Perspektif Agama dan Bangsa Indonesia
Agama | 2024-06-14 18:18:55Indonesia bukan hanya sekadar entitas fisik yang terdiri dari daratan dan perairan, melainkan juga merupakan sebuah konsep virtual yang mencakup berbagai pulau yang dulu menjadi jajahan kolonial Belanda, serta sejumlah pulau lainnya. Konsep virtual ini tidak terbentuk hanya melalui pengamatan dan sentuhan indera semata, melainkan lebih disebabkan oleh peran imajinasi manusia. Indonesia adalah hasil dari sebuah imajinasi kolektif. Dalam konteks ini, proses pembentukan Indonesia sebagai suatu imajinasi yang memiliki dimensi politis tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama-agama yang ada di Indonesia.
Perjalanan sejarah Indonesia menunjukkan bahwa agama selalu memainkan peran yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan masyarakat dan budayanya. Dimulai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang menjadi bagian dari aliran kepercayaan kuno di Nusantara, hingga muncul dan berkembangnya peradaban Hindu dan Buddha yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, datangnya agama Islam yang menyebar luas dan menjadi salah satu agama mayoritas di Indonesia. Tidak hanya itu, agama Kristen juga masuk dan menyebar di Indonesia, terutama dibawa oleh penjajah Portugis, Belanda dan Inggris. Semua ini menunjukkan bahwa perjalanan sejarah Indonesia sangat erat kaitannya dengan berbagai agama. Saat ini, di era reformasi demokrasi, hubungan antara berbagai agama serta posisi agama dalam ranah publik dan politik di Indonesia terus menjadi topik penelitian dan diskusi yang kontroversial dan relevan.
Hans Küng, seorang filsuf dan teolog yang terkenal karena pemikirannya tentang etika global, sering kali mengungkapkan bahwa, "Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama. Tidak ada perdamaian antara agama tanpa dialog antaragama. Dan tidak ada dialog antaragama jika masing-masing agama tidak menggali fondasinya masing-masing." Pernyataan ini secara jelas menggarisbawahi betapa pentingnya peran agama dalam proses perkembangan peradaban manusia. Küng menegaskan bahwa perdamaian global hanya bisa tercapai jika ada harmoni antara berbagai agama, dan harmoni ini sendiri memerlukan dialog yang terbuka dan mendalam antara pemeluk berbagai agama. Dialog semacam ini hanya bisa terwujud jika setiap agama memahami dan menggali kembali fondasi dan ajaran inti mereka masing-masing. Dari pernyataan Küng, terlihat bahwa agama memiliki pengaruh yang sangat besar dan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan peradaban secara keseluruhan. Peradaban manusia, dalam banyak aspek, terbentuk dan berkembang berkat kontribusi dan interaksi dari berbagai tradisi keagamaan.
Agama muncul pada saat peradaban berada dalam keadaan kacau, di mana perang dan kekerasan terjadi di berbagai tempat. Ironisnya, sekarang agama sering kali dijadikan alasan untuk melakukan perang dan kekerasan dalam skala yang lebih besar. Dalam sejarah pemikiran manusia, ada periode yang dikenal sebagai zaman Pencerahan kuno. Pada masa ini, banyak nabi besar Yahudi muncul dan menyebarkan ajarannya. Selain itu, para filsuf Yunani kuno juga mengembangkan filosofi mereka dan berkeliling untuk menyebarkannya. Di Cina, Taoisme dan Konfusianisme berkembang pesat. Hampir bersamaan dengan perkembangan tersebut, nabi-nabi dan pemikir besar ini melahirkan agama-agama dan berbagai ajaran kehidupan yang berfokus pada kedamaian dan cinta kasih. Periode ini menunjukkan bahwa meskipun agama dan ajaran moral lahir di masa kekacauan, intisari dari ajaran-ajaran tersebut sebenarnya adalah untuk menciptakan kedamaian dan menumbuhkan kasih sayang di antara manusia. Namun, pergeseran makna dan interpretasi sepanjang sejarah telah membuat agama kadang-kadang disalahgunakan sebagai justifikasi untuk kekerasan.
