Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Pemberantasan Korupsi (Kolusi dan Nepotisme) Tidak Cukup Hanya Dengan Penegakan Hukum

Politik | Tuesday, 23 Apr 2024, 05:06 WIB
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme memang tidak hanya bergantung pada penegakan hukum semata. Selain itu, juga diperlukan langkah-langkah preventif seperti peningkatan transparansi, pembangunan budaya integritas, penguatan lembaga pengawas, serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan praktik-praktik korupsi.

UPAYA pemerintahan Jokowi-Amon dalam melemahkan lembaga Komisi Pemberantaran Korupsi (KPK), terus memicu kritik. Pemerintah tampaknya, salah berhitung. Aksi-aksi mereka yang tidak elok, telah memicu munculnya gelombang demonstrasi terbesar dalam satu dekade terakhir, tepatnya Tahun 2019.

Rakyat Marhaen melihat, usaha pemerintah melemahkan KPK, hanya menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi, tidak memiliki komitmen yang tegas dalam memberantas korupsi. Jika sebelumnya, sikap peragu dan lamban (bahkan cuci tangan) yang menjadi ciri khas Jokowi dianggap sebagai kekuatannya, kini ciri khas itu justru menjadi titik lemahnya. Jika ia gagal meyakinkan rakyat marhaen bahwa pemerintahnya sanggup memberantas korupsi tanpa pandang bulu, maka ia harus bersiap menghadapi gelombang tsunami demonstrasi lebih besar dari Aksi September 2019.

Mengapa KPK perlu dilemahkan, padahal institusi ini berguna buat mendongkrak citra pemerintahan yang tak kunjung mampu menyelesaikan masalah krisis ekonomi?

Pengambilan keputusan untuk melemahkan atau memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor politik, ekonomi, dan sosial. Beberapa alasan yang mungkin menyebabkan pemerintah ingin melemahkan KPK termasuk:

  1. Kontrol politik: Pemerintah mungkin ingin mengurangi kekuatan KPK agar tidak terlalu independen dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah atau anggota partai politik tertentu.
  2. Pertahanan terhadap kepentingan pribadi atau golongan: Ada kemungkinan bahwa pejabat pemerintah atau anggota partai politik yang terlibat dalam kasus korupsi ingin melindungi diri mereka sendiri atau kelompok mereka dengan melemahkan KPK.
  3. Keamanan politik: Pemerintah mungkin khawatir bahwa keberadaan KPK yang kuat dapat mengganggu stabilitas politik dengan mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi atau elit politik.
    Meskipun KPK berguna untuk meningkatkan citra pemerintah dan menangani kasus-kasus korupsi, terdapat kepentingan dan dinamika politik tertentu yang dapat mempengaruhi keputusan untuk melemahkan lembaga tersebut.

Setiap instrumen jika ‘keluar’ dari kontrol dan proyeksi dari yang berkuasa tentunya akan dikendalikan. Jika tidak akan menjadi senjata makan tuan. Upaya secara halus sebenarnya sudah dicoba dengan memasukkan ‘orang-orang’ ke dalam KPK. Strategi infiltrasi sudah diupayakan. Tapi karena mayoritas staf KPK punya komitmen dan resistensi atas upaya ini, menyebabkan taktik infiltrasi itu tidak maksimal. Juga desakan dan tuntutan publik yg berkelanjutan agar KPK terus bertindak benar, menjadi penjaga koridor laju KPK.

Yang menarik, tanpa keberhasilan KPK pun, rezim demokrat berhasil memperdaya hati pemilih selama Pemilu 2019 (bahkan malah Pemilu 2024). Dengan segenap sinyal dan tindakan (semu) atas komitmen anti korupsi, sudah cukup untuk memikat hati pemilih. Pesona Jokowi kan lebih besar dari substansi dan kinerja pemerintahannya sendiri. Memang ada klaim atas pencapaian KPK oleh penguasa. Seolah-olah keberhasilan KPK adalah keberhasilan pemerintah.
Selain itu, pembatasan periode membuat Jokowi nothing to loose. Mau bagus atau buruk kinerja Kabinet Indonesia Maju, tidak ada pengaruh bagi keberlanjutan karir pribadi Jokowi (gak tau apakah dia punya ambisi utk tetap bertahan dan memupuk dinasti).

