Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Boy Anugerah

Konflik Papua Dari Perspektif Filsafat Intelijen

Politik | 2024-06-27 08:56:17

Filsafat intelijen merupakan diskursus baru dalam dunia akademik di Indonesia. Tentu saja terminologi ini memiliki perbedaan substansial jika dibandingkan dengan filsafat ilmu, filsafat politik, ataupun filsafat moral. Akan tetapi semua kecabangan filsafat tersebut memiliki titik singgung yang sama, yakni adanya aspek ontologi (apa yang dikaji), epistemologi (bagaimana cara mengkaji), dan aksiologi (fungsionalitas atau kegunaan) dari bidang yang dianalisis.

Filsafat intelijen merupakan sebuah ikhtiar saintifik untuk membawa intelijen pada ranah praksis ke arah yang lebih bersifat akademis atau pemikiran dengan mengedepankan logika ilmu pengetahuan. Filsafat intelijen menghindarkan praksis intelijen dari kesalahan atau sesat berfikir (logical fallacy) seperti ad hominem (sikap menyalahkan), hasty generalization (kesimpulan yang tergesa-gesa), bandwagon (latah), dalam hal mana sesat berfikir tersebut dapat bersifat kontraproduktif bagi kinerja intelijen yang merupakan lini pertama sistem pertahanan negara. Kerapkali praksis intelijen yang tidak didukung oleh basis ilmu pengatahuan yang memadai berujung pada kesalahan informasi, kesalahan pengambilan kesimpulan, pemikiran yang bersifat konspiratif dan menduga-duga, hoaks, serta arahan yang bersifat top-down berbasis analisis yang tidak didukung rasionalitas dan elaborasi data yang tidak memadai, hanya berbasis relasi kuasa.

Hendropriyono secara lugas menempatkan filsafat intelijen untuk memahami konsepsi keamanan sebagai suatu kebebasan dari bahaya yang mengancam personal, komunikasi, informasi, pernaskahan fisik dan non-fisik, serta lingkungan hidup manusia. Hendropriyono memperlihatkan bagaimana ketajaman filosofis dapat membantu melihat realitas dari pelbagai segi, menghindar misalnya dari tiga sikap keliru klasik yang sudah diangkat oleh para filosof Yunani, sofisme, paralogisme, dan sikap echolalian.[1]

Konflik Papua merupakan studi kasus yang sangat membutuhkan pendekatan filsafat intelijen untuk merumuskan solusinya yang bersifat jangka panjang, yakni perdamaian masyarakat atau perpetual peace. Perdamaian merupakan objektif luhur yang hendak dicapai oleh pemerintah dan masyarakat karena perdamaian menjadi modal dasar untuk meraih ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa perdamaian, harapan-harapan terkait tertib, aman, dan sejahtera tersebut akan sulit tercapai. Yang menjadi persoalan mendasar mengapa konflik Papua belum kunjung tuntas hingga saat ini adalah kompleksitas persoalan yang ada di sana yang belum terpetakan secara komprehensif; apa yang menjadi akar masalahnya, apa yang menjadi masalah derivatif, siapa saja aktor-aktor yang terlibat baik domestik maupun eksternal, apa aspirasi yang berkembang, apa tuntutan yang belum terpenuhi, dan sebagainya.

Pemetaan yang belum dilakukan secara komprehensif menghasilkan formulasi kebijakan yang tidak tepat sasaran. Dalam bahasa filsafat intelijen, fenomena masih berkecamuknya konflik di Papua disebabkan oleh adanya unsur ad hominem (ex; sikap menyalahkan pihak-pihak berkonflik di Papua sebagai akar utama kekerasan dengan menegasikan faktor-faktor lain seperti adanya bisnis tambang militer yang meresahkan masyarakat, korupsi pejabat lokal, dan lainnya), hasty generalization (ex; perdamaian Papua dapat tercipta melalui pemberian status otonomi daerah dan dana Otsus yang terbukti belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua), serta pendekatan pemerintah yang tidak memenuhi aspirasi dan tuntutan masyarakat.

