Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arief Nurharyadi

Makna Lailatul Qodar dan Haji Mabrur

Pendidikan dan Literasi | Sunday, 07 Apr 2024, 07:26 WIB

Malam Lailatur Qodar adalah malam yang ada dalam bulan Ramadhan yang merupakan malam kemuliaan seribu bulan.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam surat Alqadr surat ke-97 ayat ke.3.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ
3. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.
تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan”Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169.

Menurut Imam Al Ghazali Cara Untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari permulaan atau malam pertama bulan Ramadan :
1. Jika hari pertama jatuh pada malam Ahad atau Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 29 Ramadan.
2.Jika malam pertama jatuh pada Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadan.
3.Jika malam pertama jatuh pada Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadan.
4. Jika malam pertama jatuh pada malam Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadan.
5. Jika malam pertama jatuh pada Selasa atau Jumat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadan.

Kaidah ini tercantum dalam kitab-kitab para ulama termasuk dalam kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah. Rumus ini teruji dari kebiasaan para tokoh ulama’ yang telah menemui Lailatul Qadar. Formula ini diceritakan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin; juga terdapat dalam kitab Hasyiah Sulaiman Al Kurdi juz hal 188; Tafsir Shawi; kitab I’anah at-Thalibin II/257; Syaikh Ibrahim al Bajuri dalam Kitabnya Hasyiah ‘Ala Ibn Qasim Al Ghazi juz I halaman 304; as Sayyid al Bakri dalam Kitabnya I’anatuth Thalibin Juz II halaman 257-258; juga kitab Mathla`ul Badrain karangan Syaikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathoni.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sepantasnya bagi seorang muslim untuk mencari malam lailatul qadar di seluruh sepuluh hari terakhir.

*_Karena keseluruhan malam sepuluh hari terakhir bisa teranggap ganjil jika yang dijadikan standar perhitungan adalah dari awal dan akhir bulan Ramadhan. Jika dihitung dari awal bulan Ramadhan, malam ke-21, 23 atau malam ganjil lainnya, maka sebagaimana yang kita hitung.
*_TETAPI jika dihitung dari Ramadhan yang tersisa, maka bisa jadi malam GENAP itulah yang dikatakan GANJIL._* Perhatikan hadits berikut, *“Carilah malam Lailatul Qadr di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bisa jadi Lailatul Qadr ada pada sembilan hari yang tersisa, bisa jadi ada pada tujuh hari yang tersisa, bisa jadi pula pada lima hari yang tersisa.”* (HR. Bukhari no. 2021).
Jadi jangan mengkhususkan giat beribadah, i'tikaf di masjid hanya pada malam-malam ganjil saja, bisa-bisa justru terjadi di malam genap dimana kita sedang asik bersantai-santai di rumah. *_Ingat bahwa di bulan Ramadhan ini, Allah Ta'ala menguji ketaqwaan hamba-Nya, siapakah yang benar-benar bertaqwa?*_ *_Semoga Allah memudahkan kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan dan moga kita termasuk di antara hamba yang mendapat malam yang penuh kemuliaan._* *#Yuk kita berburu malam Lailatul Qadr, Jangan Terkecoh, Lailatul Qadr Bisa Terjadi Di Malam Genap!#*

Berikut ilustrasi dari Dua (2) orang yang menghitung kebaikan malam lailatul Qodar lebih baik dari 1.000 bulan maka merencanakan amalan sodaqoh sebesar Rp.1,500.000,- akan tetapi yang berbeda adalah teknis pemberiannya.Orang pertama memberikan uang tersebut (Rp.1.500.000,-) langsung pada awal Ramadan dan orang kedua membagi uang tersebut sebesar @Rp.150.000,- dimulai malam ke 21 sampai dengan malam ke-30 Ramadan (Total Rp.1.500.000,-)
Jika di kaitkan dengan turunnya lailatul qodar maka orang ke dua kemungkinan amalan mendapat lailatul qodar lebih besar daripada orang pertama.Akan tetapi jika kita melihat manfaat uang tersebut bisa jadi uang sodaqoh orang pertama sudah dimanfaatkan misal saja untuk pembelian makan dan minuman orang-orang yang berbuka dan orang-orang yang beritikaf serta jika manfaat ini bertepatan dengan malam lailatul qodar maka *manfaatnya uang orang pertama jauh lebih besar dibandingkan uang dari orang kedua.* Akan tetapi semangat dari tindakan orang kedua dapat juga menjadikan ia Istiqomah di dalam ramadan sehingga juga bermanfaat untuk menggapai Lailatul qodar.