Namun, seiring berjalannya waktu, semangat perdamaian dan cinta kasih yang awalnya dibawa oleh agama mulai menghilang, ditelan oleh zaman dan berbagai peristiwa. Ajaran agama, yang seharusnya mempromosikan toleransi dan kasih sayang, berubah menjadi sumber intoleransi, mengajarkan kebencian terhadap mereka yang berbeda. Perang antaragama tidak hanya menghancurkan peradaban, tetapi juga meninggalkan luka kolektif yang mendalam, menciptakan trauma sosial yang berdampak negatif lintas generasi. Agama yang awalnya bertujuan untuk membawa kedamaian kini sering kali digunakan sebagai alat untuk berbagai tujuan, termasuk justifikasi tindak kekerasan dan penghancuran. Dengan demikian, agama tampaknya telah melupakan alasan keberadaannya yang sebenarnya, yaitu untuk mengajarkan perdamaian dan kasih sayang.
Berdasarkan fakta-fakta historis tersebut, muncullah para pemikir yang berpendapat bahwa agama sebaiknya dipinggirkan dari ruang publik. Mereka berpendapat bahwa ruang publik harus tetap netral tanpa campur tangan ajaran agama. Mereka menekankan pentingnya menjaga kebebasan dari pengaruh agama dalam ranah publik. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa agama cenderung melahirkan fanatisme, intoleransi, dan pemikiran sempit, sehingga seharusnya tidak ikut serta dalam debat publik. Mereka menegaskan bahwa agama adalah urusan personal yang seharusnya ditempatkan di ruang-ruang pribadi, bukan dibawa ke dalam ranah debat publik. Inilah pandangan pertama tentang bagaimana hubungan antara agama dan ruang publik politis dalam masyarakat demokratis seharusnya diatur.
Argumen di atas sangat tajam dan segera memunculkan tanggapan dari banyak pemikir yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Mereka menunjukkan bahwa agama telah jatuh ke dalam kontradiksi; agama yang awalnya dimaksudkan untuk mengkritik dan melawan kekerasan kini justru sering kali menjadi pembenaran bagi tindakan kekerasan tersebut. Awalnya, agama lahir dengan tujuan mulia untuk membebaskan dunia dari kebiadaban dan kejahatan. Namun, banyak pemikir modern melihat bahwa agama malah sering kali berperan sebagai simbol kebiadaban. Hal ini didasarkan pada sejarah panjang yang penuh dengan pertumpahan darah dan konflik yang terjadi atas nama agama. Para pemikir ini menekankan bahwa, alih-alih menjadi sumber kedamaian, agama sering kali digunakan untuk melegitimasi kekerasan dan peperangan.
Dari argumen tersebut, muncullah ateisme. Ateisme hadir bukan sebagai simbol kebiadaban, melainkan sebagai ekspresi dari keinginan manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, bebas dari intoleransi, perang, dan segala bentuk kekerasan. Ateisme dianggap sebagai upaya untuk memurnikan esensi agama, menghilangkan unsur-unsur yang menyebabkan fanatisme dan kekerasan. Dalam pandangan ini, ateisme berfungsi sebagai panggilan bagi para penganut agama untuk kembali menghayati inti dan fondasi ajaran agama mereka masing-masing, yang sebenarnya mengajarkan kedamaian, toleransi, kasih saying dan cinta kasih.
Ateisme sebaiknya tidak dipandang sebagai musuh agama, tetapi sebagai mitra yang berbicara jujur dan tajam, yang pada akhirnya dapat menguntungkan perkembangan agama itu sendiri. Ateisme bukanlah titik akhir, tetapi awal dari sikap kritis terhadap praktik keagamaan manusia, yang kemudian mendorong upaya membangun hubungan yang lebih manusiawi antara berbagai agama. Seperti yang diungkapkan oleh Hans Küng, dialog antar agama hanya mungkin terjadi jika setiap agama bersedia untuk mengeksplorasi kembali nilai-nilai dan landasannya sendiri. Dalam konteks ini, agama diundang untuk kembali memahami esensi mendasar yang membentuk identitas spiritual mereka masing-masing.
Apa yang sebenarnya menjadi hakikat dari agama? Esensi dari agama adalah pengalaman mistik yang mengguncang jiwa dan mendorong seseorang untuk mencintai mereka yang berbeda. Semua agama berakar pada pengalaman paradoksal semacam itu. Agama merupakan sebuah jalan yang memaksa individu untuk mencintai hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri. Ketika proses eksplorasi terhadap fondasi agama mencapai titik ini, maka jembatan dialog antar agama dapat dibangun dengan kuat dan indah. Mungkin surga tidak hanya ada di masa depan setelah kita tiada, tetapi juga dapat diwujudkan di bumi ini, asalkan agama tidak melupakan esensi yang sejati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.