Lembaga macam KPK ini kan lahir sebagai hasil dari reformasi Mei 1998, bukan inisiatif pemerintah yang berkuasa. Bagaimana anda menjelaskan ini? Realitas politik seperti apa yang terjadi selama 20 tahun ini, dari segi pemberantasan korupsi?

Betul, lembaga-lembaga state auxiliary bodies (KPK, KPI, LPSK, KPPU, Ombudsman, dsb) memang eksis karena hasil reformasi Mei 1998. Justru itu, karena penguasa tidak merasa penting seperti layaknya DPR, atau Kejaksaan, maka keberadaan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas aksesoris. Ini berbeda dengan MK yang memang dimandatkan dlm Perundangan-undangan.

Keberadaan lembaga-lembaga ini juga sebagai sinyal bahwa pemerintah ‘paham’ akan trend demokratisasi global, yakni sebagai mesin kelembagaan. Bagi penganut reformasi kelembagaan, keberadaan lembaga-lembaga ini sudah cukup bagi prasyarat hadirnya check and balance, rule of law, good governnace, dsb. Dengan mengikuti trend, pemerintah tetap bisa masuk dalam kategori negara demokrasi (neo-liberal), juga tetap mendapatkan bantuan kerjasama antar pemerintah maupun dengan agen-agen pembangunan.

lembaga seperti KPK lahir sebagai hasil dari tekanan masyarakat selama periode reformasi Mei 1998 di Indonesia. Reformasi tersebut dipicu oleh ketidakpuasan terhadap rezim otoriter Orde Baru dan diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat untuk memperjuangkan demokrasi, kebebasan, dan keadilan.

Selama 20 tahun sejak reformasi, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan. KPK sebagai lembaga independen telah berhasil menangani banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan elit politik. Banyak pejabat pemerintah, anggota parlemen, dan pebisnis yang telah diadili dan dipenjara karena tindak korupsi.

Namun, realitas politik selama periode tersebut juga menunjukkan adanya tantangan yang serius dalam pemberantasan korupsi. Korupsi masih menjadi masalah yang merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan dan sektor swasta. Beberapa upaya pemberantasan korupsi bahkan mengalami hambatan dan penolakan dari pihak-pihak yang terlibat.

Selain itu, terdapat juga upaya-upaya untuk melemahkan lembaga-lembaga anti-korupsi seperti KPK melalui revisi undang-undang atau intervensi politik. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan pemberantasan korupsi masih memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil, untuk mencapai hasil yang lebih signifikan di masa mendatang.

Kalau begitu, mesti ada perombakan besar dan mendasar secara kelembagaan demokrasi, jika ingin pemberantasan korupsi lebih maju lagi?

Bung dan Bing, dan Sarinah Semua Di Indonesia, korupsi kan, salah satu indikator, untuk penerapan kualitas demokrasi. Masalah utama di Indonesia, instrumen dan mekanisme demokrasi (walau liberal) dikuasai oleh predatory elite (elite pemangsa).
Ruang politik yang ada saat ini cukup terbuka, tetapi yang memanfaatkannya secara sadar adalah para elite. Karena saat ini itulah satu-satunya jalan bagi mereka untuk survive. Permasalahan timbul karena ruang demorkasi beserta instrumennya dipakai dengan menggunakan budaya, mekanisme dan instrumen “old politics”. Jadi walau kelembagaan diperbaiki, ditambah, dan diperindah tetapi kalau yang menggunakannya tetap elite pemangsa, hasilnya akan tetap sama. Korupsi, eksploitasi SDA, dan hegemoni penguasa atas kelompok marginal, minoritas akan tetap ada.

Ya, reformasi besar dan mendasar dalam kelembagaan demokrasi sangat penting untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam reformasi tersebut meliputi:
1. **Strengthening Anti-Corruption Institutions**: Menguatkan lembaga-lembaga anti-korupsi seperti KPK dengan memberikan mandat yang lebih kuat, sumber daya yang memadai, dan independensi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya.
2. **Transparency and Accountability**: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan dan sektor publik dengan menerapkan standar-standar yang ketat terkait dengan pelaporan keuangan, pengadaan barang dan jasa, serta proses pengambilan keputusan.
3. **Legal Reforms**: Melakukan reformasi hukum untuk memperkuat sistem peradilan dan hukum agar lebih efektif dalam menangani kasus-kasus korupsi. Ini termasuk peningkatan kapasitas hakim dan penegak hukum, serta peningkatan sanksi bagi pelaku korupsi.
4. **Political Will and Leadership**: Memiliki keberanian dan komitmen politik yang kuat dari pemimpin dan elit politik untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu, termasuk dengan memberikan contoh yang baik dan tidak mentolerir praktik korupsi di dalam pemerintahan.
5. **Empowering Civil Society**: Memberdayakan masyarakat sipil, media, dan kelompok advokasi untuk berperan aktif dalam mengawasi pemerintah, memperjuangkan transparansi, dan mengungkap praktik korupsi.
Dengan melakukan reformasi yang komprehensif dalam kelembagaan demokrasi, diharapkan Indonesia dapat mencapai kemajuan yang lebih signifikan dalam pemberantasan korupsi dan memperkuat fondasi demokrasi yang sehat.