Seseorang jika mendapatkan lailatul qodar sejatinya bukan melihat amalanya berlipat lebih dari 1.000 bulan akan tetapi yang hakiki adalah *seberapa jauh dia menjadi lebih baik (Hijrah) dari keadaan sebelum mendapat lailatul qodar.* Hubungan dengan Allah menjadi berkualitas seperti Sholat nya menjadi lebih tepat waktu, khusuk juga hubungan dengan orang-orang semakin baik dan dirinya semakin besar manfaatnya untuk orang banyak. Selain itu ia juga dapat bermanfaat untuk alam semesta (mahluk ciptaan-NYA).
Ramadan sejatinya membawa barokah salah satunya karena bulan tersebut di turunkannya Al Quran dan Al Quran ini merupakan "Mukjizat" sampai dengan akhir Zaman dan "Mukjizat" ini berbeda-beda sesuai waktu dan orang-orang yang menerimanya.

Bangsa Arab khususnya Qurays walaupun "Jahiliyah" akan tetapi mempunyai tradisi kesusateraan tinggi seperti Syair-syair dan seringkali mereka memperlombakannya di depan Kabah. Ada peristiwa ketika nabi Muhammad SAW awal berdakwah dengan khusus yaitu malam hari berkumpul dan membacakan Al Quran maka ada sahabat yang masih kafir yaitu seringkali mengendap-endap hanya untuk mendengarkannya karena mereka tertarik mendengarkannya karena berisi kesusasteraan yang tinggi dan bagus.

Ketiga orang tersebut adalah Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb, dan Al-Akhnas bin Syariq dari ke-3 nya hanya Abu Sufyan yang mendapat hidayah dan masuk islam sast fathu mekkah. Selain itu Umar bin Khatab ra dimana sebelumnya Kafir dan mendapat hidayah ketika mendengarkan surah Thaha ayat 1 sd 6. Al Quran merupakan Syifa penyembuh.“Dan kami turunkan Al Quran yang ia adalah ‘syifa’, dan rahmat bagi kaum mukmin; dan tiadalah (yang didapat) bagi orang-orang zalim kecuali kerugian.” (QS Al-Isra ayat 82).

Sekarang ini banyak dari ayat-ayat Al Quran menjadi bukti ilmu pengetahuan mulai dari penciptaan manusia, garis edar matahari dan bulan, Gunung sebagai pasak bumi, besi sebagai bahan yang bermanfaat dan lain sebagainya.
Jika kita lihat Lailatul qodar maka info tentang lailatul qodar ada di dalam Al Quran yaitu lebih mulia dari 1.000 bulan dan dari Al Quran juga di infokan tentang Haji Mabrur yang balasan adalah Syurga seperti hadist berikut :"Umrah ke umrah berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya. Dan, tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga" (HR Bukhari: 1683, Muslim: 1349).

Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.

Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (22: 39) mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ (ingin dipandang orang lain), tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak ada rofats (kata-kata kotor di dalamnya), tidak melakukan kefasikan, dan berhaji dengan harta halal.
Kita dapat katakan bahwa sifat haji mabrur ada lima:
1. Ikhlas mengharap wajah Allah, tidak riya‘ dan sum’ah. Jadi haji bukanlah untuk cari titel atau gelar “Haji”. Tetapi semata-mata ingin mengharap ganjaran dari Allah.
2. Berhaji dengan rezeki yang halal karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Allah itu thoyyib (baik) dan tidaklah menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim no. 1015).
3. Menjauh dari maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang menyelisihi syari’at. Hal-hal tadi jika dilakukan dapat berpengaruh pada amalan sholeh dan bisa membuat amalannya tidak diterima. Lebih-lebih lagi dalam melakukan haji. Dalam ayat suci Al Qur’an disebutkan firman Allah,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197).
4. Berakhlak yang mulia dan bersikap lemah lembut, juga bersikap tawadhu’ (rendah hati) ketika di kendaraan, tempat tinggal, saat bergaul dengan lainnya dan bahkan di setiap keadaan.
5. Mengagungkan syi’ar Allah. Orang yang berhaji hendaknya benar-benar mengagungkan syi’ar Allah. Ketika melaksanakan ritual manasik, hendaklah ia menunaikannya dengan penuh pengagungan dan tunduk pada Allah.

