Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Benarkah Orang Baik Cenderung Naif?

Eduaksi | Monday, 17 Jan 2022, 14:55 WIB
Dokumen pribadi

Untuk hidup, menjadi baik saja tak pernah cukup. Paling tidak begitulah keyakinan penulis. Bahwa hidup tak seindah imajinasi kita. Pada kenyataannya kehidupan begitu keras, sehingga tidak cukup ditaklukkan dengan hanya bermodalkan kebaikan. Hidup yang demikian sesekali mengandaikan strategi hingga atraksi, ikhtiar dan effort ekstra agar bisa berjalan sesuai harapan kita. Atau minimal mendekati gambaran hidup yang kita imajinasikan. Tanpa itu semua, kalian yang baik-baik itu hanya akan bertumbangan di tengah jalan. Kalau sudah begitu, apa namanya kalau bukan naif?

Ini sama saja dengan mereka yang mengeluhkan hampir semua kebijakan pemerintah, menganggap semuanya salah kaprah, tetapi pada jarum jam yang sama mereka mengharamkan sistem dan praktik demokrasi karena dianggap bukan lahir dari rahim otentik ajaran Islam. Bukankah idealisme semacam itu justru lebih menggambarkan ironi sekaligus tak realistis?

Dalam kontestasi pilkada di beberapa daerah yang penulis ikuti prosesnya, pun ada orang-orang dengan reputasi baik: berintegritas dan smart, yang ikut ambil bagian dalam perebutan kursi Bupati/Walikota atau bahkan Gubernur. Figur-figur baik ini pun melakukan kerja-kerja politik seperti pada umumnya, berharap bisa memenangi kompetisi politik. Tetapi setelah pemungutan suara digelar, hasilnya mereka kalah, bahkan cenderung kalah telak dari rival-rival politiknya yang mungkin lebih buruk track record-nya.

Sampai di sini, saya masih bisa prihatin dengan kekalahan orang-orang baik itu. Tetapi sikap ini perlahan menyusut ketika mendengar pernyataan orang-orang baik yang kalah ini. “Ternyata, masyarakat kita belum siap dipimpin orang-orang baik, yang rekam jejaknya tak jelas malah dipilih,” begitu kurang lebih kesimpulan yang umumnya mereka sampaikan. Bagi penulis, pernyataan ini sedikit mengganjal. Ternyata, tidak sedikit orang baik yang beraplogi dengan kebaikannya, membayangkan orang baik dan pintar semestinya memenangi kompetisi, sambil menjelek-jelekkan kompetitornya yang dianggap lebih buruk.

Mereka seolah lupa, bahwa baik saja tidak cukup. Pun ditambah pintar saja (IQ) juga tidak cukup. Apalagi untuk menaklukkan dunia politik praktis yang tidak sesederhana teori dan analisa para pakar dan pengamatnya. Kenapa orang-orang baik ini tidak berpikir, jangan-jangan pesaingnya yang menang itu bekerja lebih keras. Ya, mereka yang memenangi kontestasi kemungkinan besar lebih total melakukan kerja-kerja politik, entah itu membentuk mesin politik yang lebih terstruktur dan masif, kampanye yang lebih luas dan mengena, membangun politic networking yang lebih luas dan solid, mengeluarkan sumber daya politik yang lebih besar, dan lainnya. Meski, di antara kerja-kerja politik tersebut mungkin saja terselip beberapa cara yang tidak fair, culas dan curang. Tetapi yang jelas mereka telah bekerja keras dan mungkin lebih keras. Bahkan kalaupun mereka benar menang dengan curang, toh kecurangan itu diikhtiarkan dengan serius dan penuh totalitas. Bukankah Imam Ali radhiyallahu anhu pernah berkata; “Kejahatan yang diorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tak diorganisir”? Jadi, jujur atau baik saja tidak cukup. Adalah naif, menganggap layak menang hanya dengan bermodalkan reputasi sebagai orang baik.

Di episode lain, kita-kita yang merasa baik juga tak jarang menyinyiri teman teman sekantor yang karirnya lebih moncer, atau kawan sesama aktivis yang karir organisasinya melesat lebih tajam. "Ah, dia mah pinter nyenengin si bos aja, ya lihai menjilat aja, kemampuannya mah biasa-biasa aja. Banyak yang lebih pinter dari dia, tapi karirnya begitu-begitu aja, nggak meroket kaya dia," begitu mungkin bunyi bisik-bisik tetangga.

Kita lupa, bahwa di dunia kerja kecerdasan intelektual hingga soft skill bukanlah segalanya yang menentukan kesuksesan karir. Saat kita menuding teman sekantor sebagai pintar mengambil hati si bos, bisa jadi dia memiliki kecerdasan emosional yang lebih bagus, kualitas komunikasi yag lebih efektif, dan mengerti how manage the boss, tidak mudah apriori atau underestimate dengan teman dan masalah.

Juga dalam mengelola organisasi. Dulu ada anekdot, organisasi keagamaan sulit berkembang karena masih lekat dengan manajemen lillahi taala, tata kelola asal saling percaya. Di alam modern, pikiran semacam ini menjadi naif, oleh sebab, organisasi modern dituntut bertata kelola good governance yang menuntut transparansi dan akuntabilitas, serta tentu saja kreativitas dan inovasi yang memadai.

"Ga usah ribet-ribet lah, toh ketua dan pengurusnya kita tahu orang-orang baik dan jujur, pemuka agama".

Kalaupun isi kalimat ini benar, tetapi menurut penulis tidak pada tempatnya. Bukankah nilai-nilai Islam juga diyakini senafas dengan kemoderenan. Semestinya, prinsip transparansi dan akuntabilitas haruslah dipahami sebagai derivasi dari prinsip amanah (trust). Sementara kreativitas dan inovasi adalah bagian dari prinsip khusnudzan dan optimis yang dikehendaki Tuhan.

Jadi, kalau menjadi baik itu keharusan, maka jaga dan rawatlah tanpa lelah. Tetapi kalau karena alasan kebaikan kita menjadi naif, nanti dulu deh. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image