Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image khopipah listiani sopyan

Historiografi Islam Nusantara Pada Masa Klasik

Sejarah | 2024-06-28 11:07:28

Sebagai pembabagan paling awal, masuk dan berkembangnya agama Islam menjadi fokus kajian yang pertama, dari sebagian historiografi Islam masa klasik. Pengertian dari historiografi Islam masa klasik di sini, sebenarnya juga mencakup historiografi tradisional, seperti hikayat, babad, serat, dan sebagainya; namun saat ini, karya para pujangga istana atau tokoh masyarakat di masa lalu tersebut, lebih diposisikan sebagai sumber sejarah. Meskipun usaha terakhir ini, sempat mendapat cibiran atau disangsikan oleh sebagian ilmuwan, oleh karena dominasi muatan mistis yang terkandung dalam kebanyakan historiografi tradisional; namun sebagai sumber alternatif, atau tidak jarang justru menjadi satu-satunya sumber, dalam merekonstruksi sejarah Nusantara masa klasik, literatur-literatur ini coba diposisikan sebagai teks yang tidak lepas dari konteksnya, salah satunya dengan pendekatan historisitas teks.[1]Pembahasan mengenai tempat asal datangnya budaya dan agama Islam ke Nusantara sendiri, adalah suatu hal yang panjang, rumit, dan paling tidak jelas3 , yang kerumitan tersebut tidak hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslim saat ini, baik melalui historiografi (hikayat, babad, dll.) maupun dalam praktik kehidupan sehari-hari; melainkan juga karena pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di kawasan ini belum mampu merumuskan suatu paradigm historis yang dapat dijadikan pegangan bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para sejarahwan dalam mengkaji islamisasi Nusantara, yang terkadang sulit dipertemukan satu sama lain.[2] Secara garis besar, beberapa teori mengenai masuk dan berkembangnya Islam, berdasarkan asal kedatangannya ialah: pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Selain Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Sejarawan domestik yang mendukung teori ini adalah Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada 1962. Menurutnya, islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan pula pada abad XI Masehi, melainkan pada abad pertama Hijriyah atau VII Masehi.5 Kedua, teori India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel (1872), yang kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje dan Morrison (1951), dengan menunjuk pantai Koromandel di India sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.6 Ketiga, teori Persia, yang diantara pendukungnya, adalah Hosein Djajadiningrat yang mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap sufisme Nusantara, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab, adanya modifikasi peringatan Assyura pada hari kesepuluh bulan Muharram (penanggalan hijriyah) dalam beberapa bentuk budaya di Nusantara, seperti bubur assyura di Jawa, upacara Tabut di Sumatera Tengah, serta penyebutan bulan Hasan-Husain untuk bulan Muharram di Minagkabau.Keempat, teori Cina, dengan pendukungnya H.J. de Graaf yang juga didukung oleh Slamet Muljana serta Denys Lombard; dengan eviden-eviden perihal pengaruh Cina dalam berbagai aspek kehidupan penghuni Nusantara, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya.8 Kelima, teori yanng menyatakan bahwa Islam datang dari Bengali (kini Bangladesh) dari Fatimi, yang mengutip keterangan Tome Pires bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Bengali atau keturunan mereka.