Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sirilus Aristo Mbombo_Pengamat Realitas

Menelaah Keadaan Psikologis Penderitaan Manusia

Eduaksi | Saturday, 29 Jun 2024, 20:16 WIB
Sumber Gambar: Pexels

Hati yang terluka membuat air mata mengalir tanpa bisa dihentikan. Kehidupan terasa sangat sunyi dan hampa. Keluarga dan teman seolah menghilang, menyisakan kesendirian yang mendalam dan membuat kita merasa terasing, seolah mereka bersembunyi dalam diam tanpa memberikan dukungan yang kita butuhkan.

Inilah gambaran keadaan batin orang-orang yang merasa tertekan dan tersiksa. Hidup membawa mereka ke ujung penderitaan, di mana tidak ada seorang pun teman yang mendampingi atau memberikan dukungan. Yang tersisa hanyalah kepingan-kepingan kenangan menyakitkan tentang pengkhianatan yang pernah dialami, semakin menambah rasa kesepian dan kepedihan dalam hidup mereka.

Seorang filsuf kontemporer terkemuka asal Slovenia, Slavoj Zizek pernah mengungkapkan bahwa kehidupan ini berawal dari bencana besar atau katastrofi. Sebagai contoh, alam semesta kita bermula dari sebuah ledakan dahsyat yang dikenal sebagai Big Bang. Selain itu, proses kelahiran manusia ke dunia ini juga terjadi melalui penderitaan dan kesakitan yang dialami oleh sang ibu.

Menurut Zizek, cinta bukanlah elemen manis yang menambah kebahagiaan dalam hidup, melainkan sering menjadi sumber kesedihan dan kekecewaan. Alih-alih menjadi pelipur lara, cinta justru kerap membawa rasa sakit emosional yang mendalam, menunjukkan bahwa aspek-aspek menyakitkan sering kali menyertai hal-hal yang kita anggap paling berharga.

Orang harus mengubah pandangannya terhadap guncangan dalam kehidupan sebagai suatu bentuk kelahiran dari sesuatu yang baru. Dalam perspektif ini, semua yang ada di sekitar kita saat ini memiliki asal-usul dari peristiwa besar yang mengubah dunia. Pendekatan ini menggeser pandangan bahwa guncangan hanya sebagai insiden tidak terduga dalam kehidupan, tetapi sebagai bagian integral dari proses evolusi dan transformasi yang membentuk kehidupan ini. Dengan demikian, guncangan tidak sekadar menandai keberadaan kita dalam dunia ini, tetapi merupakan katalisator yang mendorong perubahan dan pertumbuhan yang esensial bagi eksistensi dan adaptasi di lingkungan yang selalu berubah.

Manusia sering kali menghadapi tantangan yang menguji batas kemampuan dalam perjalanan hidupnya. Karl Jasper seorang filsuf terkemuka asal Jerman, mengidentifikasi situasi-situasi sulit ini sebagai "situasi batas". Dalam konsepnya, situasi batas mencakup pengalaman-pengalaman seperti penderitaan, kematian, rasa bersalah, ketergantungan pada nasib serta perjuangan di tengah bencana yang melanda dalam kehidupan manusia. Jasper percaya bahwa situasi-situasi ini adalah momen ketika manusia menghadapi batas kekuatannya dan menyadari ketidakberdayaannya dalam menghadapi realitas yang penuh tantangan itu.

Pengalaman dalam situasi batas tidak hanya mengungkapkan kelemahan manusia, tetapi juga membawa manusia pada refleksi mendalam tentang eksistensi dan makna hidup. Ketika menghadapi batas-batas ini, manusia sering kali mencari makna yang lebih dalam dan mempertanyakan peran Tuhan dalam kehidupan mereka. Jasper menyatakan bahwa situasi batas membuka pintu menuju kesadaran spiritual, di mana manusia memahami kehadiran Tuhan dalam konteks penderitaan dan ketidakpastian hidup.

Dalam kehidupan, kita sering kali dihadapkan pada krisis yang tidak kenal henti. Misalnya, kita mungkin mengalami kehilangan orang yang kita cintai, melihat bisnis yang kita bangun dengan rencana dan mimpi hancur berantakan, ataupun kita merasa terluka karena pengkhianatan dari orang yang kita sayangi. Bahkan, ada kalanya kita merasa dikhianati oleh sahabat dekat yang telah kita percayai sepenuh hati.

