UKT Tidak Jadi Naik, Terus Bagaimana?
Edukasi | 2024-05-29 21:07:34Salah satu poin perdebatan kontroversial ini adalah pernyataan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, pada Selasa lalu (21/5/2024). Pada saat dipanggil Komisi X DPR untuk mengklarifikasi terkait dilema ini, Mendikbud Nadiem menjelaskan bahwa perubahan pada uang kuliah tunggal (UKT) hanya berlaku untuk mahasiswa baru dan tidak akan mempengaruhi mahasiswa yang tergolong miskin karena pembebanan biaya dilakukan secara berjenjang. Namun, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf berhasil menggarisbawahi permasalahan yang diremehkan Nadiem ini.
Beliau membalas pernyataan Menteri Nadiem dengan mempertanyakan alasan kenaikan UKT secara serempak pada beberapa PTN tahun ini. Beliau bahkan juga menyindirkan kemungkinan bahwa pemerintah menurunkan subsidi kepada lembaga pendidikan. Menanggapi ini, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan bahwa kementerian akan melakukan pengecekan lebih lanjut terkait pola kenaikan UKT yang tidak wajar ini.
Selanjutnya pada Senin lalu (27/5/2024), kita mendapati bahwa Mendikbud Nadiem memutuskan untuk menghentikan seluruh kenaikan UKT pada tahun ini. Selain itu, Menteri Nadiem kembali mengutarakan bahwa kementerian masih akan melakukan pengecekan dan pertimbangan kembali mengenai alasan dari naiknya UKT di perguruan tinggi negeri. Di atas keputusan ini juga, beliau mendorong PTN untuk menerima kembali calon-calon mahasiswa yang sebelumnya mengundurkan diri karena kenaikkan tarif UKT. Meskipun begitu, sebenarnya langkah ini masih belum menangani faktor-faktor yang mengakibatkan kenaikan UKT sejak awal.
Kenaikan UKT ini dapat dikaitkan dengan beberapa hal yang telah lama menjadi norma yang lumrah di sektor pendidikan tinggi Indonesia, namun baru sempat dipertanyakan dengan luas baru-baru ini. Seperti yang diutarakan Tjitjik Sri Tjahjandarie, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, faktanya adalah bahwa pendidikan tinggi di Indonesia sendiri belum gratis, tidak seperti di beberapa negara lain. Bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) atau subsidi pemerintah tidak mencakup seluruh kebutuhan operasional PTN, sehingga PTN harus bergantung pada mahasiswa untuk menutup kebutuhan pengeluaran tersebut.
Selain itu, pendidikan tinggi, seperti diutarakan beliau, bukanlah bagian dari sistem wajib belajar 12 tahun di Indonesia dengan biaya yang gratis. Oleh karena itu, pendidikan tinggi dianggap sebagai pendidikan tersier, yaitu sebuah pilihan. Pernyataan ini juga menambah perdebatan dari permasalahan ini. Sebab, pendidikan tinggi sendiri merupakan salah satu syarat terpenting dari banyak lapangan pekerjaan yang menjamin kehidupan yang sejahtera. Sesungguhnya, pemerintah masih harus berbuat lebih banyak untuk memastikan pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua orang dengan mudah.
Tentu saja, dari sana, kita dapat melihat bagaimana perguruan tinggi terpaksa bergantung pada mahasiswa untuk menutup sisa dari pengeluaran yang tidak mampu ditutup oleh subsidi pemerintah. Untuk bersaing dan berkembang, perguruan tinggi sangat bergantung pada dana UKT dari mahasiswa. Bahkan menurut pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan, perguruan tinggi “terobsesi” untuk menjadi perguruan tinggi unggulan, sehingga mendorong PTN untuk meningkatkan pengeluaran kampus, terlepas dari pengeluaran yang juga meningkat karena inflasi. Ditambah subsidi dari pemerintah yang tetap dan tidak meningkat mengikuti kebutuhan ini, cara apa lagi yang lebih mudah untuk menangani ini daripada meningkatkan UKT mahasiswa?
Meskipun ada beberapa PTN yang mengumumkan untuk tidak mengenakan kenaikan UKT, berdasarkan pengamatan Edi Subkhan, ada juga PTN yang mengatasi masalah ini dengan membuka kelas lebih banyak, atau memperbesar rasio mahasiswa jalur mandiri. Bagaimanapun, jika dibiarkan, kebutuhan untuk pengeluaran lebih ini akan merugikan mahasiswa, terutama bagi mereka yang berada di keluarga kalangan menengah ke bawah.
Di tengah perdebatan yang terus berlanjut ini, jelas bahwa menemukan solusi terhadap masalah kenaikan biaya pendidikan tinggi ini adalah hal yang terpenting. Pemerintah harus dapat menjamin untuk dapat menyelesaikan dan mencegah permasalahan ini untuk terjadi kembali. Tentu saja, idealnya pemerintah dapat meningkatkan pendanaan untuk pendidikan tinggi, misalnya, dengan meningkatkan BOPTN, atau bahkan memberikan pendanaan penuh, yaitu menggratiskan PTN sepenuhnya. Bagaimanapun itu, pengeluaran PTN yang meningkat perlu untuk diatasi. Permasalahan tidak akan dapat selesai hanya dengan membatasi kenaikan UKT yang merupakan sumber pendapatan utama dari perguruan tinggi.
Setelah ditelusuri, masalah dari naiknya biaya UKT di PTN ini adalah pertanyaan rumit yang tidak mudah untuk dijawab. Meskipun niat di balik kenaikan biaya ini—yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi— patut dipuji, namun kebutuhan pengeluaran yang tumbuh tidak terkendali ini berdampak langsung terhadap mahasiswa dan akses ke pendidikan tinggi secara umum. Penting bagi setiap pemangku kebijakan untuk membangun alur penyelesaian yang tepat. Karena pada saat ini, masa depan sistem pendidikan dan keadaan sosio-ekonomi Indonesia yang mampu mencapai Generasi Emas 2045 sedang diuji.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.