Bisa diterangkan sedikit apa itu ciri elit politik pemangsa dan bagaimana mereka bekerja?

Elit Politik Pemangsa mungkin lebih kepada terminologi teoritis. Saya sendiri memahami dan mengembangkannya dari uraian C. Wright Mills dalam bukunya “The Power Elite.” Dalam pemahamanku, elite pemangsa ini mempunyai karakter, “codes,” jaringan kerja dan sumberdaya seperti yang digambarkan Mills. Tetapi dalam beroperasi mereka memonopoli, menghegemoni, mengeksploitasi kelembagaan dan instrumen negara yang ada dan tidak jarang menggunakan kekerasan.
Kartel atau bossisme hanya ‘ciri’ berdasarkan konteks dan kemampuan penguasaan. Kartel, kalau kita ikuti pendapatnya Dan Slater, terjadi jika kelompok-kelompok elite ‘berbagi’ kekuasaan, wilayah dan sektor ‘jarahan’ serta bekerja dalam relasi yang setara. Sedangkan “Boss” dalam perspektif James T. Sidel, mengacu pada perorangan atau satu kelompok yang memonopoli wilayah tertentu.

Elit politik pemangsa adalah istilah yang mengacu pada golongan atau individu dalam struktur politik suatu negara yang menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk kepentingan pribadi atau golongan, seringkali dengan merugikan kepentingan umum. Berikut beberapa ciri elit politik pemangsa dan bagaimana mereka bekerja:
1. **Korupsi**: Salah satu ciri utama dari elit politik pemangsa adalah praktik korupsi yang merajalela. Mereka menggunakan posisi politik dan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi, seperti uang, jabatan, atau keistimewaan lainnya dengan cara yang tidak sah.
2. **Nepotisme**: Elit politik pemangsa cenderung mempraktekkan nepotisme dengan menempatkan keluarga atau orang-orang dekat mereka dalam posisi-posisi penting dalam pemerintahan atau bisnis, tanpa memperhatikan kualifikasi atau kemampuan yang sesungguhnya.
3. **Kolusi**: Mereka seringkali terlibat dalam praktik kolusi dengan pihak-pihak tertentu, seperti perusahaan atau organisasi tertentu, untuk saling menguntungkan secara ilegal atau tidak adil, seringkali dengan merugikan kepentingan masyarakat luas.
4. **Ketidaktransparanan**: Elit politik pemangsa cenderung menciptakan lingkungan yang tidak transparan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya publik, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif tanpa terdeteksi.
5. **Ketidakpedulian terhadap kepentingan publik**: Mereka seringkali tidak memperhatikan atau bahkan mengabaikan kepentingan publik demi memenuhi kepentingan pribadi atau golongan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
Elit politik pemangsa bekerja dengan memanfaatkan posisi dan kekuasaan mereka untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi atau golongan, seringkali dengan merugikan kepentingan umum. Mereka bisa menggunakan berbagai strategi, seperti manipulasi politik, pemalsuan dokumen, atau intervensi dalam proses pengambilan keputusan, untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Bisa berikan contoh konkret ciri dari elit politik pemangsa ini?

