Maraknya Perceraian Berakibat Menurunnya Minat Menikah pada Generasi Z
Info Terkini | 2024-06-13 07:04:40Sebesar 88% generasi Z enggan untuk terlibat dalam pernikahan karena menemukan tingginya kasus perceraian dalam pernikahan. Trauma generasi Z menyebabkan mereka memilih melajang karena hal ini dianggap mampu mengurangi angka perceraian.
Hal tersebut juga didukung dari data Badan Pusat Statistik di Indonesia yang menunjukkan, sebesar 61,09% generasi Z tidak ingin menikah. C.W Headley menyebutkan bahwa salah satu penyebab penolakan terhadap pernikahan oleh generasi Z karena adanya trauma akibat telah melihat banyaknya kasus perceraian dari keluarga atau orang-orang terdekat.
Trauma akan banyaknya kasus perceraian sendiri dapat memicu generasi Z untuk berfikir bahwa pernikahan adalah sebuah hal yang percuma saja dilakukan. Karena setelah melihat kasus pernikahan yang tidak bahagia hingga berujung pada perceraian dapat membuat sebuah pernikahan tidak menduduki tempat utama dalam daftar prioritas mereka. Mereka juga pastinya akan beranggapan dengan adanya pernikahan makin memperbanyak beban yang harus mereka tanggung. Seperti omongan-omongan orang jika pasangan mereka belum sesuai dengan kriteria yang umum di masyarakat, dimana laki-laki harus memiliki gaji yang lebih tinggi dari perempuan, jika tidak laki-laki tersebut diaggap tidak dapat menafkahi dengan benar, perempuan yang harus merelakan karirnya karena suami yang tidak mengijinkannya bekerja dan harus mengurus rumah serta anak, belum lagi mengenai kesiapan mental dan juga kesepatakan dalam nilai dan gaya hidup yang harus di sesuaikan.
Sebuah pernikahan yang seharusnya sakral, dipikirkan dengan matang serta bijak akan dianggap sebagai ajang untuk menunjukkan bahwa mereka sudah layak dikatakan dewasa karena sudah mampu menjalankan berahtera rumah tangga. Kalau ujung-ujungnya sebuah pernikahan dilaksanakan lalu terjadi sebuah perceraian, maka semua hal yang sudah mereka lewati harus terbuang dengan percuma. Percuma dulu keluar dari perkerjaan jika harus jadi orang yang gagal dalam pernikahan dan harus berjuang lagi untuk melamar pekerjaan, percuma menyesuikan gaya hidup dan lingkungan kalau akhirnya perceraian yang didapatkan. Hal inilah yang mengakibatkan angka pernikahan di Indonesia telah menurun, sesuai dengan laporan dari BPS pada tahun 2024, angka pernikahan pada tahun 2023 sebanyak 1.577.255 angka menurun sekitar 128.093 dibandingkan tahun 2022. Penurunan ini mencapai 7,51% dari tahun sebelumnya. Tren penurunan angka pernikahan ini telah terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Dengan angka penurunan mencapai 28,63%, atau setara dengan sekitar 632.791 kasus pernikahan.
Generasi Z yang belum tau sama sekali tentang pernikahan itu apa, lalu hal apa saja yang harus di persiapkan, ilmu agama tentang pernikahan yang harus mereka ketahui dan juga di terapkan dalam kehidupan rumah tangga, mempersiapkan mental menjadi seorang istri dan suami, menjadi seorang orang tua nantinya, mendiskusikan mengenai biaya dalam pernikahan. Bahkan seringkali suami hanya memberikan uang untuk kebutuhan rumah tapi tidak memberikan nafkah untuk kebutuhan istrinya. Kebanyakan mereka hanya mau istri cantik tapi tidak diberikan modal untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Atau istri yang selalu merasa nafkah yang diberikan suami selalu kurang, dan akhirnya munculah sebuah konflik selalu terjadi setiap ataupun setiao bulan. Hal-hal seperti ini yang seharusnya dari awal, sebelum adanya pernikahan dibicarakan agar tidak adanya perceraian yang akan terjadi nantinya.
