ide yang menarik. Karya sastra dianggap baik jika isinya bermanfaat, dan penyampaiannya yang indah. Karya sastra merupakan suatu hasil cipta sastrawan yang dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra yang diciptakan oleh pengarang sesuai pengalaman yang pernah dialaminya sendiri atau pengalaman yang dialami oleh orang lain sehingga mendapatkan gambaran atau ide yang dijadikan sebagai sebuah karya sastra.

Roman “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli sangat menarik untuk dibaca dan memberi kita pemahaman baru tentang kehidupan, Roman ini mengangkat kisah cinta yang indahnamun kandas seperti yang tertulis dalam subjudul (Kasih tak Sampai) rasa nasionalisme, dan perjuangan untuk nilai-nilai kemanusiaan.

Penulis menganalisis unsur -unsur instrinsik maupun ekstrinsik yang membangun karya sastra khususnya Roman yang berjudul Siti Nurbaya karya Marah Rusli

1. Tema

Roman Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) Karya Marah Rusli merupakan salah satu karya sastra yang digolongkan sebagai mahakarya sepanjang masa oleh Balai Pustaka. Roman ini mengedepankan kisah cinta Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang kandas karena persoalan ekonomi. Marah Rusli dalam Roman ini juga mengedepankan sosok tokoh Datuk Maringgih sebagai salah satu tokoh sentral pemicu konflik dalam Romannya. Juga mengangkat ketidakadilan sosial cerita ini juga menggambarkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Datuk Maringgih, sebagai representasi dari kekuasaan dan kekayaaan, menggunakan posisinya untuk menindas orang-orang yang kurang mampu seperti keluarga Siti Nurbaya. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dan uang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Menyoroti peran gender dalam masyarakat Minangkabau pada masa itu, perempuan digambarkan sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh kepada keputusan keluarga tanpa mempertimbangkan keinginan dan kebahagiaan mereka sendiri. Sikap kepatuhan Siti Nurbaya juga menunjukkan keberanian dalam ketidakadilan.

2. Tokoh/Penokohan

A. Siti Nurbaya (Tokoh Protagonis) Anak dari Baginda Sulaeman (saudagar kaya di Padang),

Seorang gadis yang dapat dikatakan sempurna, karena bukan rupanya saja yang cantik, tetapi kelakuan, adab, dan sopan santunnya, serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan parasnya. Ia juga cerdik dan pandai, sebab itu ia disukai dan disayangi oleh teman-temannya. Ia adalah seorang gadis yang setia mencintai Samsul Bahri dengan tulus, saat Siti Nurbaya harus terpaksa menikah dengan Datuk Meringgih, hatinya sangat terluka karena harus meninggalkan Samsul Bahri yang sudah menjadi kekasihnya saat itu.

"Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!"

Siti Nurbaya rela berkorban karena ia tidak mau ayahnya masuk penjara ia rela menikah dengan Datuk Maringgih.

Bagaimana reaksi Sitti Nurbaya ketika Datuk Meringgih berkata “Engkaulah yang membunuh ayahmu.” Di saat Sitti Nurbaya sedang berduka cita atas kematian ayahnya? Tentu saja Sitti Nurbaya marah dan langsung mengusir Datuk Meringgih dari rumahnya dan ingin segera menceraikannya.

“Apa katamu?” kata Nurbaya, “Aku membunuh ayahku, celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada tahu, perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku? Engkaulah yang menjatuhkan dia, karena dengki khianatmu dan busuk hatimu.”

“ Aku dahulu menurut kehendakmu, karena hendak membela ayahku, supaya jangan sampai engkau penjarakan dia. Sekarang ayahku tak ada lagi, putus pula sekalian tali yang mengikatkan aku kepadamu. Janganlah engkau harap, aku akan kembali kepadamu.”

Kalimat di atas menunjukan bahwa pengarang menggambarkan watak Siti Nurbaya menggunakan teknik dramatik dengan teknik reaksi tokoh.

Siti Nurbaya marah karena Datuk Meringgih menyalahkan dirinya yang telah membunuh ayahnya sendiri dari sini kita bisa mengetahui bahwa dibalik lembutnya hati Sitti Nurbaya, Ia juga akan marah saat dituduh hal yang tidak benar. Sitti Nurbaya tidak segan-segan ingin menceraikan Datuk Meringgih dan mengusirnya karena sudah tidak tahan lagi dengan perbuatan Datuk Meringgih yang keji.

B. Samsul Bahri (Tokoh Protagonis): Anak Sultan Mahmud Syah (penghulu di Padang)

Wataknya orangnya pandai, tingkah lakunya sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setia kawan. Halus bahasanya, walaupun ia rupanya sebagai seorang anak yang lemah-lembut, akan tetapi jika perlu, ia tidaklah takut menguji kekuatan dan keberaniannya dengan siapa saja lebih-lebih untuk membela yang lemah. Namun, seiring jalannya cerita saat Samsul Bahri berpangkat menjadi Letnan, ia berubah menjadi tokoh yang antagonis, seorang pengkhianat bangsa yang justru memerangi bangsa sendiri selagi berjuang melawan penindasan penjajah.

