Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yopi Sanjaya

Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Dinamika Kebudayaan Masyarakat Asia Tenggara

Sejarah | Tuesday, 09 Apr 2024, 09:09 WIB
Hasil kebudayaan lokal Asia Tenggara berupa rumah panggung (Sumber gambar: pixabay.com)

Seiring perkembangan zaman, kebudayaan Asia Tenggara mengalami perkembangan yang pesat. Kebudayaan lokal yang dimiliki Asia Tenggara ternyata masih bisa dijumpai hingga saat ini. Selain itu, pengaruh dari kebudayaan asing seperti India, China, Islam, dan kedatangan bangsa Eropa turut andil dalam perkembangan dinamika kebudayaan masyarakat Asia Tenggara. Kebudayaan itupun akhirnya mampu berintegrasi dengan kebudayaan asli Asia Tenggara.

1. Kebudayaan Lokal Asia Tenggara

Asia Tenggara ternyata memiliki kebudayaan lokal yang beragam. Hasil kebudayaan lokal yang bisa ditemukan di wilayah tersebut yaitu pembuatan rumah panggung dengan berbagai ciri umum yang menonjol. Misalnya saja pada bagian atap rumah itu sengaja dibuat curam dengan tiang kayu yang kuat karena berguna untuk menahan hujan lebat maupun untuk pengangkatan rumah.

Selain itu, pesona rumah panggung di kawasan Asia Tenggara juga dilengkapi tangga yang memiliki jarak tinggi beragam. Biasanya tinggi tangga di rumah milik bangsawan ternyata lebih tinggi dibandingkan milik rakyat biasa (Reid, 1992). Tidak hanya itu saja, ciri umum dari rumah Asia Tenggara yakni dengan dipasangnya tungku perapian yang melesak ke dalam lantai dan biasanya terletak di ruang dapur. Dengan dibentuk tungku perapian ini karena berdasarkan pertimbangan agama dan praktis (Alcina 1668 IV: 38).

Adapun perabot rumah tangga yang digunakan masyarakat Asia Tenggara sangatlah sederhana karena kebiasaan mereka makan di lantai. Daun pisang pun digunakan sebagai piring. Perabotan yang diperlukan rumah biasa yakni periuk dari tanah liat, tempat tampung dari bambu dan keramik, serta tempat sirih dari kuningan, teko maupun baki.

Selain itu, alat penerangan yang digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara dari lampu minyak tanah. Mereka menggunakan hal itu karena bahannya yang mudah diperoleh dari biji kemiri. Misalnya saja di beberapa kawasan di Burma pada abad ke-18 menghasilkan beberapa ratus ton minyak tanah yang diangkut dari Sungai Irawadi untuk memberikan penerangan terhadap wilayah seluruh kerajaan Birma. Sedangkan, sebagian besar rakyat di Sumatera bagian utara untuk memperoleh minyak penerangan itu dari sumur-sumur alam di Perlak sehingga memperkaya kerajaan Pasai dan Aceh.

Budaya menghitamkan gigi pun bisa dijumpai di masyarakat lokal Asia Tenggara. Tradisi ini merupakan kebiasaan yang berasal dari kepercayaan spiritual. Perlu diketahui di negara kepulauan seperti Indonesia maupun Filipina biasanya gigi mereka diratakan pada usia remaja. Sedangkan di Birma, Siam, dan Vietnam untuk penghitaman gigi perlu ditambah pewarna dari sayuran dan mengunyah sirih (Marsden, 1783: 52-53; La Louvre 1691:29). Adapun budaya lain yang ditemukan di Asia Tenggara yaitu budaya pelubangan dan penggembungan daun telinga oleh kalangan atas, baik pria maupun wanita.

Selain itu, budaya lokal memanjangkan rambut, baik pria maupun wanita juga bisa ditemukan di Asia Tenggara. Pemanjangan rambut ini dipandang sebagai lambang petunjuk diri. Pada masa itu bagi orang Vietnam tradisi memanjangkan rambut berarti mencintai kepalanya. Sedangkan di Birma maupun Filipina untuk memanjangkan rambut dengan menambahkan rambut palsu (Reid, 1992). Pola yang didorong dalam perawatan rambut di Asia Tenggara yaitu membuat rambut menjadi panjang dan lebat.

