Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andy Cahyadi

Kesimpulan dan Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara

Guru Menulis | 2024-04-01 16:06:53
Komplek Perguruan Tamansiswa di Jalan Tamansiswa, Yogyakarta.

Koneksi Antar Materi oleh Andy Cahyadi

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam dan Bahagia Bapak Ibu Guru Penggerak

Saya akan memaparkan Kesimpulan dan Refleksi pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara pada pada tahapan ini, yaitu Koneksi Antar Materi.

Paparan pada bagian pertama tulisan ini adalah penjelasan yang dapat saya sampaikan mengenai pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut; Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia yang dikenal dengan konsep Taman Siswa, sebuah gerakan pendidikan yang berfokus pada kebebasan, kemandirian, dan pengembangan potensi individu. Saya mencoba memberi penjelasan singkat mengenai enam pokok pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan.

Pokok pemikiran yang pertama adalah Pendidikan sebagai Tuntunan, Ki Hajar Dewantara meyakini bahwa pendidikan haruslah menjadi tuntunan bagi setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal, baik secara intelektual maupun moral. Adapaun pengajaran adalah bagian dari pendidikan.

Karena pendidikan dan pengajaran tidaklah sama, menurut Ki Hajar Dewantara pengajaran adalah proses pendidikan dalam memberi ilmu untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin, sedangkan pendidikan pada hakekatnya adalah menuntun atau memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain serta menjadi mandiri.

Pokok pemikiran berikutnya yaitu mengenai Kodrat Alam dan Zaman, Konsep ini menekankan pentingnya pendidikan yang sesuai dengan kodrat alam dan zaman, artinya pendidikan haruslah relevan dengan kebutuhan individu serta kondisi zaman yang terus berubah.

Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan dimana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan isi dan irama zaman, artinya setiap anak sudah membawa sifat atau karakter masing-masing, sehingga guru tidak bisa menghapus sifat dasar tersebut yang bisa guru lakukan adalah menunjukkan dan membimbing mereka agar muncul sifat-sifatnya yang baik.

Pemikiran yang ketiga yaitu Guru sebagai Petani, Ki Hajar Dewantara memandang guru sebagai seorang petani yang bertanggung jawab untuk menanamkan benih pengetahuan dan membantu tumbuh kembangnya potensi serta kepribadian murid, sehingga mereka dapat menjadi individu yang mandiri dan berpikiran kritis. Keterkaitan dari pemikiran yang pertama sampai yang ketiga sangatlah erat dimana guru melaksanakan Pendidikan yang menyelaraskan dua kodrat yang ada dan pastinya guru memposisikan diri seperti petani untuk mendapatkan hasil panen “pendidikan” yang baik.

Pokok yang keempat dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah Bukan Tabula Rasa, bahwa setiap individu lahir sebagai "tabula rasa" atau kanvas kosong yang dapat diisi dengan pengetahuan, nilai, dan keterampilan melalui proses pendidikan. Namun dalam hal ini Ki Hajar Dewantara meyakini bahwa anak “Bukanlah Kanvas Kosong” yang dapat digambar oleh orang Dewasa (dalam hal ini guru) sesuai keinginan orang tersebut. Tujuan pendidikanlah yang harus menuntun agar kekuatan kodrat dari setiap anak untuk ditebalkan laku (sifat dan perilaku) nya untuk menjadi manusia seutuhnya.

Saya menilai pemikiran berikutnya adalah hal yang sangat penting, yaitu Budi Pekerti, Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara tidak hanya mengutamakan aspek kognitif, tetapi juga aspek moral dan karakter. Budi pekerti atau karakter yang baik menjadi hal yang penting dalam pendidikan untuk membentuk individu yang berkualitas.

Terakhir atau yang keenam dari pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah Berhamba pada Anak, Konsep ini menekankan pentingnya peran guru untuk memahami dan menghormati setiap individu murid, dimana murid menjadi pusat pembelajaran serta mengabdi dengan sepenuh hati untuk memastikan keberhasilan mereka dalam mengembangkan potensi dan mencapai tujuan hidup mereka.

Inilah penjelasan dari saya mengenai pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menegaskan komitmen Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan yang inklusif, holistik, dan berorientasi pada pembangunan karakter serta kemandirian individu.