C. Datuk Meringgih (Tokoh Antagonis)

Seorang laki-laki yang berwatak kikir, licik, penghasut, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, selalu memaksakan kehendaknya sendiri, pangkat dan kepandaian pun tak ada, selain dari pada kepandaian berdagang. Datuk meringgih juga termasuk tokoh berkembang karena Datuk Meringgih mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan di awal memang tokoh ini termasuk tokoh antagonis tetapi di akhir cerita Datuk Meringgih mengalami perubahan perwatakan menjadi tokoh protagonis. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut

“Setelah hadir sekalian, mulailah Datuk Meringgih membuka bicara. ‘Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik kakak, sanak saudara sekalian, mala mini berkumpul di sini, ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan dipikulkan kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang belasting.”

“ Jadi, aturan ini dibuat - buat saja oleh orang Belanda, untuk memeras kita, supaya sekering-keringnya.

Kutipan tersebut menunjukan bahwa sebenarnya Datuk Meringgih adalah pelopor atau dalang terhadap pemberontokan perkara Belasting di Padang, kutipan di atas menunjukan bahwa Datuk Meringgih mengingatkan bahwa aturan itu sebenarnya tidak layak untuk dipatuhi karena aturan itu hanya dibuat-buat Belanda saja.

D. Sultan Mahmud Syah (Ayah Samsul Bahri) : Memiliki sifat yang bijaksana, baik dalam bertingkah laku

E. Baginda Sulaiman : Pasrah dengan keadaan

“Biarlah harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula duka citamu.”

Baginda Sulaiman juga sangat menyayangi anaknya (Siti Nurbaya)

“Itulah yang menjadi alangan padaku itulah yang menggoda pikiranku. Bila aku tak ada dalam dunia ini, menjadilah Nurbaya seorang anak yatim piatu, yang tidak beribu-bapa dan sunyi pula daripada segala sanak saudara kaum keluarga. Bagaimanakah halnya kelak, sepeninggalku; sebatangkara di atas dunia ini? Siapakah yang akan menolongnya dalam segala kesusahannya, dan siapakah yang akan menunjuk mengajarnya dalam kesalahannya? Karena maklumlah engkau, umurnya baru setahun jagung belum tahu hidup sendiri, belum tahu kejahatan dunia dan belum merasai azab sengsara yang sebenar-benarnya.”

F. Rukiah : Mempunyai sifat pemalu dan penurut “Mendengar pertanyaan sedemikian, terdiamlah Rukiah, lalu tunduk kemalu-maluan”

G. Putri Rubiah : memiliki sifat Dengki, bengis, kasar

“Pada air mukanya yang agak berlainan dengan wajah muka Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik, yaitu dengki dan bengis.”

Penuh Perhatian

“Baiklah, tetapi hati-hati menjaga diri! Pangkat dapat dicari, tetapi nyawa tak dapat disambung dan bawalah keris pusaka Ayah itu besar tuahnya.”

H. Alimah (sepupu Sitti Nurbaya)

Ia terkesan penyayang dan penuh kasih sayang terhadap saudara sepupunya yang tak putus dirundung malang. Selain perhatiannya yang besar terhadap Sitti Nurbaya, ia pun terkesan sebagai sosok yang teguh dalam memegang prinsip hidup. Ialah penentang adat berpoligami yang dianut masyarakatnya. Ketulusan kasih sayang Alimah terhadap Sitti Nurbaya terungkap pada pernyataan Alimah berikut ini.

“Atas pekerjaanku ini, tak perlu kau minta terima kasih, sebab aku berbuat demikian, bukan karena berharap barang sesuatu daripadamu sebagai pembalasan, tetapi semata-mata sebab aku sangat kasih dan sayang kepadamu. Maklumlah, aku ini sebagai engkau pula, tiada bersaudara, melainkan hidup manunggal diri. Oleh sebab itu pada perasaanku, engkaulah adikku dunia akhirat, tempat aku berganung, tempat aku melindungkan diri dan menyerahkan nasibku, yang jauh dripada baik ini. Tambahan pula, seharusnyalah aku membantu engkau dalam segala halmu. Jika tiada aku, siapa lagi?”

“Sekarang peluklah aku dan misalkan aku Samsu serta mimpikanlah ia!”