2. Masuknya Pengaruh Kebudayaan Indianisasi di Asia Tenggara

Pengaruh kebudayaan Indianisasi ke Asia Tenggara melainkan bukan dipengaruhi dari migrasi besar-besaran, tetapi melalui interaksi perdagangan (Hall, 1988). Pengaruh kebudayaan India ke Asia Tenggara ternyata memberikan pengaruh yang kuat ke negara Myanmar, Indonesia, Kamboja, dan Thailand. Bukti dari kebudayaan Asia Tenggara yang dipengaruhi Indianisasi yaitu berupa pembentukan candi, prasasti, dan patung beraliran agama Hindu maupun Buddha.

Misalnya bisa ditemukan candi Ananda yang beraliran Buddha yang dibangun pada 1105 M di Pagan, Burma. Candi ini merupakan tiruan dari candi gua Ananta di Udayagiri, Orissa. Sedangkan menurut pengawas survei arkeologi di Burma bahwa candi itu mengikuti model dari Candi Paharpur di bagian utara Bengala (Hall, 1988). Maka, India bagian selatan memainkan peran penting dalam mengekspor kebudayaan India ke Asia Tenggara.

Sedangkan pengaruh unsur kebudayaan India juga mempengaruhi pembangunan berbagai candi yang ada di Indonesia. Misalnya saja salah satu candi di Indonesia yaitu Candi Borobudur yang reliefnya dipahat pada bagian dinding candi dengan pahatan riwayat Sang Buddha yang merupakan unsur budaya dari India. Selain itu, pembuatan candi ini juga mengadaptasikan budaya lokal Indonesia pada candi itu dengan bentuknya punden berundak. Bentuk ini merupakan akulturasi dari budaya India dengan budaya lokal.

Adapun pula candi Angkor Wat yang ada di Kamboja ternyata dipengaruhi unsur budaya India. Pada Angkor Wat ditemukan banyak relief dan patung yang menggambarkan mitologi India. Oleh karena itu, arsitektur candi Angkor Wat dipengaruhi candi Hindu di India Selatan yang mengkombinasikan harmoni dengan simetri terhadap perhiasan luar tingkat tinggi.

Selain itu, tulisan Pallawa maupun bahasa Sansekerta yang merupakan bagian dari Kebudayaan India linguistik ternyata memberikan dampak bagi perkembangan penulisan di Asia Tenggara. Penulisan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta biasanya bisa dijumpai dari berbagai peninggalan prasasti yang tersebar di Asia Tenggara. Misalnya penggunaannya pada salah satu prasasti di kerajaan Funan yaitu prasasti Waisnawa (Purwanta, 2022). Selain itu, prasasti Yupa yang merupakan peninggalan Kerajaan Kutai juga dipengaruhi huruf Pallawa berbahasa Sansekerta (Hall, 1988).

3. Pengaruh Cinanisasi di Indocina

Peradaban Cina ternyata mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara, termasuk Indocina. Wilayah Indocina yang mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Cina yaitu Vietnam. Perlu diketahui Cinanisasi yang terjadi di Vietnam berlangsung sejak awal abad ke-2 SM hingga awal abad ke-10. Pada masa itu, daerah ini terintegrasi dengan kerajaan Nanyue (Rickfles dkk., 2013).

Bukti dari artefak – artefak kebudayaan Dongson yang tercecer di mana – mana memperlihatkan adanya pengaruh dari budaya Cina seperti penggunaan perunggu, motif hewan, dan bentuk benda – benda upacara. Gendang perunggu menjadi produk paling ikonik pada kebudayaan tersebut. Ketika kebudayaan Dongson berkembang di Vietnam ternyata unsur – unsur kebudayaan Cina pun turut disuntikkan (Jusoh., 2022).

Selain itu, aspek Cinanisasi yang terjadi di Vietnam tenyata mempengaruhi sistem nilai dan kepercayaan. Perlu diketahui inti kebudayaan Cina dibentuk tiga rangkaian nilai yaitu Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme. Sebagian besar unsur sistem kepercayaan ini diteruskan ke dalam Kebudayaan Vietnam selama milenium kekuasaan Cina. Bahkan, kepercayaan Buddha dan Tao dengan mudah hidup beriringan sehingga membentuk kesatuan dengan kepercayaan Vietnam.

