Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabila Nuraini

Keresahan di Balik Magnetisme Bisnis Tambang

Politik | 2024-06-30 21:22:43

Indonesia sebagaimana yang telah tertuang jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai dasar dalam tujuan bernegara masih sangat jauh dari kata tercapai. Bencana ekologis, ketimpangan sosial, serta konflik kemanusiaan dialami hampir seluruh masyarakat dari barat hingga timur Indonesia.

Ambisi melepas banyak sektor hutan Indonesia sebagai ladang bisnis negara seperti tambang, mirisnya mengancam keberlangsungan hidup ratusan ribu rumah tangga masyarakat. Nasib dan keselamatan rakyat seakan digadaikan oleh pemerintah yang memiliki paradigma dan pola perekonomian yang pro korporasi. Return yang menjanjikan dari hadirnya industri ekstraktif, terkesan menjadi pilihan yang seksi dikalangan para pejabat. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan transportasi menuju kontestasi politik menjadi salah satu variabel yang yang tak dapat terelakan. Cengkraman oligarki tambang menjadi sebuah polemik keharusan, mengingat mahar politik yang mahal dan seakan menjadi sebuah kewajaran.

Youtube: Watchdoc

Polemik industri ekstraktif semakin mengukuhkan premis terkait kutukan sumber daya alam. Di mana negara dengan kekayaan alam yang berlimpah dimanfaatkan pada taraf maksimal, namun menjadi gagal dalam mensejahterakan rakyatnya sendiri. Seperti penjelasan yang disampaikan oleh Winarno dalam karyanya “Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer”, jika terdapat sumber yang dapat diekstraksi dan dapat diakses tanpa diatur dengan serius, menyebabkan beberapa individu yang memiliki kepentingan akan melakukan pengeksploitasian secara berlebihan pada kadar maksimal yang terkesan irasional.

Faktor pendanaan yang bersumber dari bisnis ekstraktif, dengan mekanisme kerja pusat ke daerah seakan menjadi celah bagi mereka-mereka yang memiliki julukan benificial owner untuk terus melanggengkan bisnisnya tanpa memikirkan dampak yang dirasakan bagi masyarakat sekitar. Mekanisme yang mengharuskan keterlibatan birokrat pusat dan daerah menciptakan hubungan perselingkuhan yang erat antara perusahaan, birokrasi, dan politikus yang dapat menyebabkan praktik korupsi dan nepotisme.

Kebutuhan akan investasi besar, ketergantungan pada regulasi pemerintah, pembayaran royalti dan pajak, serta ketergantungan pada infrastruktur pemerintah untuk distribusi barang tambang ke pasar, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan sektor pertambangan rentan terhadap korupsi politik. Hal ini sering kali termanifestasi dalam bentuk perdagangan pengaruh atau biasa disebut Regulatory Capture, merupakan tindak oknum pembuat kebijakan yang seharusnya didirikan untuk memenuhi kepentingan umum, namun disalah gunakan hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok atau komersil.

Berangkat dari hal tersebut, buah hasil dari hubungan perselingkuhan antara perusahaan, birokrat, dan politikus bukan lagi sekedar uang pelicin atau tindak administratif lainnya, melainkan tindakan korupsi yang berlangsung dari akarnya yaitu pembentukan sebuah peraturan atau kebijakan yang menguntungkan bagi si pemilik kepentingan (State Capture Corruption).

Sebagian besar pengusaha mungkin tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kegiatan mereka terhadap lingkungan, seperti perubahan iklim atau degradasi ekosistem. Fokusnya hanya tertuju pada keuntungan jangka pendek dan mengaburkan pandangan terhadap dampak jangka panjang yang lebih serius. Pemerintah sebagai aktor pembuat kebijakan juga terkesan tidak memikirkan hadirnya ancaman jangka panjang dari pola bisnis ekstraktif terhadap masyarakat, seperti efek spiral dari perubahan iklim terhadap kesenjangan sosial bagi masyarakat, di saat seharusnya mereka dipilih untuk mengemban tanggung jawab sosial demi melindungi dan mensejahterakaan masyarakat.

Paradigma yang salah mengenai konsensi pertambangan terkesan menciderai hak asasi manusia. Melihat realitas yang ada, pemerintah terkesan abai terkait banyak permasalahan yang muncul dari pola produksi pertambangan. Biaya dari beban yang seharusnya terinternalisasi dan masuk kedalam bagian dari nilai produksi, mirisnya menjadi tanggungan masyarakat. Salah satu kasus dampak langsung yang dirasakan masyarakat adalah hadirnya penyakit pernapasan kronis terkait pola produksi pertambangan, sejalan dengan penelitian yang dilakukan The Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada tahun 2021 terkait gas buang hasil batubara berkontribusi pada kelahiran prematur, kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan asma pada anak-anak, stroke, hingga kematian akibat polusi udara. Konsensi tambang ini menjadi salah satu bukti buruknya akuntabilitas dan transparansi dalam proses perencanaan, pembangunan, hingga pengoperasian industri pertambangan.

Tak kalah penting meletusnya konflik agraria yang terkesan selalu diabaikan, berulang, dan diwariskan dari pemerintah ke pemerintahan selanjutnya, seakan menjadi bukti konkret redistribusi penanganan yang tak serius adanya. Kasus pembebasan lahan yang menyandra rakyat, dipaksa berjuang untuk apa yang menjadi hak mereka, di tengah situasi kesenjangan yang ada. Terlebih lagi eksistensi masyarakat adat yang sejatinya diakui secara konstitusional, namun karena dalih kepentingan pembangunan oleh para politikus, masyarakat adat cenderung dikesampingkan. Letusan konflik yang menyebabkan tindak represif, kriminalisasi, hingga akhirnya setiap kepala keluarga yang menggantungkan hidup pada alam terdampak. Hadirnya hak yang dimiliki setiap masyarakat terkesan hanya formalitas tanpa adanya isi dan terkesan hampa.

Ruang keadilan bagi masyarakat yang semakin dipersempit, ditambah mewabahnya politik impunitas pada banyak kasus pelanggaran HAM yang berat. Maka dari pada itu perlunya kesadaran yang baik mengenai banyak permasalahan sosial dan politik bagi masyarakat, guna mendukung upaya untuk mereformasi atau memperkuat hukum yang mengatur konflik kepentingan, lobi politik, akuntabilitas serta transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah. Perlu banyak hadirnya tindakan proaktif dari masyarakat, civitas academica, serta organisasi-organisasi akar rumput demi memecahkan atau mengatasi permasalahan ini sebelum menjadi tingkatan yang tak dapat ditangani. Masyarakat sebagai bagian dari satu kesatuan negara memiliki peran sebagai penentu standard peradaban, sehingga hadirnya kesadaran diri yang termanifestasi menjadi keresahan setiap individu, terakumulasi untuk mengawal dan menentukan arah kebijakan menuju pembangunan inklusif dan berkelanjutan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image