Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Emilia Chalistha Putri

Impak Fenomena Cashless pada Lapisan Masyarakat

Shipping | Wednesday, 05 Jun 2024, 01:16 WIB

Digitalisasi memberikan dinamika perubahan pada tarikan nafas kehidupan masyarakat seluruh dunia. Salah satu inovasi teknologi yang hadir yaitu transaksi menggunakan metode pembayaran digital. Masyarakat umum mengenalnya dengan sebutan cashless, di mana memang secara harfiah bermakna tanpa menggunakan uang tunai. Cashless payment mulai digandrungi sejak masa pandemi Covid-19 sebab mampu meminimalisir kemungkinan kontak antar individu.

Cashless payment memberikan berbagai pilihan alat pembayaran yang bisa disesuaikan dengan preferensi masyarakat. Kartu debit ataupun kredit menjadi cashless yang paling umum dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat. Beralih dari jenis kartu tersebut, terdapat alat pembayaran lain yang selaras dengan kemajuan digital masa kini, yaitu e-money. Sistem ini menawarkan penyimpanan uang elektronik dalam chip maupun aplikasi smartphone. Kacamata Gen Z lebih familier dengan e-money berbasis elektronik, seperti Ovo, GoPay, ShopeePay, LinkAja, Dana, dan aplikasi sejenisnya.

Meluasnya praktik cashless memberikan berbagai daya tarik dan keuntungan bagi penggunannya. Prosesnya dianggap praktis karena tidak perlu membawa dompet setebal roti dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pengguna tidak perlu lagi memikirkan uang kembalian ketika bertransaksi, sebab cashless payment cukup mengeluarkan nominal yang harus dibayarkan. Proses transaksinya terkenal cepat dan bebas dilakukan dimanapun kapanpun pengguna membutuhkan. Selain itu, berbagai aplikasi e-money sering memberikan promo penghematan biaya bagi pengguna yang melakukan transaksi sehingga intensitas daya tariknya semakin meningkat.

Namun, apakah keuntungan-keuntungan tersebut benar dapat dirasakan oleh lapisan masyarakat secara merata? Memang benar berdasarkan penuturan dari beberapa populasi Gen Z mereka enjoy dengan fenomena cashless tersebut. Kedekatannya dengan lingkup teknologi membuat adaptasi dengan sistem cashless payment cukup cepat dan mudah. Lingkup transaksi kehidupannya juga mendukung untuk menggunakan pembayaran tanpa uang, sehingga dampak kebermanfaatannya benar-benar terasa.

Berkaca kembali bahwa di Indonesia populasi penduduk yang hidup tidak hanya dipenuhi dengan Gen Z. Masih banyak Generasi Baby Boomers, X, dan Y yang belum menormalisasi pesatnya digitalisasi dunia. Kecenderungan penolakan wajar dilontarkan oleh generasi-generasi tersebut karena memang banyak yang belum percaya dengan kenyataan teknologi. Ketidakpercayaan ini muncul disebabkan terjadinya kebingungan terkait proses praktiknya sehingga menimbulkan efek kekhawatiran akan sistem cashless payment. Hal tersebut harusya tidak perlu dihakimi sepihak oleh Gen Z khususnya.

Skeptisisme berbagai lapisan masyarakat semakin menebal ketika muncul kasus-kasus cyber crime di laman berita, sehingga mereka berasumsi bahwa besar kemungkinan hal tersebut terjadi ketika menyetujui praktik cashless payment. Sebenarnya tidak semua Gen Z satu suara untuk menyetujui sistem cashless payment. Beberapa di antara mereka cenderung merasa cahless payment mendukung gaya hidup boros. Opini tersebut diikuti oleh beberapa alasan penguat, seperti tidak merasa mengeluarkan uang ketika bertransaksi karena prosesnya sekedar klik pada aplikasi e-money. Timbulnya perasaan ringan saat transaksi memberikan peluang boros karena memang transaksinya ringan serasa tanpa rem.

Keresahan-keresahan cashless payment ternyata muncul dalam lintas generasi, teramasuk Gen Z. Tetapi hal ini tidak cukup untuk memberhentikan praktik transaksinya di Indonesia. Mengingat cashless payment telah menjadi alat pembayaran sah di mana telah tertuang dalam Pasal 156 Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 yang pada intinya menjelaskan bahwa uang elektronik merupakan instrumen pembayaran sah dalam artian sama dengan uang tunai asalkan menggunakan mata uang rupiah. Munculnya peraturan tersebut samkin menggencarkan pelaku usaha untuk menggunakan sistem cashless payment dalam transaksi dengan alasan efisiensi proses.

Tidak sedikit pelaku usaha yang mulai bergeser pada cashless payment melalui QR Code. Bahkan mereka enggan untuk menerima uang tunai dalam proses transaksi dengan alasan keseragaman transaksi. Padahal tidak semua konsumen punya dan paham akan sistem transaksi menggunakan cashless. Memang awalnya sistem tersebut berlaku pada lingkup Gen Z saja, tetapi semakin lama hal ini merambah pada pelaku usaha lain yang sasaran konsumennya generasi-generasi sebelum Gen Z.

Penolakan uang tunai seharusnya dapat dihentikan terlebih di Indonesia karena terdapat undang-undang yang mengaturnya. Berdasar pada Pasal 33 ayat 2 UU mata uang yang jelas berbunyi “Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keragunan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Regulasi telah jelas menyatakan bahwa penolakan uang tunai dapat memungkinkan tuntutan pidana. Memang tujuan cashless payment positif terlebih untuk zaman digital saat ini, namun praktiknya tidak perlu hingga berujung pada penolakan uang tunai. Lapisan masyarakat yang beragam tentunya masih membutuhkan transaksi uang tunai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa perlu paksaan untuk menganut sistem cashless.

Penulis sependapat jika cashless payment diterapkan dalam proses transaksi sehari-hari karena menimbang banyak sekali keuntungan dan kemudahan yang ditawarkan. Sistem ini juga bisa mendukung digitalisasi di Indonesia khususnya. Namun, penerapannya juga perlu memperhatikan populasi generasi yang akan menggunakannya. Terlebih generasi-generasi sebelum Gen Z yang masih skeptis terhadap teknologi perlu menjadi pertimbangan untuk menerapkan cashless payment untuk keseluruhan konsumen. Terdapat saran yang dapat dilakukan sebelum menormalisasi cashless payment di seluruh lapisan masyarakat, yaitu:

Literasi Digital

Gencaran edukasi pemberian informasi keamanan, keuntungan, dan proses penggunaan sistem cashless payment penting dilakukan kepada generasi-generasi yang masih skeptis dengan teknologi digital. Upaya tersebut ditujukan untuk membangun kepercayaan sebagai adaptasi yang mendorong pemahaman pikir dan menyetujui penerapan cashless payment.

Pemenuhan Aksesibilitas

Penerapan cashless payment tentunya harus dibarengi dengan pemerataan jangkauan infrastruktur internet karena menjadi unsur kelancaran proses transaksi. Selain itu, aplikasi e-money yang digunakan perlu dipastikan kejelasan desain instruksi sebagai tonggak awal pemahaman bagi pengguna.

Opsi Pembayaran

Apabila saran-saran di atas belum terlaksana secara tepat dan merata, sebaiknya cashless payment belum menjadi sistem yang dinormalisasi. Pelaku usaha tepatnya masih memberika opsi pembayaran kepada konsumen secara tunai dan cashless ketika transaksi. Penerapan opsi pembayaran ini tepat dilakukan dan masih sejalan dengan regulasi yang berlaku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image