Trauma itu muncul karena pengaruh dari lingkungan yang ada disekitar mereka. Lingkungan yang buruk dapat membuat trauma itu akan tetap ada dan tidak bisa hilang karena melihat banyaknya perceraian, begitu juga jika lingkungan baik maka akan melihat pasangan suami istri yang bisa saling menghargai, menghormati dan juga menyayangi.
Dampak dari adanya trauma itu bisa berujung pada mereka akan memutuskan melajang seumur hidup atau juga bisa menjadi dampak yang baik jika trauma tersebut ditangani dengan bijak. Trauma itu akan membawa ke pemikiran yang merubah tentang perspektif mereka terhadap sebuah pernikahan hingga sebuah perceraian. Pemikiran baru yang dapat membuat mereka memberanikan diri untuk memulai sebuah hubungan hingga ke jejang pernikahan dan akan belajar banyak hal mengenai banyaknya alasan yang mempengaruhi terciptanya perceraian.
Perceraian dianggap sebuah aib bagi beberapa orang. Padahal banyak dampak yang terjadi jika sebuah pernikahan yang hampir berujung ke perceraian tapi tetap dilanjutkan. Seperti adanya sebuah tindakan KDRT yang dilihat oleh anak, dan ketika pernikahan itu tetap diteruskan anak akan merasakan trauma karena melihat kekerasan yang dilakukan orang taunya. Semua itu tergantung dengan konflik dan cara komunikasi yang terjadi di sebuah pernikahan. Tidak semua konflik harus diselesaikan dengan cerai, banyak hal yang bisa dirubah agar pernikahan itu bisa lebih baik lagi. Ada juga yang memang harus diselesaikan dengan cara bercerai. Kembali lagi tergantung pada setiap pasangan memiliki konflik apa dan bagaimana cara mereka berkomunikasi serta menyelesaikan konflik tersebut.
Para generasi Z sekarang sudah banyak yang mempunyai pandangan luas mengenai ilmu pernikahan. Mereka yang sekarang paham bahwa pernikahan bukan ajang perlombaan, pernikahan adalah ikatan sakral, melangkah ke jenjang pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan tapi juga dua keluarga. Hal seperti itu dapat membuat mereka lebih banyak mempersiapkan segala hal sebelum mejalani sebuah ikatan tersebut. Mulai dari usia yang sudah pantas untuk menikah, banyak ilmu parenting yang sudah mereka dapatkan dan bisa mereka aplikasikan nantinya. Bisa menjadi orang tua yang siap secara mental, pikiran, biaya bahkan lingkungan untuk menyambut sosok pelengkap dalam sebuah pernikahan yaitu anak.
Isu-isu mengenai perceraian yang marak terjadi seharusya tidak menjadikan generasi Z enggan dalam menikah. Perceraian yang terjadi dalam masyarakat bukan berarti semua pernikahan akan mengalami sebuah kegagalan. Lebih banyak pernikahan yang berhasil dalam membangun hubungan yang sehat, bahagia dan juga langgeng. Meskipun ada risiko dalam setiap pernikahan, tetapi jika menjalani dengan komunikasi secara terbuka, saling mendukung dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan yang akan muncul maka kesuksesan pernikahan akan terjadi.
Jangan biarkan kekhawatiran mengenai pernikahan maupun peceraian menghalangimu nantinya. Carilah pasangan yang bisa diajak untuk berkomitmen, berdiskusi dan juga mampu belajar untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam pernikahan. Banyaklah mencari ilmu untuk dipelajari agar nantinya ketika dihadapkan dengan sebuah permasalahan kamu dan pasanganmu bisa menyelesaikannya dengan saling bergandeng tangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.