Tentu, berikut adalah contoh konkret dari ciri-ciri elit politik pemangsa:
1. **Korupsi**: Seorang pejabat pemerintah yang menerima suap dari perusahaan untuk memberikan kontrak proyek dengan harga yang tidak sesuai dengan nilai sebenarnya, atau seorang anggota parlemen yang menerima uang suap untuk mempengaruhi pembuatan undang-undang yang menguntungkan kepentingan tertentu.
2. **Nepotisme**: Seorang kepala daerah yang menunjuk saudara atau kerabatnya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan, meskipun mereka tidak memiliki kualifikasi atau pengalaman yang memadai untuk posisi tersebut.
3. **Kolusi**: Seorang politikus yang berkolusi dengan pengusaha untuk memberikan izin proyek pembangunan yang merugikan lingkungan, dengan imbalan uang atau dukungan politik untuk kampanye mereka.
4. **Ketidaktransparanan**: Seorang pejabat pemerintah yang menggunakan dana publik tanpa proses tender yang transparan atau tanpa mempublikasikan informasi tentang penggunaan dana tersebut secara jelas dan terbuka kepada masyarakat.
5. **Ketidakpedulian terhadap kepentingan publik**: Seorang anggota parlemen yang memilih untuk tidak menghadiri rapat-rapat penting di parlemen untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, tetapi lebih memilih untuk menghadiri acara-acara pribadi atau kelompok yang memberikan keuntungan pribadi.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana elit politik pemangsa menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk kepentingan pribadi atau golongan, dengan merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas.

Jika korupsi dalam sistem demokrasi (Neo) liberal ini merupakan konsekuensi dari keberadaan elit politik pemangsa, berarti penyelesaian korupsi lebih merupakan penyelesaian politik (pergantian sistem atau kelembagaan politik) ketimbang hukum?

Penegakan hukum masih diperlukan untuk menegaskan ‘batasan’ mana yang “hitam-putih” tanpa abu-abu. Juga untuk memberi sanksi bagi semua yang bersalah agar tidak ada impunitas.
Tetapi, jika terus mengandalkan aspek penegakan hukum seperti yang selama dilakukan, sangat tidak memadai. Gerakan anti korupsi lantas menjadi gerakan mengejar koruptor dan menjebloskan ke penjara. Kelemahan utama dari strategi ini terletak pada lingkungan hukum itu sendiri. Lembaga, aparatur, perangkat perundangan dan prosedur beracara masih sangat rapuh dan jelas tidak kebal intervensi baik politik, finansial maupun tekanan secara fisik. Untuk itu perlu ada gerakan yang secara sistematis berupaya untuk menggantikan elite pemangsa ini dan kemudian merombak struktur yg mendiskriminasi dan mendominasi. Memang di banyak tempat, bermunculan upaya gerakan alternatif baik yang bertumpu pada politik elektoral maupun non-elektoral. Pengorganisasian kelompok korban, marginal, maupun kepentingan (publik) perlu dijadikan fokus, agar kelompok terorganisir ini dapat mengimbangi elite pemangsa yang selama ini mengakuisisi ruang politik. Tanpa ada perubahan struktur politik (dan ekonomi), level lapangan permainan antar kelompok kepentingan, agenda pemberantasan korupsi selalu tergantung kepada belas kasih elite. Lebih tepatnya, kita hanya bertumpu pada keinginan politik penguasa.

Penyelesaian korupsi memang melibatkan berbagai aspek, termasuk baik upaya politik maupun penegakan hukum. Namun, jika korupsi diakibatkan oleh keberadaan elite politik pemangsa, maka penyelesaian politik bisa menjadi bagian penting dari solusi.
1. **Reformasi Politik**: Pergantian sistem atau kelembagaan politik bisa menjadi langkah yang diperlukan untuk mengatasi korupsi jika sistem yang ada tidak mampu menjamin akuntabilitas, transparansi, dan kemandirian lembaga-lembaga pengawas. Ini bisa meliputi reformasi konstitusi, perubahan dalam sistem pemilihan umum, atau pembentukan lembaga-lembaga anti-korupsi yang lebih efektif.
2. **Penguatan Institusi**: Melalui reformasi politik, penting untuk memperkuat institusi-institusi yang berperan dalam mencegah dan menindak korupsi, seperti lembaga-lembaga anti-korupsi, sistem peradilan yang independen, dan mekanisme pengawasan yang efektif.
3. **Partisipasi Masyarakat**: Penyelesaian politik juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga publik. Masyarakat yang kritis dan terlibat dapat membantu mengungkap dan mencegah praktik-praktik korupsi.
Namun, penegakan hukum juga tetap penting dalam menangani kasus-kasus korupsi yang telah terjadi. Hukum yang kuat dan penegakan yang tegas dapat memberikan sinyal bahwa praktik korupsi tidak akan ditoleransi dan pelakunya akan diadili dengan tegas. Oleh karena itu, solusi untuk korupsi umumnya melibatkan kombinasi dari upaya politik dan penegakan hukum yang seimbang dan terkoordinasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image