Sekutu Iran Melawan Israel
Sejarah | 2024-04-16 18:53:36Pasca serangan udara Israel-sampai saat ini negara zionis tidak membantah dan tidak juga mengonfirmasi tuduhan itu-ke Kantor Kedutaan Besar Iran di Damaskus, Suriah, pada tanggal 1 April 2024, yang menewaskan dua jenderal Iran dari Brigade Quds Garda Revolusi Iran (IRGC), Jenderal Mohammad Reza Zahedi dan Jendral Mohammad Hadi Haji Rahimi, akhirnya Iran memberikan respon cukup keras, membalas serangan dengan meluncurkan ratusan roket dan drone ke daerah pendudukan zionis-Israel, untuk pertama kalinya dalam sejarah konflik di Timur Tengah, negeri para mullah itu melakukan serangan langsung ke wilayah Israel, sebelumnya konflik diantara kedua negara itu hanya melibatkan proxy war atau perang tidak secara langsung.
Iran berhasil menembakkan sekitar 300 pesawat nirawak (drone) dan rudal, meskipun oleh Israel serangan itu diklaim berhasil ditangkis di udara, keberhasilan Iran meluncurkan ratusan rudal mempertegas, bahwa Iran telah lama mengembangkan rudal balistik, diantaranya rudal Sejil dengan kecepatan 17.0000 km perjam dengan jangkauan 2.500 km. Rudal Kheibar memiliki jangkauan 2.000 km, kemudian rudal Haj Qasem dan Emad-1 masing-masing mampu menjelajah 1.400 km dan 2.000 km. Iran juga disebut-sebut mampu menciptakan rudal hipersonik, dapat terbang lima kali lebih cepat dari kecepatan suara (Harian Kompas, 15 April 2024).
Selain itu Iran menjadi salah satu negara di dunia yang mampu mengembangkan teknologi militer canggih pesawat nirawak (drone), Iran berhasil memproduksi Mohajer-10 memiliki jangkauan 2.000 km, yang bisa mengangkut muatan 300 kilogram, serta mempu terbang selama 24 jam di udara (Harian Kompas, 15 April 2024).
Serangan balasan Iran ke Israel menurut Kantor Berita IRNA (Kantor Berita Resmi Republik Islam Iran) merupakan aksi bela diri negara itu setelah Israel menyerang fasilitas diplomatiknya di Damaskus. Tentunya serangan balasan Iran ini bisa dibenarkan secara hukum internasional, sebagai tindakan aksi bela diri dari serangan negara lain, karena fasilitas diplomatik merupakan simbol dari kedaulatan, wilayah, dan kepentingan politik suatu negara, maka ketika terdapat serangan yang menyasar fasilitas diplomatik, bisa ditafsirkan sebagai bentuk serangan langsung ke negara bersangkutan.
Sampai saat ini Israel memang tidak membantah dan tidak juga mengonfirmasi serangan 1 April 2024. Meski Israel tidak memberikan konfirmasinya, tetapi Israel telah mengakui melakukan banyak serangan sebelumnya di Suriah dalam beberapa tahun terakhir. Motif utamanya karena Suriah memiliki kaitan dengan Iran, disisi lain Pasca Operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan pejuang Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel melakukan aksi pembalasan dengan menyerang Jalur Gaza, ketika operasi militer ini dilakukan, sepertinya Israel butuh “aman” dari serangan proxy Iran seperti Hizbullah (Libanon Selatan) dan Houthi (Yaman).
Dimana Hizbullah dan Houthi saat ini membantu Hamas di dalam konflik dengan Israel di Jalur Gaza, dengan menembakkan rudal ke wilayah Israel dan mengganggu kapal-kapal disinyalir menjadi sekutu Israel di laut merah. Artikel ini mengulas secara singkat dua sekutu Iran dalam melawan zionis Israel di Timur Tengah dihimpur dari berbagai literatur.
Hizbullah Libanon.
