Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zalfaus Salimah

Tongkrongan Gen Z, Kritis atau Krisis?

Kolom | Thursday, 23 May 2024, 12:06 WIB
Sumber : Gresiksatu.com

Dewasa ini, seperti halnya kebutuhan primer, berkumpul bersama tak bisa lepas dari kehidupan muda - mudi. Kegiatan tersebut saat ini lebih dikenal dengan kalimat “nongkrong” atau yang biasa dimaknai sebagai berkumpul dengan teman-teman. Menongkrong bisa dikatakan sudah melekat pada kebiasaan anak-anak Generasi Z di dalam kehidupannya. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya anak remaja yang sering berkumpul bersama temannya sepulang sekolah ataupun kuliah, hanya untuk menghabiskan waktu bersama di satu tempat atau yang biasa disebut sebagai “tongkrongan”. Sehingga, menongkrong merupakan hal yang lumrah bagi mereka, sebab bagi generasi Z ini adalah momen untuk mencari jati dirinya. Di Indonesia sendiri, tempat yang disediakan untuk menongkrong, seperti Café ataupun Warung telah mencapai lebih dari 3.000 gerai yang tersebar di seluruh nusantara. Kemudian, menongkrong juga telah menjadi budaya, karena nyatanya kegiatan ini dilakukan sejak zaman dahulu dan terus berkelanjutan sampai saat ini. Kegiatan menongkrong biasanya digunakan untuk tujuan bersosialisasi, karena sebagaimana mestinya, manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berkumpul dengan individu lainnya.

Terjadinya fenomena nongkrong ini didukung oleh semakin berkembangnya media sosial. Berdasarkan data We Are Social, media sosial di Indonesia telah mencapai angka 213 juta orang, dimana hal ini dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk menyediakan beberapa tempat berkumpul para Generasi Z. Promosi yang dilakukan oleh para pemilik tempat di sosial media, nantinya akan menarik anak-anak remaja untuk datang bersama dengan teman-temannya. Kegiatan berkumpul ini seringkali dianggap tidak produktif dan memungkinkan generasi Z tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekitar. Selain itu, di satu sisi yang sama, generasi ini juga dituntut untuk menjadi generasi yang kritis akan isu sekitar. Sehingga, jika dikaitkan dengan budaya nongkrong, kegiatan ini banyak menimbulkan pihak pro dan kontra. Kemudian, maraknya tempat nongkrong juga menjadi pusat perhatian dan membuat pertanyaan mengenai manfaat dari adanya tongkrongan-tongkrongan tersebut.

Seperti yang diketahui, tongkrongan merupakan tempat yang biasa digunakan untuk Generasi Z berkumpul dengan teman-temannya. Budaya nongkrong telah menjadi bagian dari diri mereka dan akan terus dilakukan selama mereka ingin mengembangkan sosialisasinya dengan orang lain. Tongkrongan ini telah mengkonstruksi karakteristik generasi Z, sebab lingkungan sekitar dan teman-teman tongkrongannya akan memengaruhi bagaimana mereka berpikir dan bertindak. Tidak hanya tongkrongan yang berpengaruh dalam kehidupan generasi Z, namun generasi ini juga memiliki perannya dalam budaya menongkrong, yaitu mereka yang tumbuh di era digital akan membawa perubahan arah dari bagaimana kegiatan berkumpul atau menongkrong itu dilakukan dan media sosial yang banyak digunakan oleh generasi Z juga akan memengaruhi permintaan kepada para pemilik tongkrongan untuk menyediakan tempat yang sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga, dari banyaknya tempat perkumpulan yang disediakan untuk para generasi Z, menarik semua orang-orang untuk datang ke tempat tersebut serta memberikan kesempatan untuk pencampuran keragaman budaya di dalam tongkrongan.

Awal mula gaya hidup nongkrong sudah ada sejak lama, dimana dahulu biasanya dilakukan oleh para anggota keluarga ataupun saudara di rumah untuk menghabiskan waktu luang bersama dengan sekedar meminum teh ataupun kopi. Namun, fenomena nongkrong yang terjadi saat ini sangatlah berbeda dengan gaya hidup yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, dimana menongkrong lebih dikenal dengan menghabiskan waktu luang bersama teman-teman di satu tempat, misalnya di Café. Sehingga, gaya hidup nongkrong yang sering dilakukan oleh anak-anak remaja tersebut, khususnya generasi Z, menimbulkan banyak stigma dari masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa menongkrong hanya membuang-buang waktu dan uang, serta tidak terlalu memiliki manfaat bagi kehidupan mereka. Kemudian, gaya hidup ini juga banyak dipertanyakan oleh masyarakat, dimana mereka berpikir apakah menongkrong akan membuat hidup anak-anak bisa semakin berkembang atau malah sebaliknya, yaitu kehidupan yang tidak bisa terkontrol karena banyaknya kemungkinan teman yang akan memengaruhi kehidupan mereka. Sehingga, masyarakat banyak yang memiliki stigma bahwa mengongkrong merupakan kegiatan yang tidak produktif.

