Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Budianto Sutrisno

Peran Indonesia di Kancah Konflik Laut Tiongkok Selatan

Politik | Sunday, 07 Apr 2024, 15:37 WIB
Sumber foto: Indonesia Expat

Seperti kita ketahui, konflik di Laut Tiongkok Selatan itu telah terjadi sejak berpuluh tahun silam. Dampaknya dirasakan oleh sejumlah negara yang terkait. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kosakata ”Tiongkok” sebagai pengganti istilah ”Cina” atau ”China”, sesuai dengan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan istilah ”China”—yang sering digunakan di berbagai media massa—mengacu pada istilah dalam bahasa Inggris.

Pemicu konflik

Fakta menunjukkan bahwa konflik ini melibatkan sejumlah negara yang terletak di kawasan Asia Pasifik, seperti Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Mengingat terdapatnya sumber daya alam yang berlimpah di kawasan tersebut, maka konflik di Laut Tiongkok Selatan merupakan konflik yang bersifat sangat kompleks dan perlu ditangani secara ekstra hati-hati.

Menurut hemat penulis, sejatinya terdapat sejumlah faktor yang memicu terjadinya konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Faktor pertama adalah berlimpahnya sumber daya alam di kawasan tersebut, seperti ikan, terumbu karang, minyak, dan gas alam. Negara mana yang tak ingin menguasai berlimpahnya kekayaan sumber daya alam? Menguasai kekayaan sumber daya alam berarti menguasai ekonomi dan perdagangan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ikan merupakan sumber protein yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Terumbu karang berguna sebagai sumber keanekaragaman hayati dari berbagai spesies. Di samping itu, juga bermanfaat sebagai pelindung ekosistem di lingkungan sekitarnya, dan mampu mencegah abrasi di daerah pesisir. Sementara, gas dan minyak bumi merupakan sumber energi yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan berbagai sektor industri dan transportasi. Apalagi sumber energi yang tak terbarukan semakin menipis keberadaannya di bumi ini. Kawasan Laut Tiongkok Selatan tak ubahnya bunga kaya nektar dan madu yang memikat kehadiran banyak kumbang dan kupu-kupu untuk menikmati sarinya.

Faktor kedua, berupa persaingan kepentingan strategis dari sejumlah negara. Tak syak lagi, kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan jalur perdagangan yang strategis yang menghubungkan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik. Dengan demikian, kawasan ini menjadi sumber persaingan di antara sejumlah negara yang mengklaim kedaulatannya di kawasan emas tersebut. Kedekatan dengan sumber daya alam yang berlimpah dan kestrategisan jalur perdagangan, merupakan dua faktor utama yang memicu terjadinya konflik yang berkepanjangan. Bagi penulis, Laut Tiongkok Selatan ibarat ”Jalan Sutra” di abad ke-21.

Faktor ketiga, merupakan rentetan dan kelanjutan dari faktor pertama serta kedua, yakni munculnya klaim tumpang tindih perihal teritorial sejumlah negara, yakni Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Negara-negara ini saling ngotot dan bersaing dalam mengklaim teritorial mereka masing-masing. Kumbang dan kupu-kupu saling berebut pulau-pulau, terumbu karang, dan perairan Laut Tiongkok Selatan yang kaya dengan sumber daya alam. Di samping itu, kekukuhan pengakuan teritorial menurut versi negara masing-masing, telah menjelma sebagai isu sensitif, yakni pengobaran semangat nasionalisme dan sifat antikompromi. Tak mengherankan jika ketegangan dan konflik terjadi di kawasan ini.

Faktor keempat, terkait dengan keamanan maritim. Konflik ini dipicu oleh timbulnya kekhawatiran yang terkait dengan keamanan maritim. Hal ini menyangkut masalah pencurian ikan, penyelundupan senjata, dan aneka kegiatan ilegal lainnya. Dinamika konflik makin kompleks dengan timbulnya persaingan dalam mengendalikan keamanan di jalur perdagangan yang sangat penting peranannya bagi sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik.

