Stigma Negatif Indonesia: Gerakan Feminisme Anti-Man?
Pendidikan dan Literasi | 2024-06-17 11:44:42Kata “Feminisme” mungkin dahulu terdengar asing bagi masyarakat Indonesia, namun tidak dengan sekarang. Menurut Iqbal, Amanda, dan Anchella (2023), feminisme adalah gerakan sosial, politik, dan budaya yang mengadvokasi kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Gerakan feminisme ini dilakukan agar perempuan dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pria di seluruh aspek kehidupan. Gerakan feminisme ini dibentuk karena maraknya budaya patriarki yang sering terjadi pada kaum perempuan pada zaman dahulu.
Seperti yang kita ketahui, budaya patriarki menjadikan para perempuan tidak memiliki kebebasan dalam memilih apapun di semua bidang kehidupan. Dengan adanya gerakan feminisme ini, para perempuan berharap mendapatkan kedudukan yang setara dalam berbagai aspek. Akan tetapi, kesetaraan yang diinginkan para perempuan ini membawa kesalahpahaman di mata dunia. Gerakan feminisme ini sering disangkutpautkan dengan gerakan anti-man atau gerakan pembenci pria.
Gerakan feminisme ini sebenarnya sudah dimulai di Indonesia pada tahun 1912 saat Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh perempuan terkemuka di Jawa pada masa kolonial Belanda, menulis serangkaian surat mengenai hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, gerakan feminisme ini semakin berkembang yang dibuktikan dengan lahirnya organisasi-organisasi perempuan seperti Gerakan Wanita Indonesia dan Kongres Perempuan Indonesia (Wibowo, 2022).
Gerakan feminisme di Indonesia tidak berbeda dengan gerakan feminisme yang digerakkan dunia, yaitu fokus untuk menyuarakan isu-isu mengenai kesetaraan gender apapun terutama perempuan yang seringkali tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Alih-alih mendapatkan kesetaraan posisi dan hak sama halnya dengan laki-laki, gerakan feminisme ini mengalami tantangan di Indonesia. Tantangan tersebut ialah stigma-stigma negatif yang sebenarnya tidak sesuai dengan isu yang sebenarnya diperjuangkan oleh gerakan feminisme. Salah satu stigma tersebut adalah gerakan feminisme dianggap sebagai gerakan yang pembenci pria atau seringkali disebut sebagai gerakan anti-man.
Gerakan feminisme di Indonesia berfokus pada isu kekerasan pada perempuan, diskriminasi di tempat kerja, dan kesenjangan dalam akses pendidikan dan kesehatan (Wibowo, 2022). Perempuan rentan mendapatkan perlakuan yang kurang sopan dan kekerasan secara verbal dan seksual pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, perempuan seringkali didikte dalam segala aktivitas yang dilakukan setiap harinya. Perempuan selalu dituntut oleh masyarakat untuk menjadi perempuan yang sesuai dengan standar moral.
Semisal dalam rumah tangga, para perempuan harus menjadi istri yang baik dan harus selalu menuruti perintah suaminya, Perempuan tidak boleh mencela ataupun membuka suara pada suatu hal yang menurut perempuan tersebut adalah hal yang benar. Para perempuan selalu dituntut untuk menjadi istri yang selalu tunduk pada perintah suaminya. Seakan-akan istri yang tunduk pada suaminya adalah kewajiban bagi para perempuan yang sudah menikah.
Kemudian, di dunia pekerjaan, para perempuan seringkali mendapatkan diskriminasi mengenai cara berpakaian, cara berbicara, dan cara bertingkah laku. Para perempuan diharuskan untuk mengikuti standar ekspektasi masyarakat. Para perempuan seakan-akan tidak diperbolehkan untuk menjadi diri sendiri dan harus selalu mengikuti standar ekspektasi yang diharapkan masyarakat. Selain itu, para perempuan sulit untuk menjadi pemimpin di sebuah tim dalam dunia pekerjaan. Para perempuan seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak berspesifikasi untuk menjadi seorang pemimpin seperti laki-laki.
