Hedonisme Mahasiswa Kian Menjamur di Tengah UKT yang Menyambung, Kok Bisa?
Gaya Hidup | 2024-05-15 11:51:00“Mak, orangtua mana yang baik-baik saja dengan urusan generasi hari ini?”
Saya yakin tidak semua merasa baik, dan tidak sedikit pula merasa santai. Sebab faktanya, di tengah gempuran harga bahan pokok yang tidak lagi murah, kondisi keuangan yang minim, ditambah biaya pendidikan yang semakin mahal. Tuntutan sosial pergaulan bebas anak zaman sekarang kian menghawatirkan. Gaya hidup hedonisme seperti berfoya-foya, membeli barang branded agar bisa mengikuti trend, flexing ingin menjadi pusat perhatian. Membuat otak para orang tua berfikir lebih keras dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan generasinya itu.
Biaya Pendidikan Mahal
Pendidikan termasuk kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Guna menunjang tercapainya cita-cita di kemudian hari. Begitupun semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk dalam memilih sekolah hingga perguruan tinggi. Dan melambungnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) diberbagai kampus pada saat ini semakin sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan “pas-pasan”.
Perlu diketahui, bahwa problem mahalnya UKT bermula dari kebijakan pemerintah tentang perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH). Di mana status tersebut menimbulkan konsekuensi baru, yaitu PTN tidak mendapatkan biaya pendidikan secara penuh dari pemerintah seperti sebelumnya. Jadi, setiap perguruan tinggi ini mengupayakan biaya operasionalnya sendiri dengan berbagai cara untuk mendapatkan dana agar kegiatan selalu berjalan. Salah satunya dengan membangun berbagai komoditas usaha, seperti klinik, mall, SPBU termasuk menaikkan biaya UKT. (Sumber: muslimahnews.net)
Dengan kata lain, masyarakat dan para dosen sebenarnya sedang bergotong royong membangun terwujudnya fasilitas sarana dan prasarana yang berkualitas untuk kampus tersebut. Tujuan tidak lain untuk melahirkan output yang berkualitas sesuai kemajuan zaman. Sayangnya, berbagai persoalan bermunculan di sini. PTN-BH jadi serba salah. UKT mahal, banyak mahasiswa protes, tidak sedikit juga calon siswa mundur karena tidak mampu dari aspek ekonomi. Atau karena aspek intelektual, daya saing yang ketat. Ada juga pembatasan kuota kampus. Sehingga banyak yang tidak melanjutkan kuliah. Sebaliknya, jika UKT tidak dinaikkan, operasional kampus juga susah.
Gaya Hidup Mahasiswa
Di sisi lain, gaya hidup mahasiswa kekinian nampak hedonisme. Dimana gaya hidup ini berfokus pada kepuasan tanpa batas, dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Terbukti dari banyaknya pengunjung tempat hiburan atau nongkrong sejak pagi hingga larut malam, dominan diisi oleh muda-mudi. Pergaulan bebas kekinian membuat fokus generasi berbeda dengan cara pandang orang tuanya. Tentu ini bukan tujuan awal pendidikan. Juga bukan goal para orang tua yang berharap generasinya berprestasi ketika di sekolahkan kejenjang yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana kaitannya gaya hidup dengan dunia pendidikan?
Tanpa disadari bahwa kebijakan yang terjadi pada dunia pendidikan sekarang itulah sebagai landasan dasar pembentuk karakter generasi ini hari. Contoh saja krisis multidimensi yang terjadi pada semua aspek pendidikan. Sampai solusi pembayaran UKT dengan pinjaman online bagi yang kesulitan membayar. Bukankah ini bentuk keprihatinan dan kesenjangan sosial semakin terlihat jelas. Pembeda antara si kaya dan si miskin.
Miris karena dunia pendidikan sekuler zaman sekarang juga dikapitalisasi. Dimana pendidikan termasuk dalam sektor jasa yang diperdagangkan secara bebas. Artinya, pendidikan bisa dibeli. Dan pembeli pendidikan tinggi dengan biaya mahal hanya bagi kalangan berduit. Mindset seperti inilah sebagai pembentuk karakter “berduit”. Memandang segala pemenuhan kebutuhan hanya dari segi materi. Secara tidak langsung, dunia pendidikan kita malah membentuk pemahaman hedonisme itu sendiri.
Mengapa ini bisa terjadi?
Pada sistem kapitalisme, kebahagiaan diukur dengan standart materi. Sehingga manusia yang diatur oleh pemahaman ini akan bergantung terus pada pencapaian jumlah atau banyaknya materi yang didapat. Selain itu, penerapan kapitalisme pada dunia pendidikan juga melepaskan peran Negara sebagai penanggung jawab penuh terhadap pengelolaan perguruan tinggi. Maka tidak heran, jika manusia yang masih menggunakan sistem ini akan selalu bertemu dengan masalah-masalah baru yang tidak sesuai dengan fitrahnya.
Sebab fitrah kebutuhan dasar manusia harus terpenuhi dengan baik agar tidak menimbulkan kerusakan atau masalah (problem yang tersistem). Jika di kapitalisme, pendidikan diperdagangkan dan pemerintah lepas tangan. Berbeda dalam sistem Islam, pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh Negara. Oleh sebab itu, pada cerita sejarah di masa lalu peradaban Islam memimpin dunia, konsep pendidikan difasilitasi maksimal dengan biaya operasional yang rendah bahkan gratis.
Output Generasi Shalih
Itulah mengapa, output (sumber daya manusia) yang terdidik oleh sistem Islam memiliki landasan keimanan yang kuat. Fokus menjadikan rido Allah sebagai standart kebahagiaan. Sehingga banyak generasinya memiliki karakter Salahuddin, yang pola pikir dan pola sikapnya selaras dengan arahan Al-qur’an. Inilah harapan orang tua sesungguhnya, generasinya tidak hanya cerdas namun juga shalih dan muslih. Semoga kita bisa ambil pelajaran dari kisah ini untuk diulang dikisah generasi sekarang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.