Kecerdasan Buatan (AI) Menambah Ancaman Disinformasi Pemilu di Seluruh Dunia
Teknologi | 2024-03-18 19:14:02SAAT ini, teknologi kecerdasan buatan memudahkan siapa pun yang memiliki ponsel cerdas dan imajinasi untuk membuat konten palsu -- namun meyakinkan -- yang bertujuan untuk membodohi calon pemilih dalam ajang pemilihan umum (pemilu).
Beberapa tahun yang lalu, foto, video, atau audio palsu membutuhkan tim yang terdiri dari orang-orang yang memiliki waktu, keterampilan, dan uang. Kini, layanan kecerdasan buatan generatif yang gratis dan berbiaya rendah dari perusahaan seperti Google dan OpenAI memungkinkan orang membuat deepfake berkualitas tinggi hanya dengan entri teks sederhana.
Memperluas ancaman
Gelombang pemalsuan lewat bantuan kecerdasan buatan yang terkait dengan pemilu di Eropa dan Asia telah muncul di media sosial selama berbulan-bulan. Hal ini menjadi peringatan bagi lebih dari 50 negara yang mengadakan pemilu tahun ini.
Pertanyaannya bukan lagi apakah deepfake AI dapat mempengaruhi pemilu, namun seberapa besar pengaruhnya, kata Henry Ajder, yang menjalankan perusahaan penasihat bisnis bernama Latent Space Advisory di Inggris.
“Anda tidak perlu melihat jauh-jauh untuk melihat beberapa orang yang jelas-jelas bingung apakah sesuatu itu nyata atau tidak,” kata Ajder.
Tantangan terhadap demokrasi
Christopher Wray, direktur Biro Investigasi Federal AS, mengeluarkan peringatan tentang meningkatnya ancaman AI generatif. Dia mengatakan teknologi memudahkan kelompok asing untuk mencoba memberikan pengaruh buruk pada pemilu.
Dengan deepfake AI, citra kandidat bisa menjadi lebih buruk atau lebih baik. Pemilih bisa saja menjauh atau mendekati kandidat -- atau bahkan menghindari pemilu sama sekali. Namun, mungkin ancaman terbesar terhadap demokrasi, kata para ahli, adalah pertumbuhan deepfake AI dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap apa yang mereka lihat dan dengar.
Kompleksitas teknologi membuat sulit untuk mengetahui siapa dalang di balik deepfake AI. Para ahli mengatakan pemerintah dan perusahaan belum mampu menghentikan masalah ini.
Perusahaan teknologi terbesar di dunia baru-baru ini -- dan secara sukarela -- menandatangani perjanjian untuk mencegah alat AI mengganggu pemilu. Misalnya, perusahaan pemilik Instagram dan Facebook mengatakan akan mulai memberi label deepfake yang muncul di layanannya.
Namun, deepfake lebih sulit dibatasi pada aplikasi seperti Telegram, yang tidak menandatangani perjanjian sukarela. Telegram menggunakan pesan terenkripsi yang sulit diungkap.
Beberapa ahli khawatir bahwa upaya untuk membatasi deepfake AI dapat menimbulkan hasil yang tidak direncanakan.
Layanan AI generatif yang besar memiliki aturan untuk membatasi disinformasi politik. Namun para ahli mengatakan terlalu mudah untuk mengatasi pembatasan atau beralih menggunakan layanan lain.
Kandidat dalam pemilu bisa saja mencoba membodohi pemilih dengan mengklaim peristiwa yang menunjukkan mereka berada dalam situasi buruk adalah hasil rekayasa AI.
“Dunia yang penuh dengan kecurigaan -- sehingga setiap orang dapat memilih apa yang mereka yakini -- juga merupakan dunia yang sangat menantang bagi demokrasi,” begitu komentar Lisa Reppell, peneliti di Yayasan Internasional untuk Sistem Pemilu di Arlington, Virginia.***
Sumber: Associated Press, Voice of America
--
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.