Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rudi Ahmad Suryadi

Persiapkan Hati yang Bersih untuk Ramadhan

Agama | Friday, 08 Mar 2024, 14:51 WIB

Ramadan bulan yang dinantikan. Di dalamnya terdapat keberkahan dan keutamaan. Pahala untuk ibadah dilipatgandakan dibandingkan dengan bulan lainnya. Sungguh sayang, apabila seseorang tidak memanfaatkannya dengan baik untuk meraih keberkahan di Ramadan.

Ramadan dihadapi dengan rasa gembira. Hati yang gembira akan mendorong diri menikmati setiap langkah ibadah di dalamnya. Begitu pula, hati yang bersih menjadi keniscayaan untuk menghadapi bulan ini. Sebab, hati yang bersih akan membebaskan seseorang dari perilaku yang menjerumuskan pada kesalahan dan dosa. Hati yang bersih akan menghiasi setiap untaian perilaku sehingga menjalani puasa akan terasa riang dan penuh semangat.

Hati yang Bersih

Hati yang bersih menjadi tanda dari kesucian jiwa. Apabila hatinya kotor, maka jiwanya terimbas kotor. Perasaan iri, dengki, hasud, perlakukan dosa, dan menyakiti orang akan membuat titik kotor pada hati. Kesadaran dan memohon ampunan menjadi obat untuk membersihkannya.

Nu’man bin Basyir ra berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

«أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ». متفق عليه

Ingat, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka seluruh jasad akan baik, Dan apabila rusak, maka seluruh jasad akan rusak pula. Itulah hati.

Hadis ini terdapat pada Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Hadis ini berkaitan dengan baiknya amal yang dihubungkan dengan hati. Begitu pula buruknya amal tergantung pada hati. Setiap muslim seyogyanya bersungguh-sungguh untuk membersihkan hati, menghindarkan diri dari sesuatu yang menyebabkan kerusakan diri. Kebersihan hati akan diikuti oleh perilaku.

Sumber: https://th.lovepik.com/ diakses pada tanggal 8 Maret 2024

Mengosongkan Hati dari Keburukan

Agar hati bersih menjelang Ramadan, seseorang berupaya untuk mengosongkan diri dari penyakit hati. Ramadan yang pernah berkah dan mengembalikan manusia kepada kesucian hendaknya dilandasi oleh hati yang bersih. Seseorang berupaya sekuat mungkin mengosongkan diri dari riya, ujub, takabur, iri, dengki, buruk sangka, dan adu domba. Hati yang bersih akan mendorong diri merasa menyesal apabila melakukan perbuatan buruk.

Proses ini dalam dunia tasawuf dikenal dengan takhalli. Takhalli adalah upaya untuk mengosongkan diri dari perilaku tercela. Takhalli juga berarti menghilangkan ketergantungan pada kesenangan hidup duniawi. Namun, dalam hal ini, manusia tidak diminta untuk acuh tak acuh terhadap kehidupan dunia, melainkan memaknai dunia seperlunya dengan menghilangkan hawa nafsu, sifat-sifat buruk, dan dorongan perilaku tercela dan perbuatan dosa

Jika manusia memburu dunia, rakus akan keinginan duniawi, atau dikatakan terlalu berlebihan pada dunia, maka dapat berakibat buruk seperti timbulnya berakibat buruk seperti munculnya penyakit hati dan perilaku/perbuatan yang tercela. Jadi takhalli dimaksudkan untuk menghilangkan penyakit hati dan perbuatan yang tidak terpuji. Hal ini pernah diungkap Hasan dalam Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan (2014)

Dalam sumber lain, Husnaini (2016) menulis tentang Hati, Diri dan Jiwa (Ruh),menuturkan takhalli dalam arti sempit berarti menarik diri. Dalam arti yang lebih luas, takhalli adalah sikap mawas diri. Dalam pengertian yang lebih luas, takhalli adalah sikap mawas diri, mengekang hawa nafsu dan membersihkan hati dari segala kemaksiatan. Kemaksiatan terbagi menjadi dua, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah sifat tercela yang dilakukan oleh anggota tubuh manusia seperti tangan, kaki, mata telinga, dan mulut. Sedangkan maksiat batin adalah sifat tercela yang dilakukan yang dilakukan oleh hati manusia.

Mengisi Hati dengan Kebaikan

Setelah manusia sadar akan keburukan, seyogyanya ia dapat mengisi hati dengan perbuatan positif. Perilaku kebaikan hendaknya dijadikan sarana untuk memperbaiki dan mengisi hati. Yang asalnya hati kotor, kemudian dibersihkan, dan langsung diisi dengan kebaikan-kebaikan.

Hati yang diisi dengan kebaikan mengarah pada kedekatan kepada Allah Swt. Dalam al-Qur’an, hati yang baik disebut dengan qalb salim. Hal ini disebutkan dalam QS Asy-Syu’ara: 88-89,

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Ingatlah) pada hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih".

Kata yang difokuskan adalam qalb salim yang diterjemahkan dengan hati yang bersih. Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menyebutkan bahwa qalbun salim yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah hati yang bersih. Hati ini terhindar dari berbagai gejala penyakit seperti kemaksiatan dan kebodohan, bukan hanya terhindar dari kemusyrikan dan kemunafikan. Lebih lanjut, al-Razi menuturkan bahwa hati tidak jauh berbeda dengan jasad. Hati yang bersih adalah yang sehat ketika kebutuhan dan haknya terpenuhi. Hati akan menjadi sakit apabiila kebutuhan dan haknya diabaikan.

Untuk kehidupan akhirat nanti, ayat ini dalam Tafsir Kemenag dihubungkan dengan kesenangan yang bakal diperoleh di akhirat, tidak dapat dibeli dengan harta yang banyak. Juga tidak mungkin ditukar dengan anak dan keturunan yang banyak. Sebab masing-masing manusia hanya diselamatkan oleh amal dan hatinya yang bersih. Tetapi orang yang diselamatkan hanyalah mereka yang akidahnya bersih dari unsur-unsur kemusyrikan dan akhlaknya mulia.

Ramadan bulan yang suci. Ia mampu menyucikan manusia dari segala penyakit hati, apabila dirinya berupaya keras untuk memaknai Ramadan dengan penuh kekhusyukan. Ramadan melatih manusia untuk mengosongkan diri dari penyakit hati dan mengisinya dengan kebaikan. Wallahu A’lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image