Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohammad Faizun Niam

Sarjana Pendidikan (tidak) Bisa Menjadi Guru

Pendidikan dan Literasi | 2024-05-03 09:34:19

Memiliki ijazah dengan gelar sarjana pendidikan ditahun 2024 belum tentu bisa mengajar dan menjadi guru di sekolah. Para lulusan sarjana pendidikan dipaksa bersaing dengan sarjana non keguruan dengan mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) sebagai syarat agar bisa mengajar.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim mengatakan ”PPG prajabatan itu untuk calon guru. Dengan demikian, PPG menjadi bisa fokus untuk menyiapkan guru-guru baru untuk mendukung transformasi pendidikan, guna menjawab kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan,” ujarnya.

Berdasarkan Pasal 109 di RUU Sisdiknas disebutkan pada Ayat (1) setiap orang yang akan menjadi guru wajib lulus dari pendidikan profesi guru. Di Ayat (2) disebutkan, pemerintah pusat memenuhi ketersediaan daya tampung pendidikan profesi guru untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah dengan program profesi guru ini dapat mencapai tujuan pendidikan nasional? Atau hanya akan menambah masalah baru?

Pertama, Program Profesi Guru dapat diikuti oleh jurusan non-pendidikan yang menunjukkan bahwa pemerintah kurang serius dalam mengelola pendidikan. Artinya, lulusan pendidikan sama dengan lulusan fakultas murni lainnya, padahal isi materi PPG sama dengan materi program sarjana atau S-1 kependidikan. Dalam artian, lulusan yang telah kuliah kependidikan selama delapan semester harus disamakan dengan lulusan yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan. Bahkan, lulusan PPG yang hanya mengikuti program selama satu tahun dianggap layak mengajar, sementara lulusan yang telah bergelut dengan dunia pendidikan selama empat tahun dianggap kurang layak.

Kedua, Pembatasan kuota mahasiswa PPG yang tak sebanding dengan jumlah mahasiswa jurusan pendidikan. Kemendikbudristek, pada tahun ini menyediakan 59.019 kuota nasional Program Profesi Guru (PPG) Prajabatan tahun 2024. Sedangkan menurut data PDDikti, jumlah mahasiswa pendidikan di seluruh Indonesia berjumlah 1.371.105 mahasiswa. Artinya, masih ada 1,3 juta mahasiswa yang harus mengantri untuk bisa mengikuti PPG. Jika kebijakan ini tidak segera diperbaiki, dalam waktu 5 hingga 10 tahun mendatang, akan terjadi penumpukan besar-besaran pengangguran di kalangan sarjana pendidikan. Hal ini berpotensi menjadi ancaman besar karena mereka tidak dapat ditempatkan sebagai guru, meskipun masih ada kesempatan di luar profesi tersebut. Namun, kesempatan di luar itu tidak akan secara signifikan mengurangi jumlah pengangguran di kalangan sarjana pendidikan.

Ketiga, sejumlah materi yang diajarkan dalam PPG sudah pernah diajarkan kepada mahasiswa yang berkuliah di jurusan pendidikan. Contohnya, mata kuliah Pemahaman tentang Peserta Didik dan Pembelajarannya dan Praktik Pengalaman Lapangan. Ini menjadi sebuah pertanyaan, mengapa materi diulang kembali? Apakah materi yang diajarkan kurang? Atau mungkin ada kesalahan penyampaian materi selama S1?

Seorang guru tidak bisa dibandingkan dengan dokter atau advokat yang memang membutuhkan pendidikan profesi tambahan karena bidang kerjanya yang sangat spesifik. Seorang guru sudah memiliki landasan pendidikan dalam bidang pendidikan melalui gelar S1 mereka. Jadi, jika ada kekurangan dalam profesionalisme guru, masalahnya mungkin terletak pada pendidikan dalam program S1 mereka, bukan pada penciptaan program pendidikan baru yang mengklaim meningkatkan profesionalisme.

Penulis merasa pemerintah perlu merespons masalah ini dengan serius dan meninjau kembali tujuan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Apakah PPG memang benar-benar dibutuhkan oleh lulusan sarjana pendidikan? Apakah PPG secara efektif meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia? Atau malah sebaliknya, PPG menjadi hambatan dalam pengembangan dunia pendidikan kita?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image