Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wenni Setyo Lestari

Lebaran Liburan ke Bali? Jangan Lupa Beli Oleh-oleh Ini

Wisata | Tuesday, 02 Apr 2024, 14:07 WIB

Wisatawan yang pernah berkunjung ke Bali mungkin sudah tidak asing lagi dengan souvenir yang satu ini. Souvenir berupa kerajinan anyaman yang dibentuk menjadi berbagai macam benda mulai dari kotak pensil, kotak tissue, alas piring, alas gelas, mangkok, keranjang buah, nampan, topi dan yang paling sering dijumpai adalah tas. Kerajinan yang banyak diproduksi di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini mirip dengan anyaman rotan, tapi bukan.

Bukan Rotan, Tapi Ata

Anyaman tersebut dibuat dari tanaman paku ata. Tumbuhan dengan nama latin Lygodium circinatum (Burm. f.) Sw. ini merupakan salah satu tumbuhan paku anggota dari Suku Lygodiaceae. Paku ata tumbuh tersebar di berbagai belahan dunia, khususnya daerah tropis dan subtropis di kawasan Asia dan Pasifik Barat. Di Indonesia sendiri, paku ata memiliki beberapa nama daerah antara lain paku ate (Bali), paku hata (Jawa Barat), kethak (Lombok) atau nentu (Sulawesi Tenggara). Paku ata sendiri merupakan tumbuhan paku yang menyukai dataran rendah dan tumbuh optimal di ketinggian sekitar 400 m dpl. Jika ditanam di dataran tinggi lebih dari 1000 m dpl, paku ata masih bisa tumbuh namun sulit untuk bisa menghasilkan spora. Paku ata menyukai tempat terbuka, tanah tegalan dan hutan sekunder untuk tempat hidupnya.

Perawakan tumbuhan paku ata (Lygodium circinnatum) (Dokumentasi pribadi).

Bagian paku ata yang digunakan untuk anyaman adalah batangnya. Batang paku ata menyerupai sulur berdiameter kurang lebih 2-5 mm, yang bisa memanjat di batang tanaman lain hingga ketinggian 10 m. Batang yang digunakan sebagai rangka biasanya berasal dari batang yang sudah tua, sedangkan yang digunakan untuk tali anyaman biasanya diambil dari batang yang belum terlalu tua sehingga lebih mudah dipecah karena belum terlalu keras. Untuk membuat tali anyaman, batang yang belum tua akan dibelah menjadi empat bagian. Untuk memberi aksen warna, digunakan bagian pangkal batang yang berwarna hitam. Bagian tersebut tidak panjang, hanya sekitar 20 cm saja. Sebelum dianyam, semua batang tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu. Setelah dianyam, hasil anyaman akan dioven atau diasap untuk mendapatkan warna yang mengkilat dan tahan lama.

Susah Cari Bahan Baku

Sayangnya, bahan baku pembuatan kerajinan anyaman paku ata berasal dari tumbuhan liar yang masih sangat jarang dibudidayakan. Hal ini tentu saja mengakibatkan perajin kesulitan mendapatkan bahan baku dan mulai mencari ke desa tetangga. Akibatnya keberadaan paku ata di alam semakin langka sehingga beberapa desa di Bali kemudian menerapkan larangan untuk mengambil paku ata dari kawasannya guna mempertahankan populasinya. Para perajin kemudian terpaksa mendatangkan bahan baku dari pulau lain, misalnya Lombok, Jawa, Kalimantan, Flores dan Sulawesi yang juga bukan hasil budidaya.

Peluang Budidaya

Mengingat permintaan yang cukup tinggi, budidaya paku ata sebenarnya menjadi satu peluang usaha, apalagi paku ata sebenarnya tidak sulit untuk diperbanyak. Seperti halnya tumbuhan paku lainnya, paku ata bisa diperbanyak menggunakan spora, baik secara konvensional maupun menggunakan kultur jaringan. Secara konvensional, spora matang dapat disebar di pot berisi media campuran batu bata dan akar kadaka yang sudah disterilkan (dikukus selama 1 jam pada suhu sekitar 100°C dan kemudian dibiarkan hingga dingin). Pot berisi semaian spora kemudian ditutup dengan plastik agar tidak terkontaminasi oleh spora lain dan ditempatkan dalam bak air untuk menjaga kelambabannya. Umumnya spora yang berkecambah akan nampak pada sekitar 3 minggu setelah semai, ditandai dengan munculnya bintik-bintik berwarna hijau di atas media. Setelah kurang lebih 3 bulan, semaian dapat dijarangkan dan dipindah ke polybag dengan media campuran kompos dan tanah. Setelah 6 bulan, anakan dapat dipindah ke polybag yang lebih besar dan jika sudah dewasa atau mulai menghasilkan sulur dapat dipindah ke lapangan dengan disediakan penopang agar sulur dapat tumbuh dengan baik.

Paku ata juga dapat diperbanyak menggunakan teknik kultur jaringan dengan kombinasi unsur makro Knop’s dan unsur mikro Nitsch dengan tambahan Na-FeEDTA dalam media agar. Cara ini tentu lebih mahal mengingat bahan-bahan kimia serta peralatan yang dibutuhkan tidak murah. Cara ini juga cukup merepotkan, mengingat sterilisasi sporanya tidak mudah dan resiko kontaminasinya tinggi.

Bukan Cuma Bali Lho

Di Indonesia, Bali bukanlah satu-satunya penghasil anyaman paku ata. Pulau tetangganya, Lombok, juga menghasilkan kerajinan serupa, antara lain di Desa Pengadang, Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah. Jawa Barat juga mengenal kerajinan serupa yang antara lain diproduksi di Desa Bojong yang terletak di Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran dan Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya. Di Sulawesi Tenggara tepatnya di Desa Korihi, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, masyarakatnya juga menganyam paku ata.

Berbagai produk yang terbuat dari anyaman batang paku ata (Dokumentasi pribadi).

Selain Indonesia, Thailand juga memiliki souvenir serupa. Di Thailand, paku ata dikenal sebagai “yan lipao”. Setelah sempat menurun dan nyaris menghilang dari kehidupan masyarakat Thailand, popularitas kerajinan anyaman “yan lipao” kembali meningkat setelah pada tahun 1970 Ratu Sirikit menghidupkannya kembali dengan mengupayakan konservasi dan pengembangannya. Ratu Thailand saat ini yaitu Ratu Suthida bahkan kerap menggunakan tas tangan terbuat dari anyaman “yan lipao” saat melakukan aktivitas atau kunjungan kenegaraan yang kemudian sukses menarik perhatian dunia, misalnya saat penobatan Raja Charles III pada tahun 2023.

Meskipun sama-sama memproduksi kerajinan paku ata, masing-masing lokasi memiliki ciri dan karakternya sendiri. Pengembangan pola anyaman atau motif, bentuk, warna serta tambahan aksesoris lainnya akan menambah nilai jualnya. Semoga suatu saat kerajinan anyaman paku ata dari Indonesia yang sebenarnya sudah lama diekspor ke manca negara juga bisa menggaung di dunia, tentunya dari hasil budidaya. Bukan tidak mungkin, istri Wapres kita yang berikutnya juga akan mengenakannya, menyaingi Ratu Suthida.

Penulis : Wenni Setyo Lestari

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image