Hizbullah merupakan aktor non-negara (non-state actor) memiliki pengaruh besar di negara Libanon, nama Hizbullah sendiri memiliki arti Kelompok Allah atau Partai Allah, mereka merupakan kelompok Syiah, memiliki peran dalam melawan agresi Israel di wilayah Libanon Selatan (Qurani,2006). Hizbullah bermula dari gerakan amal (harakat amal) yang didirikan Musa Sadr, lahir dari ayah berwarga negara Iran dan Ibu warga negara Libanon. Musa Sadr mendirikan harakat amal awalnya memiliki tujuan membangunkan masyarakat Syiah Libanon untuk bangkit dari keterpurukan dan keterpinggiran, dipersatukan dalam satu bendera yang sama (Kazhim, 2013).
Di tengah jalan harakat amal mengalami perpecahan dari dalam, terdapat faksi besar yang menghendaki ideologi Syiah dikembangkan Iran pasca Revolusi Islam 1979, berwatak radikal-revolusioner diadopsi sebagai ruh gerakan Syiah Libanon, sehingga memunculkan aspirasi mendirikan organisasi baru lebih bersifat ideologis. Terbentuklah Hizbullah dengan anggota formatur terdiri dari sembilan orang, hampir semuanya berasal dari harakat amal (Kazhim, 2013).
Hizbullah sendiri didirikan pada tahun 1982 di Libanon Selatan, lebih tepatnya di Lembah Bekka, para pendirinya sangat terpengaruh oleh ide-ide Imam Khomeini, maka tidak heran bila Hizbullah memiliki orientasi atau berkiblat ke Teheran, sehingga mendapat dukungan penuh secara militer dan ekonomi dari Iran. Hizbullah memiliki tujuan terciptanya revolusi model Iran di Libanon, serta menentang pasukan pendudukan Israel, yaitu IDF (Israel defense force) di Libanon Selatan, Hizbullah menolak keras segala bentuk perdamaian dan kompromi dengan Israel. Hizbullah juga mendukung kemerdekaan Palestina, maka tidak heran Hizbullah memiliki hubungan baik serta kerap melakukan kerja sama dengan faksi-faksi perlawanan Palestina seperti Hamas, Jihad Islam, dan PFLP (Popular Front for the Liberation of Palestine) pimpinan George Habbash (Romli, 2000).
Eksistensi Hizbullah sebagai gerakan perlawanan pertama kali muncul ketika berlangsung invasi Israel ke Libanon Selatan pada tahun 1982, menewaskan 19.000 warga Libanon, sebagian besar penduduk sipil dan mayoritas warga Syiah. Kader-kader awal Hizbullah mendapatkan pelatihan militer dari 1.500 anggota Pengawal Revolusi Iran, yang langsung didatangkan ke Lembah Bekka pada musim panas 1982, melatih militer para anggota Hizbullah untuk melawan tentara Israel. Perlawanan Hizbullah berbuah manis, pada tahun 2000, Perdana Mentri Israel, Ehud Barak, memutuskan meninggalkan Libanon Selatan setelah lebih dari 1.000 tentaranya tewas (Gaban, Kusuma, dan Hamzah, 2006).
Meskipun Israel telah meninggalkan Libanon Selatan, milisi Hizbullah kerap kali terlibat kontak senjata dengan tentara Israel, bahkan akhir-akhir ini ketika Jalur Gaza digempur Israel, Hizbullah membantu Hamas dengan memerangi IDF di dekat perbatasan Libanon-Israel, sebagai bentuk solidaritas mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan zionis Israel.
Houthi Yaman
Kehadiran kelompok Houthi bermula ditahun 1990-an gerakan ini berupa organisasi kepemudaan bernama Syabab al-Mu’minin memiliki afiliansi keagamaan dengan penganut Syiah Zaidiyah. Pergerakan Syabab al-Mu’minin pada awalnya lebih ke ranah dakwah keagamaan, kegiatan mereka seperti summer camp dengan menghadirkan sejumlah tokoh Syiah sebagai pembicara, sehingga mampu menggaet ribuan peserta (Al Qurtuby, 2024).
