Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hernita Wahyu Lestari

Mengurai Benang Kusut: Problematika Sekolah Inklusi di Indonesia

Kebijakan | Friday, 31 May 2024, 13:51 WIB
Mengurai Benang Kusut : Problematika Sekolah Inklusi di Indonesia

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), bukan hanya sekadar seremonial saja tetapi harus menjadimomentum nasional untuk meningkatkan spirit masyarakat dalam proses belajar mengajar. Ki Hajar Dewantaramenuturkan bahwa, “pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya,pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat lah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”. Bahkan, berbicara mengenai Hak Asasi Manusia pun, pendidikan merupakan bagian dari hak tersebut yang telah tercantum di dalam kitab undang-undang.

Memberikan fleksibilitas kepada para pengajar dan siswa untuk memilih cara mengajar yang mereka inginkan adalah inti dari Kebijakan Merdeka Belajar, yang dirilis oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makariem. Dalam hal ini pendidikan menyoroti adanya pemerataan dalam dunia pendidikan, tanpa mengesampingkan Hak Asasi Manusia sebagai hak-hak dasar yang melekat dalam diri dan merupakan anugerah dari Tuhan sejak manusia dilahirkan.

Metode pendidikan yang dikenal sebagai pendidikan inklusi memberikan penekanan kuat pada penyediaan kesempatan belajar bagi semua orang, terlepas dari kemampuan, latar belakang, atau kondisi pikiranatau tubuh mereka. Dilema pengecualian pendidikan, sebuah isu yang terus muncul di masyarakat, memunculkan gagasan inklusi. Siswa berkebutuhan khusus dan siswa reguler dapat menerima pendidikan yangsetara di sekolah inklusi dan belajar tanpa menghadapi diskriminasi. Hak atas pendidikan diperluas kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 2.

Pendidikan untuk Semua: Idealita vs. Realita dalam Sekolah Inklusi

Tak hanya sebatas momentum Hari Pendidikan Nasional saja, peringatan down syndrome internasionaljuga menjembatani perihal kesetaraan pendidikan. Direktur Jenderal

Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdas Dikmen), Dr. Iwan Syahril, Ph.D., (14/3) tahun lalu, memberikan sebuah statement “Sekolah hadir memberikan kesetaraan hak bagi setiap anak dan menghadirkan pembelajaran yang mengakomodir semua peserta didik termasuk bagi penyandang disabilitas.”

Sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, satuan pendidikan harus mengembangkan kurikulum berdasarkan prinsip diversifikasi. Dalam konteks pendidikan inklusif, hal ini berarti memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik, baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial maupun yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing.

Hal ini tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 56/M/2022, yangmenguraikan pedoman implementasi kurikulum dalam Kerangka Pemulihan Pembelajaran. atau keterampilan khusus untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.Demikian, APBN yang menjadi jatah pendidikan sudah sepatutnya dimaksimalkan untuk menunjang proses belajar-mengajar PDBK (Peserta Didik Berkebutuhan Khusus).

Namun sangat disayangkan, adanya sekolah inklusi ini belum benar-benar dapat mendukungperkembangan akademik maupun non akademik PDBK. Adanya kebijakan Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional dengan motif menyetarakan pendidikan, kenyataannya tidak diimbangi dengan pemenuhan sarana & prasarana yang memadai. Banyak pihak sekolah inklusi yang mengeluh karena kurangnya pembekalan untuk pendampingan PDBK, fasilitas seperti akses menuju ruang kelas lantai atas yang tidak ramah disabilitas, termasuk Kurikulum Merdeka saat ini, para guru dituntut untuk bisa mengelompokkan anak sesuai dengan kemampuan belajarnya. Anak kinestetik tentu berbeda cara belajarnya dengan anak audio, berbeda lagi dengan anak visual.

Peserta didik ABK karakteristik autis sering kali bertingkah yang mengundang perhatian peserta didik lain. Baik itu duduk didepan, dibelakang atau ditengah, sehingga proses pembelajaran di kelas tidak berjalan dengan baik. Lingkungan sosial yang tidak mendukung emosional ABK, kurangnya keterbukaan siswa-siswi terhadap peserta didik ABK sehingga cenderungmelakukan bullying maupun diskriminasi karena menganggap ABK

adalah sebuah kekurangan yang bisa menjadi lelucon dan menganggap mereka ‘berbeda’. Hal tersebut tentu akan memengaruhi emosional PDBK.

Peran Stakeholder dalam Memecahkan Masalah: Kolaborasi dan Keterlibatan

Sebagai penghormatan terhadap sesama, tentu masyarakat sudah sepatutnya mendukung dan menyuarakan hak-hak asasi manusia dalam kancah pendidikan. Bahkan, penulis yang berstatus mahasiswa bagian dari sivitas akademika juga merasa miris dengan ketimpangan yang ada, terutama di daerah-daerah kabupaten kecil, dimana masyarakatsekitar bahkan orang tua belum aware terhadap hak-hak disabilitas, sehingga lingkungan sosial juga menjadi pionirpenting dalam mendukung kinerja akademik PDBK.

Digitalisasi tentu dapat membawa dampak positif terhadap perjuangan hak-hak disabilitas dalam ranah pendidikan. Beegandengan tangan guna menyampaikan aspirasi terhadap program kemendikbud yang rasanya perlu dievaluasi. Generasi muda juga sepatutnya mampu untuk mengabdikan diri ; berperan membantu teman-teman disabilitas melalui campaign di media sosial, belajar bahasa isyarat sebagai bentuk ramah disabilitas, bantuan sosialberupa sarana yang menunjang kegiatan belajar teman-teman disabilitas. Benar, langkah kecil dari kita berarti besar bagiteman-teman penyandang disabilitas .

REFERENSI

Anis Samchatia, & Suyato. (2023). Hak Dan Kewajiban Siswa Berkebutuhan Khusus Dalam PelaksanaanPendidikan Inklusi Sebagai Pendidikan Nondiskriminasi Di MAN 2

Sleman . Jurnal Kajian Pancasila Dan Kewarganegaraan, 12(030), 290–299.

Annisa, D. (2022). Jurnal Pendidikan dan Konseling. Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 4(1980), 1349–1358.

Kemendikbud, P. W. (2023). Kemendikbudristek Ajak Wujudkan Pendidikan Inklusi yang Adil dan Merata. Kemendikbud.

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2023/03/kemendikbudristek-ajak-wujudkan- pendidikan-inklusi-yang-adil-dan-merata

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image