Reverse Discrimination : Manisnya Kesetaraan Sosial Semu
Humaniora | 2024-05-24 19:33:17Rasisme, seksisme dan berbagai diskriminasi amat sering terjadi di kehidupan sehari-hari. “Dasar hitam”, “perempuan sudah pasti lemah”, kalimat yang acap kali kita dengar. Tidak hanya di kehidupan nyata, kalimat ini juga muncul di media sosial. Bahkan hal ini dianggap sebagai candaan belaka yang lumrah. Padahal, diskriminasi bukanlah hal yang bisa kita wajarkan.
Isu diskriminasi tidak hanya menjadi isu di Indonesia, melainkan sudah menjadi isu global. Di dunia barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat, diskriminasi yang terjadi jauh lebih kejam. Hal ini terbukti dengan maraknya kekerasan pada ras atau pemeluk agama tertentu. Seperti kekerasan pada orang kulit hitam yang terlalu sering terjadi di Amerika Serikat.
Namun diantara semua isu diskriminasi yang ada, hadir orang-orang “baik” bak malaikat. Mereka hadir dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kesetaraan sosial bagi kelompok masyarakat yang mendapatkan diskriminasi. Akan tetapi, apakah mereka benar-benar tulus melakukan ini? Atau mereka malah menjadikan ini sebagai ladang keuntungan semata? Dan bukannya hal ini menimbulkan ketidakadilan baru?
Reverse discrimination, hal yang dilakukan untuk memberikan keuntungan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang sering diperlakukan tidak adil, pada umumnya karena ras, jenis kelamin, dan seksualitas mereka. Pada umumnya hal ini dilakukan sebagai bentuk penebusan atas diskriminasi yang biasanya diberikan kepada mereka.
Praktek reverse discrimination mulai marak terjadi. Semisal yang terjadi di Amerika Serikat, seorang transpuan berhasil menjuarai 3 perlombaan wanita pada Liberty League Champions. Liberty League Champions berusaha memberikan keadilan bagi para transpuan untuk bisa mengikuti perlombaan sesuai dengan bagaimana mereka mengakui gender mereka. Akan tetapi, sejak awal ia merupakan seorang pria yang memiliki kekuatan fisik di atas wanita. Hal yang seolah-olah dianggap sebagai keadilan ini justru membuat ketidakadilan bagi para peserta yang terlahir sebagai wanita.
Atau semisal yang terjadi di industri film hollywood. Film live action “The Little Mermaid” menggunakan aktris berkulit hitam untuk memerankan Ariel. Padahal di film versi animasi, Ariel digambarkan sebagai putri duyung berkulit putih. Hal ini mungkin dianggap sebagai kesetaraan ras. Akan tetapi, hal ini justru menjadi bumerang bagi pemeran itu sendiri. Bagi beberapa orang, hal ini menjadi suatu pemaksaan dan justru menimbulkan kebencian yang lebih lagi terhadap orang-orang berkulit hitam.
Di Indonesia sendiri, praktek reverse discrimination umum terjadi di dunia kerja. Tingkat patriarki di Indonesia masih cukup tinggi. Akhirnya pemangku kebijakan mulai mengeluarkan strategi seperti minimal pencalonan tiga puluh persen perempuan sebagai anggota legislatif.
Di dunia kerja sendiri, banyak perusahaan yang berusaha memberikan slot khusus untuk menerima para pekerja wanita. Perusahaan berbondong-bondong menunjukkan image bahwa mereka mengutamakan kesetaraan gender. Dan lagi-lagi, hal ini justru membuat kesan adanya eksklusivitas bagi kaum-kaum tertentu dalam mendapatkan pekerjaan.
Dari semua kejadian tersebut, justru membentuk suatu ketidakadilan baru. Kelompok-kelompok masyarakat ini justru seperti “diistimewakan” dan mendapat jalur khusus dalam menggapai suatu hal. Pada akhirnya, ada kelompok masyarakat lain yang merasakan ketidakadilan.
Reverse discrimination hanyalah suatu keadilan sosial yang semu. Hal ini terkesan manis di depan, akan tetapi pahit di belakang. Bagi kaum-kaum tertentu, mereka justru tidak dapat merasakan dampak yang positif dari hal ini.
Lagi pula, yang dibutuhkan oleh kaum-kaum tertindas adalah keadilan, bukan pengistimewaan. Mereka hanya ingin diakui dan dianggap setara. Cukup anggap mereka dan berikan kesempatan yang sama bagi mereka semua. Jika memang mereka memiliki kemampuan yang baik, maka mereka memang pantas untuk mendapatkan apa yang ingin mereka capai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.