Jejak kebudayaan Cina pun ternyata sangat beragam di Vietnam. Misalnya saja hampir semua nama keluarga maupun nama individu di Vietnam yang diturunkan dari bahasa Cina. Bahkan bahasa Cina klasik pun tetap menjadi bahasa tulis utama Vietnam hingga awal abad ke-20 Masehi. Selain itu, sistem penulisan di Vietnam didasarkan dari huruf – huruf Cina. Meskipun bahasa Vietnam lebih dekat dengan bahasa Kamboja, tetapi dari segi kosa kata maupun tata bahasa Vietnam sangat dipengaruhi bahasa Cina.

4. Pengaruh Masuknya Kebudayaan Islam di Asia Tenggara

Ketika Islam datang ke kawasan Asia Tenggara ternyata lambat laun mempengaruhi dinamika kebudayaan di wilayah tersebut yang sedang berkembang. Budaya Islam yang datang dari Arab ke Asia Tenggara sejak abad ke-7 hingga abad ke-12 ternyata membentuk komunitas pedagang muslim di beberapa daerah Asia Tenggara. Selanjutnya penyebaran ajaran Islam sejak abad ke-13 mengalami perkembangan yang pesat. Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam merupakan wilayah yang mengalami perkembangan yang signifikan dari masuknya budaya Islam seiring tergerusnya budaya dari ajaran Hindu-Buddha.

Biasanya warisan budaya Islam yang datang di wilayah tersebut berupa batu nisan maupun pada arsitektur pembangunan masjid. Misalnya saja di Indonesia yang hampir semua batu nisan yang ditemukan di Jawa Timur menggunakan perpaduan perhitungan tahun Saka maupun tahun Hijriah. Berdasarkan bukti – bukti yang ada, Islam menyebar ke nusantara dimulai dari wilayah pesisir hingga secara berangsur-angsur menyusup ke beberapa daerah pedalaman (Saifullah, 2020). Tak hanya itu saja, penyebaran budaya Islam pun tidak lepas dari peran dakwah yang dibawa oleh Wali Songo dan mubaligh. Mereka melakukan dakwah Islam dengan pendekatan budaya yang mengkolaborasikan seni budaya lokal dengan ajaran Islam seperti pertunjukan wayang, tembang Jawa, gamelan, dan sebagainya.

Selain itu, pembangunan masjid menjadi warisan dari pendekatan budaya Islam. Misalnya saja Masjid Agung Demak yang mempunyai akulturasi yang memadukan arsitektur Jawa dengan Islam. Pada masjid itu ditemukan empat pilar tiang yang menjadi penyangga bangunan utama atau disebut Saka Guru dengan arsitektur Jawa. Sementara itu, tiang serambi Majapahit yang ada di masjid tersebut ternyata arsitekturnya mengadaptasikan dari kerajaan Majapahit yang beraliran agama Hindu (Wardani dkk., 2022).

Islam datang ke Malaysia diperkirakan pada abad ke-10 M. Hal ini dibuktikan dengan penemuan batu nisan di Tanjung Inggris, Kedah. Pada batu itu tertulis nama Syekh Abd al-Qadir bin Husayn Syah yang meninggal pada tahun 940 M. Bentuk kebudayaan Islam di Malaysia yaitu menjadi identitas dasar dalam kebudayaan Melayu. Misalnya saja pada pakaian tradisional Melayu yang telah disesuaikan dengan anjuran Islam. Untuk pakaian wanita dengan mengenakan berbaju kurung dan rok panjang serta dengan tutup kepala pula. Sedangkan bagi pakaian laki – laki dianjurkan dari ajaran Islam. Hal ini tentunya membuat budaya Melayu telah dipengaruhi ajaran Islam (Helmiati, 2014). Sedangkan di Brunei bahwa budaya Islamnya begitu melekat ketika Syarif Ali naik tahta dengan mendirikan masjid.

5. Penyebaran Kebudayaan Bangsa Eropa ke Asia Tenggara

Kedatangan bangsa Eropa di Asia Tenggara terjadi sejak akhir abad ke-15 M ataupun awal abad ke-16 dengan ditemukan jalur laut ke Asia melalui Tanjung Harapan. Bangsa Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang datang ke wilayah Asia Tenggara. Kemudian disusul bangsa Spanyol, bangsa Belanda, Bangsa Inggris, dan bangsa Prancis. Bangsa tersebut saling bersaing dalam perdagangan maupun mengekplorasi kekayaan alam di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, penyebaran kristenisasi juga dilakukan oleh bangsa Eropa.