Hendaklah ia menunaikan kegiatan haji dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam berkata atau berbuat. Jangan bersikap terburu-buru sebagaimana yang dilakukan banyak orang di saat haji. Hendaklah punya sikap sabar yang tinggi karena hal ini sangat berpengaruh besar pada diterimanya amalan dan besarnya pahala.
Di antara bentuk mengagungkan syi’ar Allah, hendaklah ketika berhaji menyibukkan diri dengan dzikir, yaitu memperbanyak takbir, tasbih, tahmid dan istighfar. Karena orang yang berhaji sedang dalam ibadah dan berada dalam waktu-waktu yang mulia.

Kriteria dan syarat diatas untuk melaksanakan haji adalah berat sehingga amatlah besar manfaatnya bagi orang-orang yang berangkat haji. Akan tetapi ada cerita Haji mabrur yang dapat kita jadikan ibrah adalah ketika seseorang yang akan berangkat haji akan tetapi tidak terlaksana karena dananya diberikan kepada kaum fakir miskin dan ternyata manfaat dari dana haji yang sudah dikumpulkan tersebut lebih bermanfaat ketika di gunakan oleh orang banyak (Fakir-miskin) dibandingkan jika dia berangkat haji yang hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri. *Manfaat dana haji untuk orang banyak seperti ini menjadikan haji Mabrur.* disinilah dimensi sosial lebih utama dibanding manfaat untuk individu.

Jika Lailatul Qodar lebih baik dari 1.000 bulan dan orang banyak orang yang mengejarnya maka perlu di pertanyakan jika memang seseorang "mendapat Lailatul Qodar" akan tetapi tidak ada perubahan ahlaknya dari sebelum dan sesudah mendapat Lailatul qodar karena Haji Mabrur yang balasannya Syurga bukan di tentukan pada saat seseorang melaksanakan ibadah Haji akan tetapi adalah setelah ibadah haji maka ia menjadi lebih patuh dan taat kepada Allah SWT.

Lailatul qodar adalah bagian malam dari Ramadan dan didalam Haji ada rangkaian ibadah yaitu 5 Rukun Haji(Ihram, wujuf di arafah, Thawaf Ifadah, Sai antara marwa dan Shafa, Tahalul/mencukur rambut) dan 7 Wajib Haji (Ihram dari Miqat, Bermalam di Muzdalifah, Jumroh Aqobah, Tiga Jumroh di hari Tasyrik, Menginap di Mina, Thawaf wada, Menghindarkan haram selama Ihram).

Sejatinya ramadan dan Haji adalah rangkaian ibadah sehingga jika seseorang menyatakan mendapat Lailatul qodar dan haji Mabrur/mabruroh maka hasil dari hal diatas adalah berupa Ahlaq yang meningkat amaliyah sholeh baik hubungan kepada Allah SWT dan hubungan kepada Manusia / alam semesta. Hal ini karena ramadan dan haji adalah seperti Sekolah / Madrasah dari Allah SWT kepada kita dimana tidak hanya dilihat saat kita bersekolah / beribadah akan tetapi kesempurnaan itu adalah hasil setelah kita lulus dari sekolah dan menjadikan kita khalifah / pengelola alam semesta yang di ridhoiNYA seperti yang ada dalamQur'an Al-Baqarah:030.

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.'"
Demikian kiranya mengenai Lailatul qodar dan haji Mabrur semoga kita dapat mengambil ibrahnya dan termasuk orang-orang yang mendapatkan keduanya dan melaksanakan amaliyah Ahlak sholehah, Aamiin Ya Robbal Alamin.
Wallahu A’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image