Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image jok

Gelombang Panas Memiliki Implikasi Negatif terhadap Sistem Imunitas Tubuh

Info Sehat | Saturday, 23 Mar 2024, 15:14 WIB
Gelombang panas berimplikasi terhadap kesehatan. Foto: herald.co.zw.

SEBUAH penelitian menemukan hubungan antara cuaca panas dan ukuran respon imun tubuh, termasuk tingkat sel darah tertentu dan indikator peradangan.

Ini adalah sebuah langkah menuju penemuan pengobatan yang dapat membantu melindungi orang dari suhu tinggi yang berbahaya, yang telah dikaitkan dengan peningkatan angka serangan jantung, stroke, dan masalah kardiovaskular lainnya.

Meski demikian, penelitian yang dipresentasikan pada hari Selasa (19/3/2024) di konferensi Epidemiologi, Pencegahan, Gaya Hidup dan Kesehatan Kardiometabolik American Heart Association di Chicago ini masih dianggap sebagai penelitian awal.

Penelitian sebelumnya telah menghubungkan suhu dan peradangan, kata ketua penelitian Dr. Daniel W Riggs, seorang ahli epidemiologi dan asisten profesor di divisi kedokteran lingkungan di Fakultas Kedokteran Universitas Louisville di Kentucky.

Peradangan, yang dikaitkan dengan risiko penyakit jantung, merupakan bagian dari respons tubuh terhadap infeksi atau cedera. Berbagai jenis sel darah putih juga merupakan bagian dari respons imun tersebut. Beberapa dari sel tersebut melepaskan protein yang disebut sitokin, yang mengatur peradangan. Sel kekebalan lainnya menyerang bakteri dan virus secara langsung.

Sitokin dan sel kekebalan dapat diukur sebagai penanda seberapa besar tubuh telah meningkatkan pertahanannya dalam menanggapi ancaman yang dirasakan.

Penelitian sebelumnya mengenai panas dan peradangan hanya melihat beberapa sinyal tentang bagaimana tubuh merespons, kata Riggs. Dia dan timnya ingin mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang apa hubungannya dengan suhu yang lebih tinggi dan penanda-penanda ini.

Tim peneliti mengamati sampel darah yang diambil dari 624 orang yang merupakan bagian dari Green Heart Project, yang mempelajari bagaimana menanam tanaman hijau di lingkungan Louisville dapat meningkatkan kualitas udara dan mengurangi penyakit jantung.

Peserta penelitian berkisar antara 20 hingga 70 tahun, dengan usia rata-rata 50 tahun. Sekitar 77 persen berkulit putih, 18 persen berkulit hitam, dan 59 persen perempuan. Setiap orang memberikan satu sampel darah selama musim panas 2018 dan 2019.

Peneliti mengukur 11 jenis sitokin dan sembilan jenis sel kekebalan pada setiap sampel. Cuaca pada hari pengambilan darah dinilai menggunakan Indeks Iklim Termal Universal (UTCI), yang mengukur bagaimana suhu, kelembapan, dan kecepatan angin memengaruhi tingkat kenyamanan tubuh manusia. Rata-rata UTCI 24 jam selama pengukuran hanya di bawah 26 derajat celcius.

Pengukuran darah kemudian dicocokkan dengan pembacaan cuaca, dan hasilnya disesuaikan dengan perbedaan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, ras dan pendidikan. Hasilnya juga disesuaikan dengan indeks massa tubuh (ukuran obesitas), polusi udara, dan apakah orang tersebut merokok atau sedang mengonsumsi obat anti inflamasi.

Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara cuaca panas dan peningkatan kadar beberapa sitokin. Salah satunya, TNF-alpha, yaitu salah satu penanda peradangan utama dan berperan penting dalam penyakit kardiovaskular. Demikian dikatakan Riggs.

Riggs menambahkan pada saat yang sama, cuaca panas dikaitkan dengan tingginya kadar beberapa kelas sel darah putih yang dikenal sebagai monosit, yang bisa menjadi tanda bahwa panas menyebabkan peradangan atau memicu respons imun.

Panas juga dikaitkan dengan penurunan kadar monosit kelas lain, yang dikenal sebagai nonklasik, yang menurunkan peradangan. Dan itu dikaitkan dengan rendahnya tingkat sel darah putih yang melawan infeksi dan membersihkan darah yang dikenal sebagai sel B. menurut Riggs, tingkat sel yang lebih rendah bisa berarti seseorang lebih rentan terhadap infeksi.

Penelitian ini tersebut tidak melihat apa yang menyebabkan hal tersebut, namun Riggs mengatakan aklimatisasi panas dapat menyebabkan peningkatan protein kejutan panas, yang diketahui terlibat dalam respon imun dan peradangan.

“Saya pikir ini adalah penelitian yang penting,” kata Dr Judith Lichtman, ketua departemen epidemiologi penyakit kronis di Yale School of Public Health di New Haven, Connecticut. Dia telah melakukan penelitian tentang bagaimana suhu mempengaruhi tingkat stroke tetapi tidak terlibat dalam penelitian barunya.

Banyak penelitian sebelumnya yang mengamati apakah gelombang panas menyebabkan lebih banyak rawat inap atau kematian, katanya. “Apa yang sangat berharga dari penelitian ini adalah mereka benar-benar mencoba memahami, pada tingkat tubuh, mekanisme yang mungkin berkontribusi terhadap peningkatan risiko ini.”

Penelitian ini hanya mengamati satu lingkungan saja, katanya, sehingga temuan ini perlu direplikasi secara lebih luas. Dan dalam penelitian semacam itu, tidak jelas berapa banyak orang yang sebenarnya terpapar panas luar ruangan; orang mungkin tinggal di dalam ruangan dengan AC.

Namun secara keseluruhan, kata Lichtman, penelitian ini “membuka bidang penelitian baru”.

Bagaimana kita dapat memitigasi dampak panas terhadap kesehatan ketika terjadi perubahan iklim?

Memahami dampak panas pada tubuh akan semakin penting seiring perubahan iklim, dan jika para peneliti dapat mulai memahami bagaimana aspek lingkungan mempengaruhi kesehatan, “mungkin kita juga dapat menemukan cara baru untuk mengurangi risiko kardiovaskular,” kata Lichtman.

Menurut Rigggs, perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan jumlah kejadian panas ekstrem. “Penelitian kami di masa depan akan fokus pada efek jangka panjang dari paparan panas ekstrem terhadap respons imun dan peradangan, dan bagaimana hal ini berkaitan dengan perkembangan penyakit kardiovaskular,” tegasnya.***

Sumber: Euro News

--

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image