Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sirilus Aristo Mbombo_Pengamat Realitas

Mengapa Bangsa Indonesia Masih Terperangkap dalam Jaring Kebodohan?

Edukasi | Friday, 07 Jun 2024, 11:58 WIB
Sumber: Pixsabay istockphoto.com

Sebagai seorang yang mencintai pendidikan, saya ingin memulai sebuah tulisan ini dengan sebuah pertanyaan yang mendalam. Mengapa bangsa Indonesia masih terperangkap dalam jaring kebodohan? Pertanyaan ini penting karena mendorong setiap individu untuk introspeksi, mempertanyakan kebodohan yang mungkin masih menghuni dalam pikiran mereka. Pertanyaan ini mengajak kita merenung tentang posisi kita sebagai manusia, mengapa kita masih terperangkap dalam kebodohan yang seolah tiada akhir? Sampai kapan kita akan terus berada dalam jerat ini? Apakah kita akan terus mengizinkan diri kita hidup dalam kebodohan?

Menurut pandangan saya, orang yang dianggap bodoh adalah mereka yang tidak mampu memahami realitas di sekitar mereka. Akibatnya, mereka sering melewatkan peluang yang ada di depan mata, bahkan mungkin merusak situasi dan kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan. Sangat disayangkan, hal ini mencerminkan kondisi bangsa kita saat ini. Kita menjadi bodoh karena secara sistematis dan sistemik dibodohi oleh negara kita sendiri. Pemerintah terus menerapkan kebijakan pendidikan yang justru merusak pemahaman kita. Para pejabat pendidikan yang tidak kompeten terus dipilih tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dan pada dasarnya untuk kemajuan suatu negara, diperlukan warga negara yang dapat berpikir secara rasional, logis, kritis, dan memiliki nurani yang jernih.

Namun kenyataannya, kualitas pendidikan kita masih rendah. Pendekatan pengajaran di berbagai institusi pendidikan di Indonesia masih menggunakan metode tradisional yang otoriter, di mana kepatuhan siswa tanpa adanya pertanyaan dianggap sangat penting. Pendapat yang berbeda sering kali dilihat sebagai tanda ketidakpatuhan.

Pertanyaan kritis sering dianggap sebagai tindakan sombong. Kreativitas sering dipandang sebagai sikap yang tidak disiplin. Akibatnya, proses belajar mengajar menjadi tidak menyenangkan dan terasa seperti siksaan bagi para siswa. Dalam situasi ini, beberapa siswa mungkin terjerumus dalam perilaku kenakalan remaja, sementara yang lain mungkin mencari identitas dalam berbagai organisasi radikal. Lebih parahnya lagi, banyak siswa di Indonesia malas membaca buku dan tidak memiliki kesadaran untuk mencari ilmu dan informasi yang bermanfaat bagi pendidikan dan masa depan mereka, dan hal ini menjadi masalah serius untuk pendidikan di Indonesia pada masa sekarang.

Selain itu, dunia pendidikan kita juga terpengaruh oleh banjirnya informasi. Siswa sering diberi tugas menghafal informasi tanpa benar-benar memahaminya, lalu mengulangkannya secara mekanis dalam ujian. Namun, informasi tidak sama dengan pengetahuan, dan tentu tidak sama dengan kebijaksanaan. Banjir informasi dapat membuat individu merasa bingung dan lelah, yang pada akhirnya membuat mereka menjadi apatis dalam kehidupan mereka.

Metode belajar yang mengandalkan hafalan buta masih sering digunakan. Ketaatan buta juga dijunjung tinggi. Sistem pendidikan kita, baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat, justru menghancurkan kemampuan kita untuk berpikir rasional, logis, kritis, kreatif, dan memiliki nurani yang jernih. Metode pembelajaran berbasis hafalan dan kepatuhan tanpa pertanyaan sebenarnya merupakan peninggalan dari sistem pendidikan kolonial. Metode ini diterapkan oleh Belanda pada saat itu. Namun, setelah merdeka, esensi dari pendidikan kolonial tersebut tidak berubah bahkan dilestarikan, sehingga kita tetap berada dalam kondisi yang bodoh dan tertinggal.

Pendidikan semacam ini juga menciptakan budaya kemunafikan. Anak-anak diajarkan untuk jujur, tetapi pemimpin masyarakat sering terlibat dalam tindakan pencurian dan kebohongan kepada rakyat. Anak-anak diajarkan untuk menahan hawa nafsu, tetapi para pemimpin agama malah melakukan hal yang tercela, seperti kekerasan terhadap anak-anak. Sistem pendidikan kolonial juga mengakibatkan kita kurang peka terhadap isu-isu hak asasi manusia.

Manusia diperlakukan sebagai instrumen yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi atau politik semata. Kelompok minoritas terus menderita ketidakadilan. Bangsa yang terpecah belah dan kurang pengetahuan akan selalu ketinggalan dalam perkembangan peradaban dunia.

Kita tetap bodoh karena terus-menerus dibodohi. Kita belum merdeka sepenuhnya. Sebagai bangsa yang besar sangat tampak bahwa kemampuan kita untuk berpikir kritis, jernih, logis dan memiliki hati nurani yang baik masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Dan memicu pertanyaan selanjutnya: sampai kapan kita hidup dalam kondisi seperti ini? Saya berpikir sudah saatnya kita membutuhkan perubahan yang sesungguhnya untuk menemukan makna sejati dari dalam diri manusia yang memiliki kesadaran akan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupannya.

Kebahagiaan yang sejati timbul dari proses pembelajaran yang berkelanjutan, dimana setiap pengetahuan yang diperoleh adalah cahaya bagi perjalanan hidup kita. Pendidikan menjadi sarana penting untuk membuka gerbang menuju kebahagiaan yang sejati, karena melalui pengetahuan kita menemukan makna kehidupan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image