Untuk peluangnya sendiri, tongkrongan memberikan kesempatan para generasi Z supaya lebih terbuka dengan keragaman budaya dan mendapatkan jejaring sosial yang lebih luas. Kemudian, generasi Z dapat memanfaatkan kondisi globalisasi yang semakin berkembang dengan media sosial, untuk membuat usaha tempat berkumpul atau tongkrongan, seperti kedai kopi ataupun café. Hal ini akan lebih memberikan peluang taraf kehidupan yang meningkat bagi generasi Z, karena biasanya café akan dikunjungi oleh mayoritas anak-anak muda, seperti apa yang dikatakan oleh Oktafarel (2021), yaitu “coffee shops in the modern era play a secondary role in networking”. Namun di satu sisi, budaya menongkrong yang semakin meningkat di zaman ini, menimbulkan tantangan bagi generasi Z itu sendiri. Banyaknya budaya yang masuk di dalam sebuah tongkrongan, akan berpeluang untuk mengaburkan identitas dan budaya asli mereka, contohnya seperti banyak remaja di Asia yang gaya hidupnya mengikuti orang-orang Western. Kemudian banyaknya café juga mendorong para generasi Z lainnya untuk berperilaku konsumtif dan hedonisme. Selain itu, semakin seringnya kegiatan menongkrong yang dilakukan tanpa dimaksudkan dengan tujuan lain, akan membuat generasi Z menjadi tidak produktif dan mengalami ketertinggalan.

Dapat disimpulkan bahwa gaya hidup atau budaya nongkrong ini sangat sulit dilepaskan dari bagian hidup Generasi Z sekarang ini. Dengan adanya kegiatan tersebut memberikan dampak positif, yaitu sebagai wadah diskusi dan forum yang bermanfaat untuk membahas isu sekitar dengan mengasah pola pikir kritis. Namun di satu sisi juga berdampak negatif, yaitu dapat membuat krisis sosial dan budaya Generasi Z yang dikenal unggul dan berjiwa kritis yang disebabkan oleh faktor lingkungan tongkrongan yang tidak mendukung. Maka dari itu, kita sebagai Generasi Z harus pandai dalam memilah lingkungan kita bergaul. Jangan hanya terpaku pada media sosial, kita juga perlu meninjau langsung di dunia nyata. Harapannya, melalui media tongkrongan ini dapat bermanfaat memberikan wadah yang mudah di terima bagi kemajuan bangsa dengan Generasi Z yang kritis akan isu dalam negeri. Kemudian, untuk disimpulkan mengenai apakah budaya nongkrong merupakan hal yang kritis atau mendorong krisis, tergantung pada opini setiap masyarakat. Namun, jika dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Yustina, dkk (2023), terhadap Perempuan di café kota Parepare dapat disimpulkan bahwa budaya nongkrong yang terlalu berlebihan hanya akan memberikan kerugian dan dampak negatif bagi orang-orang yang melakukannya, karena sering menghabiskan waktu dan uang demi memenuhi kebutuhan yang bukan prioritas.

Referensi

Marbawani, G. &. (2020). Pemaknaan Nongkrong bagi Mahasiswa Yogyakarta. DIMENSIA : Jurnal Kajian Sosiologi, 1-16.

Reynata, A. V. (2022). Perubahan Gaya Hidup Hedonisme pada Kalangan Mahasiswa Rantau Di Kota Surabaya. In Prosiding Seminar Nasional Ilmu Ilmu Sosial (SNIIS) (Vol. 1), 185-193.

Saputri, D. A. (2023). Representasi Image Anak Muda Dalam Budaya Ngopi. TUTURAN : Jurnal Ilmu Komunikasi, Sosial dan Humaniora, 122-135.

Yustina, Y. M. (2023). GAYA HIDUP NONGKRONG PEREMPUAN SOSIALITA DI KAFE KOTA PAREPARE. Jurnal Pendidikan Sosiologi Undiksha, 198-207.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image