Syiah Zaidiyah mengakui Zaid bin Ali, cucu Husain adalah Imam kelima, serta mempercayai semua keturunan Ali dapat menjadi Imam, dibandingkan aliran Syiah lain, Syiah Zaidiyah merupakan kelompok kurang fanatik serta lebih dekat dengan tradisi Islam Sunni, mereka mengakui sahnya Khalifah Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman Bin Affan sebagai Imam (Sahide, 2020).
Hussein al-Houthi menjadi figur penting dalam gerakan ini, sehingga nama gerakan ini diambil atau diadopsi dari namanya, Hussein al-Houthi pernah menjadi anggota dewan (1993-1997) dari Hizb al-Haqq, sebuah partai politik Islamis berafiliasi Syiah Zaidiyah,di tahun 2004, ia tewas terbunuh karena dituduh melakukan gerakan makar dan separatisme (Al Qurtuby, 2024). Gerakan Houthi kemudian bertranformasi menjadi gerakan politik, mereka memperjuangkan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik lebih luas, kelompok ini frustasi atas kebijakan-kebijakan korup dari pemerintah berkuasa (Abdullah Saleh dan Hadi) sehingga melakukan perlawanan bersenjata menjadi pilihan (Ilyas, 2019). Dalam laporan para ahli PBB ke Dewan Keamanan terungkap Kelompok Houthi mendapat bantuan dari Iran, dengan mengirimkan kapal berisi bahan bakar untuk dijual, adapun uang hasil penjualan bahan bakar selanjutnya dipakai Houthi untuk membiayai aksi-aksi mereka (Nainggolan, 2020).
Di dalam perang Hamas dan Israel dimulai 7 Oktober 2023, kelompok Houthi mendeklarasikan perang melawan Israel, mereka melakukan operasi militer di laut merah mengganggu kapal-kapal dinilai memiliki afiliasi dengan Israel dan sekutunya, tindakan Houthi ini menyulut kemarahan Amerika Serikat, melakukan serangan pada posisi-posisi militer Houthi di Yaman, konflik bersenjata pun tidak dapat dielakkan. Merespon aksi Amerika Serikat, kelompok Houthi menyampaikan tidak akan menghentikan aksinya sebelum aksi genosida Israel pada penduduk sipil di Jalur Gaza dihentikan.
Kedua kelompok sekutu Iran di Timur Tengah ini memiliki kepentingan dan tujuan sama, yaitu menekan Israel secara militer untuk menghentikan invasi zionis ke Jalur Gaza, mereka melakukan pembelaan atas dasar solidaritas untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Sumber Referensi Artikel
1. Al Qurtuby, Sumanto. 2024. Houthi dan Syiah Yaman (Harian Kompas, 25 Januari 2024).
2. Drone Tempur Iran Versus Pertahanan Berlapis Israel (Harian Kompas, 15 April 2024).
3. Gaban, Farid. Surya Kusuma, dan Alfian Hamzah. 2006. Apa dan Siapa Hizbullah dan Nasrallah (Penerbit Misbah, Jakarta).
4. Ilyas, Mochamad. 2019. Konflik Yaman : Kompleksitas dan Jalan Terjal Perdamaian dalam Nainggolan, Poltak Partogi (editor). 2019. Proxy War di Timur Tengah (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta).
5. Kazhim, Musa. 2013. Hizbullah Sebuah Gerakan Perlawanan Ataukah Terorisme (Penerbit Mizan, Bandung).
6. Nainggolan, Poltak Partogi. 2020. Konflik Internal dan Kompleksitas Proxy War di Timur Tengah (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta).
7. Romli, Asep Syamsul. 2000. Demonologi Islam Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Gema Insani Press, Jakarta).
8. Sahide, Ahmad. 2020. Syiah Sunni dalam Konstelasi Politik Timur Tengah (UMY Press, Yogyakarta).
9. Qurani, Ali. 2006. Rahasia Ketangguhan Hizbullah : Prinsip, Dasar, dan Strategi Perjuangan (Ramala Books, Jakarta).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.