Peninggalan budaya bangsa Portugis di Asia Tenggara yaitu penyebaran agama Kristen Katolik. Bangsa Portugis dalam melakukan ekspedisi dalam setiap pelayarannya dengan membawa rohaniawan Katolik. Para rohaniawan juga merangkap sebagai misionaris dalam penyebaran Kristen Katolik. Agama Kristen Katolik pertama kali disebarkan di nusantara yakni di daerah Maluku. Fransisco Xaverius menjadi seorang misionaris pertama yang menyebarkan Kristen Katolik di Maluku hingga Ternate.

Selain itu, dirinya juga mempunyai gagasan untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Melayu agar bisa dimengerti oleh masyarakat setempat. Namun bangsa Portugis dalam hal memperkenalkan agama Katolik dengan cara kekerasan dan menjunjung tinggi semangat Rencnquesta (Zulkarnain, 2020). Mereka sengaja datang hingga ke pelosok daerah lain dalam rangka memerangi Islam. Hal ini bertujuan untuk menggantikannya dengan agama Kristen Katolik. Akan tetapi, kekuasaan Portugis lambat laun mulai runtuh sehingga terusir dari Maluku oleh VOC (Tohari, 2011).

Adapun bangsa Spanyol yang datang ke Filipina sejak tahun 1521 dengan membawa misi ekspedisi di bawah kepemimpinan Ferdinand de Magelhaens. Dari berbagai ekspedisi yang dilakukan bangsa Spanyol, ternyata di bawah kepemimpinan Miguel Lopez de Legaspi pada tahun 1564 yang paling berpengaruh dalam memperkuat hegemoni dan membangun basis penyebaran agama katolik di Filipina. Kemudian agama Katolik berhasil disebarkan ke kepulauan Filipina, kecuali pulau bagian selatan (Zulkarnain, 2020).

Selain itu, bangsa Spanyol selama berkuasa di wilayah itu memaksakan kepada masyarakat setempat dalam berkomunikasi dengan bahasa Spanyol. Hal ini akhirnya menimbulkan integrasi kata dan frasa Spanyol ke dalam dialek Filipina. Tidak hanya itu saja, nama keluarga dari bangsa Spanyol turut dikenakan pada keluarga rakyat Filipina.

Adapun bangsa Belanda yang datang ke Indonesia sejak tahun 1596 Masehi. Bangsa Belanda berkuasa di Indonesia yang begitu lama ternyata berdampak terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini karena pada masa kolonial Belanda dijumpai pula penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari. Oleh sebab itu, penggunaan bahasa Indonesia banyak menyerap pula dari bahasa Belanda.

Selain itu, penyebaran agama Kristen Protestan pun dilakukan oleh bangsa Belanda di wilayah Indonesia. Orang pertama Belanda yang bernama Stollen Beeker pun turut andil dalam menyebarkan agama Kristen Protestan di Maluku. Dia juga mendirikan Majelis Gereja di wilayah tersebut pada tahun 1615. Hal ini beliau dengan membuat bangunan itu untuk menyelenggarakan pemeliharaan rohani Maluku. Setelah itu, penyebaran Kristen pun dilanjutkan ke Sulawesi Utara dan Pulau Jawa. Misi Kristenisasi di Jawa dianggap yang paling mudah karena sinkritisme Islam yang mempermudah Kristen untuk disebarkan.

Adapun bangsa Prancis juga berhasil mendarat ke kawasan Indocina, yang termasuk mencakup Vietnam, Laos, dan Kamboja pada akhir abad ke-19. Bangsa ini memperluas pengaruhnya di Indocina dengan melalui perjanjian dagang, misi penyebaran agama, dan penaklukan militer. Selama Prancis berkuasa di wilayah itu membuat kebudayaan mereka yaitu bahasa Prancis mendominasi Laos dan Kamboja. Sedangkan bahasa Prancis di Vietnam justru menjadi bahasa kedua.

Selain itu, budaya Perancis juga mempengaruhi kuliner di Indocina yaing dikenal makanan Bahn mi atau dengan kata lain makanan khas Prancis. Makanan ini terinspirasi dari makanan Baguette yang ada pada masa kolonial Perancis sekitar tahun 1860-an. Kemudian Bahn mi diadaptasikan dengan tekstur yang renyah pada bagian luar dan lembut di bagian dalam. Hal ini menimbulkan akulturasi budaya Prancis dengan budaya Indocina.