Lalu, para perempuan juga seringkali mendapatkan kesenjangan dalam akses pendidikan dan kesehatan. Istilah “perempuan tidak perlu mengemban pendidikan tinggi” tetap saja berlaku hingga sekarang, walaupun ada beberapa pihak yang ikut tidak mendukung istilah ini. Para perempuan dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan setinggi-tingginya karena masyarakat menganggap bahwa para perempuan pada akhirnya akan tetap menjadi ibu rumah tangga yang bertugas untuk mengurus anak dan suami.
Isu-isu seperti inilah yang terus diperjuangkan oleh gerakan feminisme. Akan tetapi, laki-laki seringkali salah paham dengan tujuan dari feminisme dalam mendukung isu-isu yang sudah dijelaskan sebelumnya. Laki-laki menganggap gerakan feminisme sebagai gerakan untuk mendominasi laki-laki. Hal tersebut tentu saja sebuah kesalahpahaman karena gerakan feminisme ada untuk menggelorakan sebuah gagasan mengenai hak-hak yang seharusnya juga dimiliki para perempuan. Gerakan feminisme ini tidak dibentuk untuk menurunkan ataupun menggantikan posisi laki-laki pada aspek kehidupan.
Kemudian, laki-laki menganggap bahwa gerakan feminisme mengangkat isu kesetaraan gender sama halnya dengan kesetaraan peran dalam kehidupan sehari-hari. Laki-laki menuntut para perempuan untuk dapat melakukan peran sama halnya dengan laki-laki seperti mengangkat beban berat dan mencari nafkah. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konsep yang diperjuangkan oleh gerakan feminisme. Gerakan feminisme menyuarakan konsep kesetaraan gender. Kesetaraan gender yang dimaksud adalah kesetaraan dalam hak-hak dan posisi yang didapatkan oleh laki-laki, namun tidak didapatkan para perempuan sebelumnya.
Selain itu, gerakan feminisme juga sering dianggap laki-laki hanya mendukung para perempuan dan tidak sebaliknya. Hal tersebut tidaklah benar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gerakan feminisme mengangkat konsep kesetaraan. Jika laki-laki juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan para perempuan, maka gerakan feminisme juga ada untuk mereka dan berada di pihak mereka untuk mendukung konsep kesetaraan. Gerakan feminisme ini bukan hanya untuk para perempuan, tetapi gerakan ini juga ada untuk laki-laki dengan konsep kesetaraan gender.
Gerakan feminisme bukanlah gerakan anti-man. Gerakan ini menjunjung tinggi konsep kesetaraan gender, bukan berarti kesetaraan peran. Kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan hak-hak serta posisi perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Gerakan ini terbentuk bukan untuk menghilangkan, menggantikan, ataupun menganaktirikan posisi dan hak-hak laki-laki. Gerakan feminisme ini bukan hanya untuk menyudutkan laki-laki, tetapi juga ada untuk laki-laki sesuai dengan konsep kesetaraan gender. Gerakan feminisme ini ada untuk memberikan hak-hak, posisi, dan kebebasan pada perempuan yang saat ini masih berada dalam dominasi budaya patriarki.
Referensi :
Marissa, Anita. (2018). Bercakap Bersama Gita Savitri : Menjadi Perempuan. (Bercakap Bersama Gita Savitri: Menjadi Perempuan | Greatmind , diakses 12 Juni 2024).
Muhammad, Iqbal R., Prasetya, Amanda P., & Diva, Anchella R. (2023). Budaya Pengaruh dan Budaya Patriarki Terhadap Gerakan Perubahan Feminisme Dalam Organisasi. Jurnal Manajemen dan Bisnis Ekonomi, 1(2), 150–159.
Wibowo, Bayu A. (2022). Feminisme Indonesia. Historical Studies Journal, 4(2), 125–136.
Penulis : Egidia Girama Iriani Manullang (PDB 74, 151231050)
Tujuan : Artikel ini ditulis untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester dari mata kuliah Logika dan Pemikiran Kritis, Universitas Airlangga (2024).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.