Faktor kelima, berupa ketidaksepakatan terhadap penyelesaian konflik. Sejumlah negara cenderung mengedepankan penyelesaian konflik melalui upaya dialog dan diplomasi, sementara negara lain lebih memilih pendekatan melalui kekuatan militer. Tak pelak, ini merupakan adu kekuatan antara upaya diplomasi dan perang.

Peran Indonesia

Sebagai negara maritim, Indonesia perlu dan harus menjaga kedaulatan atas teritorialnya sesuai dengan aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berlaku. ZEE ini antara lain meliputi kawasan utara Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau. Konflik muncul ketika Tiongkok mengklaim kawasan tersebut sebagai kawasan teritorialnya secara sepihak. Klaim tersebut dikenal sebagai Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line) pada 2010. Pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprotes tindakan Tiongkok melalui Komisi Landas Kontinen PBB.

Pada 31 Desember 2019, ditengarai kapal penangkap ikan dan penjaga pantai Tiongkok telah memasuki perairan Natuna tanpa izin. Mereka melakukan pelanggaran ZEE berupa penangkapan ikan secara ilegal di teritorial Indonesia.

Menindaklanjuti peristiwa tersebut, Indonesia tidak tinggal diam. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, meminta Tiongkok untuk mematuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982. Aturan ini menetapkan bahwa ZEE Indonesia itu meliputi wilayah yang terbentang sepanjang 200 mil dan lebar laut wilayah sepanjang 12 mil. Indonesia telah menandatangani UNCLOS pada Desember 1982. Akan tetapi, UNCLOS baru masuk dalam undang-undang Indonesia melalui UU No. 6 Tahun 1996. Dengan demikian, sejak saat itu, tidak lagi diperbolehkan kapal-kapal asing untuk memasuki wilayah Republik Indonesia tanpa izin, apalagi mengklaim pulau-pulau terluar di Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya.

Penegasan bahwa Natuna adalah bagian dari teritorial Indonesia telah dilakukan oleh Presiden Jokowi lewat kunjungannya ke Natuna pada 8 Januari 2020. Kunjungan tersebut menggarisbawahi bahwa Natuna—dari dulu sampai sekarang—adalah teritorial NKRI. Kedaulatan Republik Indonesia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Indonesia berdaulat penuh atas seluruh kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Lalu bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi masalah konflik ini? Menurut hemat penulis, tidak ada solusi instan untuk mengatasi konflik kompleks ini. Dialog dan diplomasi multilateral merupakan salah satu jalan keluarnya. Melalui dialog multilateral ini, diharapkan negara-negara yang terkait dengan masalah konflik, bisa mempertimbangkan hal yang terbaik bagi kepentingan semua pihak.

Di samping itu, diperlukan kesadaran dari setiap negara yang terkait, untuk menghormati aturan yang tertuang dalam UNCLOS, termasuk penentuan ZEE. Hal ini akan dapat mengurangi timbulnya ketegangan di wilayah konflik. Juga diperlukan kesadaran untuk menghormati keputusan arbitrase yang sah, sehingga bisa terjalin rasa saling percaya antarnegara yang terkait.

Tak kurang pentingnya adalah upaya menggalang kerja sama maritim untuk mengurangi konflik. Kerja sama ini dapat mencakup upaya pertukaran informasi, patroli bersama, dan latihan gabungan. Dengan demikian, kegiatan ilegal di perairan konflik dapat ditanggulangi.

Melalui komitmen yang kuat di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk berpartisipasi dalam dialog serta peningkatan kesadaran untuk saling menghormati hukum internasional, penulis percaya bahwa perdamaian dan stabilitas wilayah yang terdampak konflik, dapat diwujudkan dengan baik.

#KedaulatanIndonesia #JagaNatuna #LombaISDS

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image