Adapun bangsa Inggris yang berhasil memperluas wilayah koloninya hingga Asia Tenggara yang mencakup Malaysia, Singapura, Brunei, dan Myanmar pada abad ke-19. Penggunaan bahasa Inggris menjadi budaya Inggris yang berkembang di Asia Tenggara pada masa kolonial Inggris. Ketika negara tersebut mendapatkan kemerdekaan dari Inggris, Singapura menjadi negara yang menempatkan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resmi di negaranya. Sedangkan di sisi lain lain, Malaysia justru menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Sementara itu, bahasa Inggris justru dijadikan sebagai bahasa pengantar pada mata pelajaran teknis berdasarkan Undang-Undang Pendidikan di tahun 1996. Kemudian lambat laun penggunaan bahasa Inggris menjadi masif di Malaysia agar masyarakatnya terbiasa menggunakan bahasa internasional.

Walaupun perkembangan Asia Tenggara mengalami proses pelapisan kebudayaan dari pihak asing, tetapi setiap wilayah Asia Tenggara memiliki pola kultur ataupun ciri khas yang berbeda dalam hal mengadaptasikan unsur – unsur dari budaya luar. Hal ini pun juga menimbulkan perbedaan corak kebudayaan yang khas, meskipun terdapat kesamaan struktur maupun sistem yang sama. Hal ini juga didukung sikap masyarakat yang selektif di masing – masing kawasan Asia Tenggara terhadap budaya yang masuk ke wilayahnya untuk mengasimilasikan dan mengakulturasikan budaya. Hal ini perlu dilakukan agar ciri khas kebudayaan dari masing – masing negara Asia Tenggara menjadi tidak pudar.

Adapun beberapa faktor yang membuat corak kebudayaan yang khas di Asia Tenggara mengalami diferensiasi yaitu: karena dipengaruhi letak geografis dan perjalanan sejarah yang dirasakan masing – masing negara. Misalnya saja Vietnam yang berdekatan dengan Tiongkok secara letak geografisnya mempengaruhi cinanisasi sehingga menimbulkan kesamaan budaya dari Vietnam maupun Tiongkok sehingga terjadilah asimilasi budaya.

Sedangkan berdasarkan perjalanan sejarah yang dirasakan masing – masing negara menimbulkan akulturasi budaya tanpa menghilangkan unsur budaya aslinya. Misalnya di negara kepulauan seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura dari segi budaya lingustik masih melekat dan justru mengalami perkembangan karena dipengaruhi budaya asing yang masuk. Maka dari itu, budaya linguistik asing yang masuk ke negara tersebut bisa disesuaikan dengan bahasa lokal. Sedangkan di kawasan daratan Asia Tenggara yang meliputi wilayah Thailand, Kamboja, dan Myanmar juga mengalami akulturasi budaya material berupa candi dari peradaban kebudayaan Hindu-Buddha di India.

Maka dari itu, perbedaan kebudayaan tiap negara di Asia Tenggara ternyata membentuk kawasan yang multikultural. Pada wilayah daratan Asia Tenggara kental akan nuansa budaya dari tradisi Hindu-Buddha di India. Sedangkan di wilayah kepulauan Asia Tenggara justru kental akan budaya Islam. Persamaan dari kebudayaan yang ada di Asia Tenggara yakni sebagian besar keragaman budayanya ternyata dipengaruhi budaya Eropa. Pada hakikatnya, keragaman perbedaan dari kebudayaan di Asia Tenggara sebagai wujud budaya ketimuran dengan menerima berbagai unsur budaya asing, tetapi tidak meninggalkan unsur lokalitas masyarakat di kawasan Asia Tenggara.

Daftar Pustaka:

Muhammad Bardan Abdillah, K., & Wardani, R. (2022). Akulturasi Masjid Menara Kudus dan Masjid Agung Demak (Vol. 1).

Jusoh, A. (2022). Polemik Kebudayaan Dongson di Asia Tenggara. Journal of History Department. 31(2): 1-16

Zulkarnain. (2020). Pengaruh Hindu Budha dan Kristen di Asia Tenggara. Istoria: Jurnal Pendidikan dan Sejarah. 16(1): 1-13

Dr. H. Saifullah, SA. MA (2020). Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Helmiati (2014). Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Ricklefs, M.G dkk., (2013). Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer. Jakarta: Komunitas Bambu

Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (1450-1680) Jilid I Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hall, D.G.E. (1988). Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image