[3]Secara keseluruhan, perdebatan mengenai tempat asal kedatangan Islam, aktor pembawa, dan waktu terjadinya kedatangan, tersebut di atas menggambarkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang tidak monolit, dalam arti latar belakang atau motivasi penyebaran Islam (konflik politik di negeri asal, ekonomi/perdagangan, kunjungan utusan negeri seberang, dan seterusnya), madzhab jurisprudensi hukum aktor pembawanya (fiqh), model proses islamisasi yang diambil (perkawinan, perdagangan, penaklukan, pendudukan, dakwah, dan sebagainya), hingga tradisi dan ajaran esoteriknya (tashawuf). Pertimbangan ini kemudian juga memunculkan tematema selanjutnya dalam perkembangan historiografi Islam Nusantara; seperti kajian tentang sejarah Wali Sanga, manusia suci penyebar agama Islam khususnya di tanah Jawa beserta ajaran-ajaran esoteriknya,wajah-wajah Islam lokal seperti Islam Sasak atau Islam Wetu Telu, dan berbagai kajian lainnya.[4]Tema historiografi Islam Nusantara masa klasik lainnya adalah mengenai kesultanan atau kerajaan yang bercorak Islam atau tidak jarang disebut kerajaan Islam Nusantara, seperti Kerajaan Pasai di Sumatera, Kerajaan Demak, Banten, Cirebon, di Jawa, Kerajaan Gowa di Sulawesi, dan sebagainya. Kecenderungan ini sangat mirip atau bisa dikatakan dipengaruhi oleh penulisan sejarah Islam secara global, dimana sejarah Islam atau sejarah umat Islam adalah sejarah politik, sejarah tentang bangkit, berkembang, dan runtuhnya dinasti-dinasti/ kekhalifahan-kekhalifahan Islam.11 Sementara di Nusantara, selain pemaparan mengenai pendirian, masa kejayaan, serta runtuhnya kerajaan/ kesultanan bercorak Islam tersebut, juga digambarkan mengenai hubungan kerjarasam beserta persaingan ekonomi khususnya perdagangan antarkekuasaan tersebut. Sebagai gambaran, salah satu kekuatan besar pada masa itu adalah Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh Sutawijaya (memerintah 1575-1601) sebagai sebuah kerajaan dengan corak agraris yang kental. Pada masa Sultan Agung (memerintah 1613-1649), raja terbesar dari Mataram, politik ekspansi yang digunakan adalah dengan menempatkan kota-kota pesisir sebagai lawan utama. Strategi ini ternyata menjadi bumerang karena kelumpuhan perdagangan meniadakan sumber daya ekonomi yang menjadi dasar suatu struktur kerajaan sebelumnya dan yang sezaman, seperti Majapahit, Sriwijaya, Aceh, Malaka, Makassar, dan sebagainya. Akibat lainnya adalah bahwa banyak pedagang dari Jawa mengungsi ke pusat-pusat perdagangan baru, seperti Makassar, Banjarmasin, Banten, sehingga timbul kompetisi dan oposisi politik terhadap Mataram.[5]Politik ekspansi Sultan Agung dari 1614 hingga 1627 tersebut, menandakan bahwa corak agraris dalam menopang ekonomi negeri akan lebih dikedepankan daripada gaya maritim.Sementara itu, munculnya komoditi lada ikut menggeser pusat rempah-rempah dalam periode ini pada Indonesia bagian Barat, yakni Aceh, Banten, Jambi, dan Banjarmasin; disamping faktor di atas. Sultan Agung sendiri seakan benar-benar tidak hendak membangun basis ekonomi Mataram dari laut, sebagaimana terungkap dalam ejekannya bahwa Sultan tidak mau dianggap “sebagai pedagang seperti raja-raja Banten dan Surabaya”.Peta persaingan ekonomi inilah yang terkadang tidak muncul dalam pembacaan mengenai umat Islam masa VOC, yang diawali dengan kedatangan avonturir Barat serta infiltrasi kekuatan “asing” ini pada institusi-institusi kekuasaan bercorak Islam di Nusantara. Secara singkat, yang terjadi kemudian dapat disimpulkan bahwa posisi umat Islam di Nusantara, bahkan di beberapa belahan dunia mengalami kemerosotan, dari masa kejayaan berganti pada era penjajahan oleh bangsa Barat. Saat kekuatan-kekuatan “asing” ini mulai menghegemoni wilayah Nusantara terutama pada aspek ekonomi-perdagangan, kekuasaan lokal bercorak Islam coba memberikan perlawanan.[6]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image