Jasper mengajak kita untuk menghadapi segala tantangan dalam hidup dengan sikap yang terbuka dan menerima dengan lapang dada. Baginya, krisis bukan sekadar situasi sulit, tetapi momen di mana manusia dapat membuka diri kepada dimensi yang lebih luas, mungkin kepada kehadiran Tuhan atau realitas spiritual yang lebih dalam. Ketika menghadapi krisis, manusia mengalami kesadaran mendalam akan keterbatasan dirinya sendiri. Jasper melihat krisis sebagai pintu menuju pencerahan dan penemuan makna sejati dari eksistensi manusia.

Dalam pandangan Jasper krisis bukan hanya ujian, melainkan juga peluang untuk memahami dan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang menggugah dalam hidup. Ketika seseorang menghadapi situasi yang menggoncangkan, seperti kehilangan, kegagalan, atau konflik yang mendalam, mereka tidak hanya menemukan kerapuhan diri, tetapi juga memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi kedalaman batin dan menggali makna yang lebih dalam dari kehidupan mereka. Dengan demikian krisis bukanlah akhir dari segalanya, tetapi sering kali menjadi titik awal bagi pertumbuhan spiritual dan pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri dan tempatnya dalam dunia ini.

Di satu sisi ketika kita melihat lebih dalam pada dasarnya para pahlawan diakui dari luka-luka yang mereka alami. Mereka dibentuk oleh medan perang yang keras, dan luka-luka fisik mereka menjadi bukti yang tak terbantahkan. Luka-luka ini tidak sekadar tanda dari pengalaman dalam pertempuran, tetapi juga menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati yang luar biasa.

Prinsip yang sama berlaku untuk luka-luka mental. Kekecewaan dan penderitaan psikologis juga dapat dianggap sebagai tanda kepahlawanan jiwa seseorang. Penting bagi individu untuk mengakui keberadaan luka-luka ini dan memberikan perhatian yang cermat. Luka-luka mental tidak boleh diabaikan atau dihindari, melainkan harus diterima dengan sikap terbuka dan penuh kesabaran. Proses penerimaan ini merupakan langkah awal yang penting dalam proses penyembuhan dan pemulihan dari trauma atau rasa sakit emosional yang mendalam.

Banyak individu merasa takut akan menghadapi luka-luka mereka sendiri. Akibatnya, mereka cenderung menenggelamkan diri dalam hiburan semu seperti alkohol, seks bebas dan narkoba sebagai pelarian. Dalam pandangan ini, luka-luka tidak lagi dianggap sebagai sarana untuk tumbuh dan belajar, melainkan dihindari dan diabaikan, sehingga keberartian hidup pun terkikis. Dampak dari perilaku ini adalah kehidupan yang kehilangan kedalaman dari makna kehidupan yang sejati.

Luka mental merupakan bagian dari perjalanan hidup yang tak boleh dilupakan. Setiap luka batin dapat dianggap sebagai bukti kekuatan jiwa yang mengagumkan. Penting bagi setiap individu untuk melihatnya sebagai bagian dari koleksi pengalaman hidup yang patut dibanggakan. Penderitaan dan kekecewaan, sejauh menjadi bagian dari hidup, juga bisa dipandang sebagai tanda-tanda keagungan dan ketahanan jiwa seseorang.

Luka dan krisis dapat dianggap sebagai peluang yang penting dalam kehidupan. Mereka memberikan kesempatan untuk mengungkapkan potensi sejati dan karakter sesungguhnya dari diri kita. Lebih dari sekadar ujian, krisis dan luka-luka memberikan momentum untuk menunjukkan kekuatan, ketahanan, dan kemampuan kita dalam menghadapi tantangan yang berat. Selain itu, dalam situasi krisis, terdapat kesempatan besar untuk berbuat baik, menjadikan momen sulit sebagai panggung untuk memberikan bantuan, dukungan dan kebaikan kepada orang lain di sekitar kita.

Seringkali kita menganggap kekecewaan sebagai sesuatu yang merugikan. Namun sebenarnya, kekecewaan adalah peluang besar untuk mempraktikkan kemampuan memaafkan. Ketika menghadapi kekecewaan, kita sebenarnya sedang diberi kesempatan untuk menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati kita. Ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan tindakan-tindakan baik dan memberikan dukungan kepada orang lain di sekitar kita. Lebih dari itu, kekecewaan adalah kesempatan bagi kita untuk merenungkan dan meningkatkan seluruh kualitas kemanusiaan kita.

