Perspektif Ulama tentang Berjabatan Tangan dengan yang Bukan Mahram
Agama | 2024-06-27 16:56:54Beberapa ulama meyakini bahwa berjabatan tangan dengan lawan jenis dapat menimbulkan fitnah atau godaan, sehingga sebaiknya dihindari. Namun, ada juga ulama yang memandang bahwa berjabatan tangan dengan lawan jenis dalam konteks formalitas atau kebutuhan tertentu tidak melanggar prinsip agama. saya pernah mendapati sebuah cuplikan video yang disana terdapat seorang ulama’ yang dicium tangannya atau disalami oleh beberapa perempuan yang bukan mahram dengan tangan beliau dilapisi sebuah sarung tangan. Dari beberapa komen-an para penonton ada berbagai macam respon, ada yang mengkritik, ada pula yang membenarkan.
Apabila dipandang secara dhohir, apa yang dilakukan oleh beliau itu benar, karena tidak bersentuhan langsung dengan yang bukan mahram. Secara bathin, yang menjadi penyebab dilarangnya melakukan kontak fisik dengan yang bukan mahram adalah timbulnya rasa syahwat yang timbul akibat bersentuhan. Namun bukan berarti orang yang tidak bersyahwat saat menyentuh yang bukan mahram itu diperbolehkan. Karena yang diperhatikan bukan hanya dari orang yang menyentuh, tetapi lebih kepada kehormatan dari masing-masing pihak. Menurut Perspektif Sosial, setiap daerah mempunyai budaya dan tradisi berjabat tangan. Apabila bertemu orang yang baru dikenal ataupun kerabatnya menyampaikan rasa senang, suka, dan tulus dalam perjumpaan tersebut dengan berjabat tangan.
Dalam kitab Sunan Abu Daud No. 5225 disebutkan sebuah hadis Hasan tentang hukum cium tangan kepada orang terhormat seperti ulama’.حدثنا محمد بن عيسى بن الطباع، نا مطر بن عبدالرحمن الأعنق، حدثني أم أبان بنت الوازع بن زارع، عن جدها زارع - وكان في وفد عبد القيس - قال : لما قدمنا المدينة فجعلنا نتبادر من رواحلنا، فنقبل يد رسول الله ﷺ (و رجله). (المشكاة (٤٦٨٨) / التحقيق الثاني)“Muhammad bin Issa bin Al-Tabba' menceritakan kepada kami, Matar bin Abdul-Rahman Al-A'naq menceritakan kepada kami, Ummu Aban binti Al-Wazi' bin Za'ri menceritakan kepadaku, dari kakeknya Za'ri - yang dalam delegasi Abdul Qais - yang mengatakan: Ketika kami tiba di Madinah, kami mulai melepas unta kami dan mencium tangan (dan kakinya) Rasulullah Saw.. (Al-Mishkat (4688) / penyelidikan kedua).”
Dan dalam sebuah hadis lain disebutkan bahwa Nabi tidak pernah menyentuh tangan Wanita, dalam kitab Shahih Bukhari No. 7214:حَدَّثَنَا مَحْمُودٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالكَلاَمِ بِهَذِهِ الآيَةِ: {لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا} [الممتحنة: 12]، قَالَتْ: وَمَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلَّا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا " “Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Urwah bahwa Aisyah berkata, "Rasulullah ﷺ membaiat para wanita dengan ayat berikut ini: Hendaknya kalian tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun. (Aisyah) Berkata, "Dan tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan mereka kecuali wanita yang ia miliki (budak)."
Sedangkan ada beberapa pendapat menurut para Ulama’. Pertama, Ulama Hanafiyah dan Hambali membolehkan jabat tangan atau bersalaman dengan lawan jenis dengan syarat tidak ada syahwat diantara satu atau keduanya. Kedua, Ulama Malikiyah mengharamkan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram, meskipun sudah tua dan tidak akan mengarah pada fitnah. Ketiga, Ulama syafi’iyah mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, namun membolehkan jabat tangan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan dihalangi semisal sarung tangan. Kesimpulannya adalah Nabi memang mengharamkan bersentuhan dengan lawan jenis. Namun, jika kita mengikuti madzhab Imam Syafi’i, maka diperbolehkan berjabat tangan atau mencium tangan seorang yang terhormat atau ulama’ dengan syarat adanya penghalang antara keduanya seperti sapu tangan atau kain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.