Kebijakan penanganan konflik Papua yang belum berpijak pada filsafat intelijen yang baik dan benar tersebut menimbulkan konsekuensi logis seperti masih aktifnya sel-sel separatisme yang disebut oleh pemerintah sebagai KKB, dana Otsus yang tidak tersalur optimal bagi kesejahteraan masyarakat Papua, korupsi elit dalam kasus tertangkapnya Lukas Enembe oleh KPK[2], status Papua yang menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia dalam survei BPS RI[3], hingga tereksposnya kasus Papua di forum PBB sebagai sikap decoupling dari negara-negara Kepulauan Pasifik yang pro-kemerdekaan Papua.[4]

Apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir pada dasarnya sudah memenuhi kaidah filsafat intelijen yang baik. Sebagai basis perumusan kebijakan, pemerintah melalui BIN yang bekerja sama dengan berbagai universitas, melakukan pendekatan saintifik untuk pemetaan masalah dengan melakukan survei kepada masyarakat, yang mana hasilnya 92 persen masyarakat Papua pro-NKRI. Hanya sebesar 8 persen yang menentang. Dengan kata lain, 8 persen ini perlu ditempatkan sebagai objek operasi intelijen, baik dalam bentuk penyelidikan seperti pemetaan klaster kelompok, pengamanan oleh aparat keamanan, maupun penggalangan terhadap mereka agar berubah haluan menjadi pro-NKRI.

Untuk meredam konflik, 8 persen masyarakat yang anti-NKRI ini perlu dipetakan lebih lanjut apa yang menjadi aspirasi dan tuntutan mereka, model pergerakan yang mereka lakukan untuk merdeka, logistik dan sumber pendanaan, jaringan politik dan diplomasi yang mereka miliki, serta kategori ancaman yang dapat mereka timbulkan. Dari analisis berbasis saintifik yang dilakukan, maka akan diketemukan model pendekatan yang ideal untuk 8 persen masyarakat ini, apakah pendekatan keamanan (bullet approach), pendekatan kesejahteraan (butter approach), atau pendekatan sosial budaya (cultural approach), bahkan kombinasi dari tiga pendekatan tersebut.

Pemerintah tidak bisa menerapkan satu kebijakan untuk seluruh masyarakat Papua tanpa mendiferensiasi mana yang pro dan anti-NKRI karena berpotensi untuk membuat konflik menjadi semakin kompleks. Kebijakan pemerintah pusat untuk memperpanjang Otsus jilid dua bagi Papua, melakukan pemekaran wilayah administratif hingga 6 provinsi perlu dievaluasi efektivitasnya dalam mengelola 8 persen masyarakat yang anti-NKRI ini. Tanpa didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), dialog dengan kelompok yang hendak memisahkan diri, dan diplomasi aktif di luar negeri untuk meredam dukungan kelompok eksternal terhadap KKB, upaya-upaya untuk menciptakan perdamaian Papua akan selalu menemukan batu sandungan.

Dengan berbekal pada prinsip-prinsip filsafat intelijen, pemerintah bisa menggunakan studi komparatif Papua terhadap Aceh yang juga mendapatkan otonomi khusus. Aceh yang konfliknya relatif sedikit bisa menjadi benchmark yang baik untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan Papua secara bertahap. Pada kasus Aceh, ada model kesepakatan antara pihak yang menuntut dan pemerintah yang tertuang dalam Kesepakatan Helsinki, salah satunya adalah model partai politik lokal sebagai saluran aspirasi masyarakat. Model ini terbukti cukup untuk meredam tuntutan-tuntutan kemerdekaan yang ada karena dalam partai politik lokal tersebut sebagai saluran artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat bertemu kelompok yang pro-NKRI, kelompok yang sudah digalang pemerintah untuk memperkuat nasionalisme terhadap NKRI, dengan kelompok-kelompok yang masih ada residu separatismenya. Besarnya jumlah kelompok yang pro-NKRI dapat mempersuasi dan melunakkan spirit separatisme dari kelompok-kelompok dalam jumlah minor.

[1] Hendropriyono, AM. 2021. Filsafat Intelijen. Sebuah Esai ke Arah Landasan Berpikir, Strategi, serta Refleksi Kasus-kasus Aktual. Jakarta: PT Hedropriyono Strategic Consulting.

[2] “Lukas Enembe Resmi Ditahan KPK, Rekening Senilai Rp76,2 Miliar Diblokir”, diakses di https://www.hukumonline.com/berita/a/lukas-enembe-resmi-ditahan-kpk--rekening-senilai-rp76-2-miliar-diblokir-lt63bea457a1790/.

[3] “10 Provinsi Termiskin Didominasi Wilayah Timur, Papua Nomor 1”, diakses di https://www.cnbcindonesia.com/research/20230815120846-128-463069/10-provinsi-termiskin-didominasi-wilayah-timur-papua-nomor-1.

[4] ”6 Negara Pasifik yang Getol Singgung Isu HAM Papua di PBB”, diakses di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210927171055-113-700097/6-negara-pasifik-yang-getol-singgung-isu-ham-papua-di-pbb.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image