Hedonisme dan Konsumerisme: Tantangan Mahasiswa Perantau dalam Mengelola Gaya Hidup
Gaya Hidup | 2024-06-21 10:08:46Perilaku hedonisme dan konsumerisme di kalangan mahasiswa yang merantau telah menjadi fenomena yang semakin mendapat perhatian. Para mahasiswa perantau yang mengejar pendidikan di luar kota, sering kali menghadapi tantangan baru dalam mengelola keuangan pribadi mereka. Jauh dari pengawasan keluarga, mereka lebih rentan terhadap godaan gaya hidup konsumtif yang ditawarkan oleh lingkungan yang baru tersebut. Faktor-faktor seperti tekanan sosial, keinginan untuk tampil menarik di mata teman sebaya, serta akses yang lebih mudah terhadap berbagai fasilitas dan produk mewah turut mendorong perilaku konsumtif ini. Hal ini menjadi penting untuk dipelajari karena perilaku konsumtif yang tidak terkendali dapat berdampak negatif pada kesejahteraan finansial dan akademis mahasiswa.
Salah satu kasus yang baru-baru ini sempat diperbincangkan adalah tentang seorang mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang viral karena memamerkan gaya hidup mewah di media sosial. Beasiswa KIP yang diberikan oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya dirancang untuk membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu agar dapat melanjutkan pendidikan tinggi tanpa beban finansial yang berat. Namun sayangnya, penerima beasiswa tersebut justru terlibat dalam perilaku konsumtif yang mencerminkan gaya hidup hedonis.
Kasus ini mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat. Di satu sisi, banyak yang mengecam tindakan tersebut karena tidak pantas dan tidak sesuai dengan tujuan beasiswa yang diberikan. Di sisi lain, ada juga yang melihatnya sebagai contoh dari tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa perantau dalam menyeimbangkan antara kebutuhan akademis dan godaan gaya hidup yang berlebihan.
Perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa perantau dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, faktor psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan sosial dan rasa ingin diterima dalam lingkungan pergaulan baru sering kali menjadi pemicu utama. Pergaulan dengan teman sebaya yang mungkin memiliki latar belakang ekonomi lebih baik dan eksposur terhadap kehidupan kota besar dapat mempengaruhi mereka untuk mengikuti tren gaya hidup. Mahasiswa merantau cenderung mengeluarkan uang lebih banyak untuk barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, seperti pakaian bermerek, gadget terbaru, dan hiburan mahal. Saya sendiri merasa bahwa aspek ini cukup menjadi tantangan bagi saya. Terkadang, jika saya berhasil mencapai sesuatu atau justru merasa jenuh dengan tugas maka saya mudah terpengaruh oleh teman-teman saya untuk mencari hiburan yang mengeluarkan uang dengan jumlah yang cukup besar. Setelah mengeluarkan uang tersebut, saya merasa bahwa hal itu tidak apa-apa karena merupakan bayaran untuk menghilangkan rasa jenuh ataupun menyebutnya dengan “self-reward” karena telah mencapai sesuatu. Sebenarnya tidak apa-apa untuk sesekali, namun sangat bahaya jika sering melakukan hal itu. Kedua, kurangnya pengalaman dalam mengelola keuangan pribadi juga memainkan peran penting. Banyak mahasiswa yang belum terbiasa membuat anggaran dan menabung, sehingga lebih mudah terjebak dalam gaya hidup boros. Penelitian juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang merantau sering kali tidak memiliki pendapatan tetap dan bergantung pada kiriman dari orang tua, yang kadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ditambah dengan keinginan konsumtif mereka. Hal ini sering terjadi pada teman-teman saya yang merantau juga. Mereka kurang mampu mengatur batasan dalam pengeluaran uang, sampai sampai mereka tidak sadar bahwa uang yang ia miliki tinggal sedikit. Dan pada akhirnya, ia harus merelakan jatah makan harian mereka di akhir bulan sampai menunggu kiriman uang lagi dari orang tua.
Perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa yang merantau merupakan isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis, sosial, dan ekonomi. Adanya dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan godaan gaya hidup yang buruk ini. Untuk mengatasi masalah ini, terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan oleh para mahasiswa perantau untuk terhindar dari gaya hidup hedonisme dan konsumerisme:
1. Pengembangan Keterampilan Hidup. Mahasiswa dapat mulai belajar mengenai keterampilan hidup dasar seperti memasak, mencuci pakaian sendiri, dan mencari hobi baru yang lebih bermanfaat sekaligus dapat menghibur diri sendiri.
2. Membangun Dukungan Sosial yang Positif. Dukungan dari teman dan komunitas yang sehat dapat membantu mahasiswa menghindari tekanan untuk mengikuti gaya hidup konsumtif dan hedonis. Oleh karena itu, mahasiswa dapat mencari teman yang sebisa mungkin memiliki pandangan gaya hidup yang lebih bijak atau menjadi pendorong bagi teman-teman lain untuk mengindari gaya hidup konsumtif dan hedonis.
3. Memanfaatkan Teknologi untuk Manajemen Keuangan. Adanya aplikasi manajemen keuangan seperti Money+ dapat membantu mahasiswa memantau pengeluaran harian, sehingga mereka bisa sadar jika mereka telah mengeluarkan uang lebih dari batas wajar dan dapat mengontrol diri lebih baik lagi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan mahasiswa perantau dapat mengembangkan kebiasaan finansial yang lebih sehat dan mampu mengelola keuangan mereka dengan lebih bijak. Saya sendiri juga sudah mulai melakukan langkah-langkah tersebut dan berharap agar bisa melakukannya dengan konsisten sehingga dapat terhindar dari gaya hidup konsumtif dan hedonis.
Referensi:
Cobb, C. L., & Jordan, J. M. (2021). The role of social support in college student retention. Journal of College Student Development, 62(1), 76-91.
Yew, S. Y., & Luk, S. T. K. (2022). Digital financial literacy: A review of the literature and future research agenda. Journal of Financial Services Marketing, 27(1), 87-101
Nugraha, B. E. (2019). Perubahan perilaku konsumtif pada mahasiswa perantauan (studi kasus mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial) (Bachelor's thesis).
Artikel ini dipublish sebagai bentuk pemenuhan tugas mata kuliah Logika dan Pemikiran Kritis PDB 67, Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.