3. Latar

a. Latar Tempat : pekarangan rumah Sam

‘Setelah itu bendi yang membawa kedua anak muda ini, masuk ke dalam pekarangan rumah si Sam, yang letaknya di sebelah rumah yang dimasuki anak perempuan tadi’

di atas Gunung Padang

‘Memang pemandangan di atas Gunung Panjang sangat elok, karena dari sana, nyata kelihatan pertemuan daratan dengan lautan sebagai garis putih yang terbentang dari kaki Gunung Padang arah ke Utara, melalui jalan yang berbelok-belok’

di kediaman rumah Datuk Meringgih

‘Sebuah meja marmer kecil, yang batunya telah kuning serta berlubang-lubang terletak dekat dinding, diapit oleh dua buah kursi kayuyang tempat duduknya dari kulit kambing, sedang dilantai terhampar tikar rotan yang telah tua. Itulah rumah Datuk Meringgih, saudagar yang termahsyur di Padang’

Pelabuhan Tanjung Periuk

‘Pukul tujuh pagi diangkatlah jangkar dan berlayarlah kapal itu menuju pelabuhan Tanjung Periuk’

di rumah saudara sepupunya Sitti Alimah

‘Tetapi pertanyaan ini tiada dapat disahuti oleh Sitti Nurbaya, yang sedang menangis, menyadari untungnya di rumah saudara sepupunya Sitti Alimah, di kampung belantung.’

di teluk Bayur

‘Pada sebuah kedai yang ada di Teluk Bayur, kelihatan seorang laki-laki tua, sebenta-sebentar mengintip keluar lalu mengintip kesana-sini sebagai takut memperlihatkan takut dirinya.’

b. Latar Waktu:

‘Pada petang hari Ahad, tatkala samsu dengan sahabatnya pergi berjalan-jalan ke Gunung Padang’

Nilai-nilai yang terkandung dalam roman Siti Nurbaya meliputi:

A. Religius

“Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan dengan tawakkal dan menyerah.”

Baginda Sulaiman sedang membujuk anaknya Sitti Nurbaya agar tak bersedih hati.

Kutipan ini menunjukkan nilai karakter religius, sebab dari kutipan kalimatnya Baginda sulaiman mengajak Nurbaya untuk berserah diri dan bertawakal menerima segala azab sengsara yang menimpa hidupnya. Serta menyerah dalam artian menyerahkan segala apa yang akan terjadi dalam dirinya kepada Allah SWT.

“engkau maklum Samsu, perkawinannya itu tiada dengan sesuka hatinya dan tidak dengan sesuka hatiku, melainkan semata- mata karena takdir daripada Tuhan yang Maha Esa juga, tak dapat diubah lagi”. Baginda Sulaiman sedang menceritakan musibah yang menimpah Sitti Nurbaya Kepada Samsul Bahri.

B. Jujur

“Engku muda janganlah marah! Bukannya sengaja hamba terlambat. Sebagai biasa, setengah satu telah hamba pasang bendi ini, untuk menjemput engku muda. Tetapi engku penghulu menyuruh hamba pergi sebentar menjemput engkau Datuk Maringgih, karena ada sesuatu yang hendak dibicarakan” Kusir Ali menjelaskan alasan keterlambatannya menjemput Tuannya yakni Samsulbahri.

C. Kerja Keras

“kedua bujang ini bekerjalah menurut perintah tuannya yang muda itu. Setelah pekerjaan diserambi muka, masuklah Samsu ke ruang tengah, lalu menyuruh mengatur meja panjang dua buah, dengan beberapa kursi makan.”

Kedua bujang yang bekerja dengan gigih membantu tuannya mempersiapkan segala kebutuhannya.

“Baiklah, jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu bertempiklah kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada musuh yang ada dimuka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang musuh di muka undur ke kiri dan ke kanan.”

Samsul Bahri sedang mengatur siasat dengan serdadu-sedadunya untuk mengalahkan lawannya.

D. Rasa ingin tahu

“O, ya Sam. Tadi aku diberi hitungan oleh Nyonya Van Der Stier, tentang perjalanan jarum pendek dan jarum panjang pada suatu jam. Dua tiga kali kucari hitungan itu, sampai pusing kepalaku rasanya, tak dapat juga. Bagaimanakah jalannya hitungan yang sedemikian?”

Tokoh Nurbaya menanyakan pelajaran yang tidak diketahuinya kepada temannya Samsul Bahri.

E. Nilai Nasionalisme

Dimunculkan dalam roman tersebut saat Datuk Maringgih dengan kesatria melawan Samsul Bahri yang sudah bergabung tentara Belanda dan ingin menguasai wilayah Indonesia, Datuk Maringgih dengan segenap jiwa, raga, dan hartanya membela negaranya melawan penjajah, sebaliknya tokoh Samsul Bahri yang kerana sakit hati, patah hati terhadap istri Datuk Maringgih yaitu Siti Nurbaya merasa emosi dan salah langkah sehingga mendukung musuh / penjajah, dan rela melawan bangsanya sendiri

F. Nilai budaya

Roman Siti Nurbaya mengangkat nilai budaya yaitu kawin paksa antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringih, di mana budaya itu masih sangat lekat di masyarakat Minangkabau pada masa itu karena faktor orang tua yang bangkrut, kelilit hutang, terhimpit ekomoni sehingga rela menjual anaknya untuk melunasi semua hutangnya dengan mengabaikan perasaan sang anak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image