Hakikat Harta yang Sebenarnya
Agama | 2024-06-30 17:39:48Banyak dari kita terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang makna harta yang sebenarnya. Banyak orang berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, mengejar kekayaan duniawi tanpa henti, dan menganggap bahwa semakin banyak harta yang dimiliki, semakin sukses dan bahagia mereka. Namun, benarkah demikian? Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu memberi kita perspektif yang berbeda dan lebih mendalam tentang hakikat harta yang sebenarnya.
Dalam hadits tersebut, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seorang hamba berkata, 'Hartaku, hartaku.' Sesungguhnya harta ia miliki ada tiga: Apa yang ia makan sehinggalah habis, apa yang ia pakaikan sehingga usang, atau apa yang ia sedekahkan hingga ia kumpulkan (untuk akhiratnya). Adapun selain itu, akan pergi dan ia tinggalkan untuk manusia."
Hadits ini mengajarkan kita beberapa poin penting tentang harta yang sering kali luput dari perhatian kita:
Pertama, harta yang benar-benar kita miliki hanyalah yang kita konsumsi untuk kebutuhan hidup. Makanan yang kita makan untuk menopang kehidupan kita adalah harta yang sesungguhnya bermanfaat bagi kita. Ini mengingatkan kita untuk bersyukur atas rezeki yang kita terima dan menggunakannya dengan bijaksana, tidak berlebih-lebihan atau mubazir.
Kedua, pakaian yang kita kenakan hingga usang juga termasuk harta yang benar-benar kita miliki. Ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu membanggakan penampilan luar atau terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Pakaian yang sederhana namun bermanfaat lebih baik daripada pakaian mewah yang hanya menjadi simbol status.
Ketiga, dan mungkin yang paling penting, adalah harta yang kita sedekahkan. Inilah investasi jangka panjang yang akan kita bawa hingga akhirat. Sedekah tidak hanya memberi manfaat bagi orang lain, tetapi juga menjadi tabungan pahala bagi kita di akhirat kelak.
Adapun harta selain ketiga hal tersebut, menurut hadits ini, akan kita tinggalkan untuk orang lain. Ini adalah peringatan keras bagi kita untuk tidak terlalu terikat pada harta duniawi yang sifatnya sementara.
Refleksi atas hadits ini membawa kita pada beberapa argumen penting:
- Redefinisi Kekayaan Hadits ini mengajak kita untuk mendefinisikan ulang makna kekayaan. Kekayaan yang sejati bukan diukur dari jumlah harta yang kita miliki, tetapi dari seberapa besar manfaat yang kita berikan kepada diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang hidup sederhana namun banyak bersedekah bisa jadi lebih "kaya" dalam pandangan Allah dibandingkan dengan orang yang memiliki harta melimpah namun kikir.
2. Prioritas dalam Penggunaan Harta Hadits ini juga mengajarkan kita untuk memprioritaskan penggunaan harta kita. Fokus utama seharusnya pada pemenuhan kebutuhan dasar (makanan dan pakaian) dan berbagi dengan sesama (sedekah). Ini bertentangan dengan gaya hidup konsumtif yang sering kita saksikan di masyarakat modern, di mana orang lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan.
3. Harta sebagai Amanah Pemahaman bahwa harta yang kita miliki pada akhirnya akan kita tinggalkan mengingatkan kita bahwa harta adalah amanah dari Allah SWT. Kita hanya dititipkan harta tersebut untuk sementara waktu, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas penggunaannya kelak di akhirat.
4. Investasi Akhirat Hadits ini menekankan pentingnya investasi untuk kehidupan akhirat melalui sedekah. Ini mengajak kita untuk memiliki pandangan jangka panjang dalam mengelola harta, tidak hanya fokus pada keuntungan duniawi yang sifatnya sementara.
5. Kesederhanaan dan Keberkahan Dengan memahami bahwa harta yang benar-benar kita miliki hanyalah yang kita konsumsi dan sedekahkan, kita diajak untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Kesederhanaan ini bukan berarti kekurangan, tetapi justru membawa keberkahan dalam hidup.
6. Kebebasan dari Materialisme Pemahaman yang benar tentang harta dapat membebaskan kita dari jeratan materialisme. Kita tidak lagi terikat pada obsesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tetapi lebih fokus pada bagaimana menggunakan harta yang kita miliki dengan sebaik-baiknya.
7. Keseimbangan Dunia dan Akhirat Hadits ini mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Kita diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, namun jangan sampai melupakan investasi untuk kehidupan akhirat melalui sedekah dan amal saleh.
8. Harta sebagai Sarana, Bukan Tujuan Pemahaman ini mengingatkan kita bahwa harta seharusnya menjadi sarana untuk mencapai ridha Allah dan kebahagiaan yang hakiki, bukan menjadi tujuan hidup itu sendiri.
9. Perlindungan dari Sifat Tamak Dengan menyadari bahwa harta yang kita miliki pada akhirnya akan kita tinggalkan, kita dapat terhindar dari sifat tamak dan rakus dalam mengumpulkan harta.
10. Motivasi untuk Berbagi Hadits ini menjadi motivasi kuat bagi kita untuk lebih banyak berbagi dan bersedekah, karena itulah investasi jangka panjang yang akan kita bawa hingga akhirat.
Kesimpulannya, hadits ini memberikan perspektif yang revolusioner tentang hakikat harta yang sebenarnya. Ini mengajak kita untuk mengevaluasi ulang hubungan kita dengan harta benda dan bagaimana kita menggunakannya. Dengan pemahaman yang benar tentang harta, kita dapat hidup lebih bermakna, lebih bermanfaat bagi sesama, dan lebih siap menghadapi kehidupan akhirat.
Dalam konteks kehidupan modern, di mana materialisme seringkali menjadi tolok ukur kesuksesan, ajaran dalam hadits ini menjadi sangat relevan. Ini mengingatkan kita untuk kembali pada nilai-nilai esensial dalam hidup, yaitu kebermanfaatan dan keikhlasan dalam beramal. Dengan demikian, kita dapat meraih kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.