Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fauzan Aryano Putra

Pembunuhan Dalam Perspektif Islam

Agama | 2024-06-18 11:35:43
Ilustrasi Pembunuhan (foto : Merdeka.com)

Beberapa belakangan ini kasus pembunuhan tidak asing lagi untuk di dengar, sering kali kita lihat berbagai macam kasus pembunuhan di berbagai media masa, tapi apakah kita sudah mengetahui bagaimana pembunuhan dalam perspektif islam?

Pembunuhan (al-qatl) merupakan satu tindak pidana menghilangkan nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Dalam fikih, tindak pidana pembunuhan (al-qatl) disebut juga dengan al- jinayah ‘ala an-nafs al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia).

Ulama fikih mendefinisikan pembunuhan dengan “Perbuatan manusia yang berakibat hilangnya nyawa seseorang” (Audah, 1992 Juz 2:6).

Menurut Wakban Zuhaili pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang (Zuhaili, 1984:2:7). Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Dasar Keharaman Membunuh, banyak sekali ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. yang menyatakan keharaman membunuh tanpa suatu sebab yang dihalalkan syarak. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al Isra’:33)

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al Isra’: 31)

Jumhur ulama fikih, termasuk ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, membagi tindak pidana pembunuhan tersebut kepada tiga macam sebagai berikut:

1) Pembunuhan sengaja yaitu, suatu pembunuhan yang disengaja, dibarengi dengan rasa permusuhan, dengan menggunakan alat yang biasanya dapat menghilangkan nyawa, baik secara langsung maupun tidak, seperti menggunakan senjata, kayu atau batu besar, atau melukai seseorang yang berakibat pada kematian.

2) Pembunuhan semi sengaja, yaitu suatu pembunuhan yang disengaja, dibarengi dengan rasa permusuhan, tetapi dengan menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan, seperti memukul atau melempar seseorang dengan batu kecil, atau dengan tongkat atau kayu kecil.

3) Pembunuhan tersalah, yaitu suatu pembunuhan yang terjadi bukan dengan disengaja, seperti seseorang yang terjatuh dari tempat tidur dan menimpa orang yang tidur di lantai sehingga ia mati, atau seseorang melempar buah di atas pohon, ternyata batu lemparan itu meleset dan mengenai seseorang hingga tewas.

Hukum pidana Islam memberikan sanksi pidana pembunuhan yang disengaja berupa qishas, yaitu hukuman yang sama dengan perbuatan yang telah dilakukannya, oleh karena perbuatannya berupa pembunuhan, maka pelaku juga akan mendapatkan sanksi pidana pembalasan berupa dibunuh atau dihukum mati.

Namun dalam hukum pidana Islam dikenal adanya pemaafan atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dari keluarga korban. Pemaafan ini dapat meringankan hukuman terhadap pelaku, dimana yang seharusnya pelaku mendapatkan sanksi hukuman qishas, namun karena adanya pemaafan dari keluarga korban maka pelaku dapat dibebaskan dari hukuman qishas diganti dengan membayar diyat kepada keluarga korban atau wali. Wali adalah orang yang berhak menuntut pembalasan, yaitu ahli waris dari korban. Wali inilah yang berhak menuntut dijatuhkannya pidana terhadap pelaku, bukan penguasa (pemerintah). Tugas pemerintah hanyalah menangkap si pembunuh. Oleh karena itu keputusan sepenuhnya diserahkan kepada wali korban.

Mengenai besarnya diyat, dijelaskan dalam Hadis Rasulullah SAW, yang artinya: “Barangsiapa membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh, jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada dia.”

Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua Bab XIX Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 mengenai Kejahatan Terhadap Nyawa. Sedangkan pada tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja diatur dalam Buku Kedua Bab XXI KUHP Pasal 359. Landasan hukum mengenai tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam diatur dalam beberapa ayat dalam Al- Qur’an antara lain: Surat Al-Maaidah ayat 27-31, Surat Al-An’aam ayat 151, Surat Al- Israa’ ayat 31 dan 33, dan juga diatur dalam Hadis Nabi Muhamad SAW. Dasar Pelaksanaan Pemidanaan Pidana Islam antara lain Dasar Keadilan, Dasar Manfaat, Dasar Keseimbangan, Dasar Kepastian Hukum, Dasar Praduga Tak Bersalah, Asas Legalitas, Dasar Asas Pemberian Maaf, Dasar/Asas Musyawarah. Semua dasar yang digunakan dalam pelaksanaan pemidanaan Pidana Islam tersebut sesuai dengan tujuan Pemidanaan menurut KUHP. Meski dalam KUHP tujuan pengenaan pidana tidak dirumuskan secara eksplisit. Namun demikian, dalam Rancangan KUHP tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan, baik bersifat pembalasan maupun pencegahan, dirumuskan secara lebih gamblang. Pemidanaan bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Dengan pemidanaan, diharapkan konflik antara pembuat dan korban dapat selesai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image