Ketika kita dihadapkan pada bencana alam, saat itulah kita memiliki kesempatan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang mengalami kesulitan. Ketika pengkhianatan terjadi dalam hubungan, itu menjadi waktu yang tepat untuk menggali dan memahami nilai kesetiaan. Begitu pula ketika kejahatan melanda, kita dihadapkan pada kesempatan untuk menyebarkan cinta yang dapat menyegarkan dan memperbaiki situasi yang sulit tersebut.

Krisis tidak hanya merupakan ujian, tetapi juga kesempatan untuk menguji dan membuktikan diri. Melalui krisis, seseorang menghadapi situasi yang menguatkan dan membantu mereka menemukan diri yang sejati. Dalam menghadapi krisis, yang terpenting adalah bertahan dan melewatinya dengan ketabahan, karena pada akhirnya setiap perjuangan akan berbuah hasil yang memuaskan. Saat itulah seseorang dapat merasakan kepuasan karena telah menghadapi dan mengatasi tantangan hidup yang sulit.

Banyak individu mengalami kehancuran akibat krisis yang mereka hadapi. Beberapa di antara mereka merasa putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri. Mereka tidak mampu bertahan di tengah badai kesulitan yang melanda, dan akhirnya menyerah kepada kehidupan yang terasa tidak adil bagi mereka.

Sikap seperti itu tidak seharusnya dipertanyakan. Setiap orang memiliki pilihan dalam menghadapi kekecewaan dan penderitaan hidup. Namun sebenarnya, kita tidak perlu sampai pada titik tersebut. Kita bisa melihat tantangan yang kita hadapi sebagai kesempatan untuk menguji diri sendiri dan sebagai momen untuk memberikan kebaikan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan.

Albert Camus seorang filsuf dan sastrawan Prancis, mengemukakan pandangan bahwa banyaknya penderitaan yang tampaknya tidak beralasan di dunia dapat dijelaskan dengan konsep absurditas hidup. Menurutnya, hidup ini pada dasarnya absurd karena tidak ada penjelasan yang memadai mengapa penderitaan terjadi pada seseorang atau mengapa bencana bisa menimpa orang lain. Hidup ini dianggap absurd karena kompleksitasnya yang tidak pernah sepenuhnya dapat dipahami atau dijelaskan oleh akal manusia.

Yang penting dilakukan adalah menerima kenyataan tentang absurditas hidup dan menghadapinya dengan kesabaran. Jika tidak, seseorang akan terus-menerus mengalami benturan antara harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Mimpi-mimpi yang tidak didasari oleh realitas dapat mengecewakan dan memunculkan rasa putus asa, disertai dengan kekecewaan dan kesedihan yang ada dalam kehidupan manusia.

Banyak kali kita menyaksikan bagaimana orang menjadi terpuruk karena kekecewaan atau hancur karena tekanan situasi yang sulit. Namun sebenarnya, mereka tidak harus hancur jika mereka belajar untuk menerima kenyataan tentang absurditas hidup dan keadaan diri mereka sendiri. Mereka hanya perlu belajar untuk tersenyum melihat betapa hidup sering kali memperlakukan mereka sebagai objek permainan.

Kekecewaan, penderitaan dan krisis bukanlah sekadar bumbu tambahan dalam kehidupan, melainkan merupakan inti yang tak terpisahkan dari realitas kehidupan ini. Meskipun terasa absurd, kenyataan ini tak dapat disangkal. Bahkan pada titik awalnya, alam semesta tercipta melalui peristiwa katastrofi dahsyat yang dikenal sebagai Dentuman Agung (the Big Bang). Ini mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa menghindar dari realitas ini dan juga sebaliknya, kita harus menerimanya dengan penuh kesadaran.

Kita diajak untuk memeluk kehidupan ini dalam segala kompleksitasnya, menghadapi setiap tantangan dengan tekad dan ketabahan. Merangkul kekecewaan dan penderitaan bukan berarti menyerah pada penderitaan dan kekecewaan dalam hidup, tetapi menjadikannya bagian dari proses pertumbuhan dan pemahaman diri. Bahkan dalam kesulitan terbesar sekalipun, kita diberi kesempatan untuk mengembangkan kekuatan batin dan ketabahan yang sejati.

Dengan mengadopsi sikap ini, kita dapat melihat absurditas yang mungkin terjadi di sekitar kita dengan pandangan yang lebih luas. Melalui pengertian ini, kita mampu menemukan kedalaman makna dan hikmah di balik setiap cobaan yang kita hadapi. Dengan demikian kita dapat menghindari jebakan pikiran untuk mengakhiri hidup dengan menemukan kekuatan untuk melangkah maju dengan tegar dan penuh harapan bagi kehidupan kita di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image