Paparan bagian pertama berikutnya adalah kesimpulan yang dapat saya sampaikan berdasarkan penjelasan pemikiran Ki Hajar Dewantara di atas bahwasanya, murid harus dipandang dengan rasa hormat dan menjadi pusat dalam pembelajaran. Guru dan murid memiliki kedudukan yang sejajar dalam dunia pendidikan. Anak adalah hal yang paling bernilai. Guru harus menerima macam-macam anak yang berbeda sesuai kodrat dan fitrahnya. Guru diibaratkan sebagai petani harus mampu memfasilitasi tumbuh kembang keanekaragaman tersebut melalui penciptaan ekosistem belajar yang menyenangkan dan selalu dibingkai dalam nilai-nilai luhur pancasila.

Bagian kedua dari tulisan ini adalah tentang refleksi terhadap pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara. Saya akan menguraikan refleksi saya dengan dibantu beberapa pertanyaan pemantik.

Pertama “Apa yang Anda percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum Anda mempelajari modul 1.1?”

Sebelum saya mempelajari modul ini, ada beberapa hal yang saya percaya tentang murid dan pembelajaran diantaranya adalah, pertama sebagian dari murid datang ke sekolah ada unsur keterpaksaan dan juga juga datang ke sekolah sekadar untuk bertemu dan bermain dengan teman, kedua pembelajaran yang saya lakukan sebagian besar masih menggunakan metode ceramah dan terpusat pada diri saya sendiri sebagai guru.

Selanjutnya saya hanya memakai metode atau strategi pembelajaran yang menurut saya mudah dan tidak repot dalam menyiapkannya. Keempat saya tidak pernah melakukan asesmen diagnostik untuk mengenal anak dan tidak pernah melakukan kesepakatan kelas.

Pertanyaan pemantik yang kedua “Apa yang berubah dari pemikiran atau perilaku Anda setelah mempelajari modul ini?“

Setelah saya mempelajari modul ini banyak hal yang saya pikirkan dan lakukan ternyata tidak tepat dan tumbuh pemikiran yang memberi saya keterbukaan pandangan. Pertama saya merasakan ada optimisme bahwa murid memiliki mimpi dan cita-cita dalam benak hatinya. Kemudian saya merasa bahwa untuk mencapai ketercapaian pembelajaran guru seharusnya memberikan kemerdekaan terhadap belajar siswa.

Berikutnya yang membuat pemikiran saya tergugah adalah murid harus menjadi subjek pembelajaran, subjek pendidikan tidak lagi semua terpusat pada guru dan juga pembelajaran harus dilakukan dengan berbagai cara, model, motede atau strategi pembelajaran. Terpenting juga saya sebagai guru harus mengenal murid dengan baik, mampu memberikan teladan, dan mampu menuntun dan membimbing murid.

Pertanyaan pemantik yang ketiga ”Apa yang dapat segera Anda terapkan lebih baik agar kelas Anda mencerminkan pemikiran KHD?”

Saya akan segera menerapkan pembelajaran bersumber dari berbagai literasi, terlebih literasi digital, sehingga murid memiliki banyak wawasan. Saya juga merancang pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan dengan melibatkan murid sesuai dengan metode student center.

Begitu juga saya akan memulai melakukan asesmen diagnostik untuk mengenali murid lebih baik dalam pembelajaran. Saya juga berusaha menjadi fasilitator bagi murid saya.

Bagian ketiga tulisan ini adalah konstruksi proses pembelajaran yang akan saya sampaikan juga, dikaitkan dengan konteks lokal sosial budaya di kelas dan sekolah Anda.

Saya akan membuat rumusan untuk mengkonstruksikan kembali proses belajar dan suasana kelas yang akan saya terapkan dan menyelaraskan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara sesuai dengan konteks lokal sosial budaya di tempat saya mengajar.

Konteks lokal sosial budaya di tempat saya mengajar adalah budaya Betawi dengan keadaan murid yang beragam dari latar belakang sosial dan juga agama. Budaya Betawi akan diterapkan dalam pembelajaran dan budaya sekolah tentunya nilai-nilai yang mampu memberikan ruang dan aktualisasi bagi murid untuk mengembangkan diri, karena budaya Betawi itu sendiri memiliki nilai-nilai keterbukaan yang sangat membangun. Seperti nilai-nilai yang terkandung dalam pencak silat, murid diberikan dasar-dasar yang kuat sebelum menempuh jurus atau tingkatan yang lebih tinggi. Pencak silat juga mengedepankan hormat terhadap sesama terutama ke yang lebih tua dan juga mencontohkan teladan untuk rendah hati dan tidak sombong. Kiranya itulah konteks lokal sosial budaya yang akan diterapkan untuk ketercapaian tujuan pendidikan sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Penulis adalah Calon Guru Penggerak Angkatan 10

dari Kota Jakarta Selatan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image